KEWAJIBAN BERMUHASABAH
Dalam menjalani kehidupan, manusia ak
an melalui
hari-harinya, bulan dan tahun serta waktu ke waktu dengan pergeseran masa dan
umur kita selalu berkurang, sebagai seorang yang berakal sehat dan cerdas, maka
akan mengisi waktu-waktunya dengan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan yang
akan datang. Di samping itu waktu yang telah dilalui harus dapat dijadikan sebagai ajang evaluasi
diri terhadap kondisi umat Islam di sekitarnya. Menurut pandangan Wakil Ketua
Umum MUI, Prof. Yunahar Ilyas, hikmah dari setiap momen tahun baru (Islam ataupun
masehi) berdasarkan ayat 18 Surat Al Hasyr, manusia khususnya umat Islam
diperintahkan untuk melakukan evaluasi diri atau muhasabah di tahun 2022 ini.
Prof. Yunahar ketua PP Muhammadiyah itu mengatakan,
setiap orang harus mengevaluasi diri agar bisa memperbaiki diri di masa yang
akan datang. Apa saja yang telah dilakukan di masa lalu harus dievaluasi untuk
mengetahui kekurangan dan kelemahan diri. Dalam evaluasi tersebut harus
memiliki standar supaya dapat diukur keberhasilannya. karena setiap manusia
menginginkan perubahan dan kemajuan dalam hidupnya, sehingga tidak sedikit dari
manusia melakukan berbagai macam cara dalam rangka memperbaiki dan perubahan diri untuk meraih
kesuksesan.
Kesuksesan yang dimaksud dalam surat al-Hasyr adalah
ketaqwaan sebagai sarana dalam memperbaiki diri, bukan harta, pangkat dan jabatan dan buka juga karir yang sedang
dijalaninya. Karena dalam ayat
tersebut perintah evaluasi diri diapit dengan dua kata Taqwa. Yaitu bertaqwa dulu kepada Allah SWT, kemudian evaluasi diri
dan akhirnya ditutup dengan Taqwa,"
Taqwa yang sempurna memiliki 3 unsur utama, yakni Iman,
Islam dan Ihsan. Jadi, seorang Mukmin seharusnya mengevaluasi
imannya yang selama ini sudah diyakininya. Pertama
memperbaiki tauhid/keimanan Apakah sudah bertauhid dengan benar atau belum.
Bertauhid dengan benar artinya tidak mempersekutukan Allah SWT. Jangan sampai
melakukan perbuatan-perbuatan yang berbau syirik karena perbuatan syirik dapat
menghapus amal ibadah yang sudah dikerjakan (sia-sia). Misalnya
mempercayai adanya kekuatan pada benda-benda di dunia ini, dan ingat bahwa itu
semua terjadi karena kuasa Allah SWT.
Kedua evaluasi Islam, amal ibadah seorang Muslim dibagi
menjadi dua. Pertama ibadah mahdhah seperti shalat, puasa dll. Apakah ibadah
mahdhah sudah dilakukan dengan ikhlas karena Allah SWT semata dan benar sesuai tuntunan Rasulullah
SAW. Sebab, yang diuji dalam ibadah mahdhah adalah kepatuhan dan kesesuaian. Kedua, ibadah amal, standarnya harus
sesuai dengan syari’at dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam secara
keseluruhan.
Ketiga adalah
ihsan. Artinya terbaik atau sesuatu yang maksimal. "Apakah selama ini kita telah mengisi waktu-waktu hidupnya dengan
hal-hal yang terpuji dan mulia? Baik dalam kehidupan rumah tangga, dengan tetangga,
dan dengan masyarakat. Kita harus menampilkan yang terbaik (ihsan), sebagai
seorang muslim mukmin selalu menebar kesejukan dan kedamaian dimana pun berada dan
selalu yakin dan sadar bahwa Allah SWT selalu menyaksikan apa yang kita
kerjakan, lalu membalasanya. Dan balasan yang terindah bagi seorang muslim
adalah memperoleh keridhaan Allah SWT, dari setiap amal yang dilakukan.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim wajib dari setiap
amalnya bertujuan mencari ridha Allah SWT baik perkataan dan perbuatan yang ia lakukan, sekalipun
manusia membencinya. Hal ini dikarenakan hanya Allah SWT satu-satunya Dzat yang mampu memberikan
manfaat dan kebaikan, dan mencegah mudharat dan keburukan bagi dirinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Barangsiapa
yang beramal demi mencari keridhaan Allah meskipun manusia membencinya, maka
sungguh ia telah bertaqwa kepada-Nya, dan ia adalah hamba-Nya yang shalih, dan
Allah senantiasa mencintai dan menolong hamba-hamba-Nya yang shalih."
Sedangkan Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "Barangsiapa telah jelas baginya bahwa
setiap makhluk (manusia) yang ada di muka bumi ini adalah makhluk (ciptaan
Allah SWT, pent). Maka bagaimana mungkin ia lebih mendahulukan ketaatan kepada
makhluk daripada ketaatannya kepada (Allah SWT). Sungguh yang demikian ini adalah sesuatu
yang mengherankan. (Lihat Taisir
Al-Aziz Al-Hamiid hal.436).
Mencari keridhaan dan kecintaan manusia dalam setiap
urusannya adalah tujuan yang mustahil tercapai. Oleh karena itu, hendaknya kita
berkata dan beramal hanya mengharapkan keridhaan dan balasan dari Allah semata.
Tidak mengharapkan sesuatu apapun dari manusia baik berupa pujian, imbalan,
popularitas dan ketenaran maupun lainnya.
Sebagai contoh dalam mencari keridhaan Allah yaitu kita
petik dari do’a Asiyah istri Fir’aun dalam al-Qur’an yang tetap teguh pada
keyakinan dan keimanannya kepada Allah SWT. Ia berdo’a agar dibangunkan untuknya “baitan fil jannah” (rumah di dalam
surga), bukan “baitan fil ardhi “(rumah di muka bumi) ataukah “prasasti
di bumi yang dikenang orang lain”. Dia hanya berharap pada Allah SWT, selamatkan jiwa, dan
keyakinannya dari virus-virus orang dzalim dan kafir. Sebagaimana firman Allah
SWT:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan Allah
membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia
berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam (surga)
Firdaus, dan selamatkanlah Aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah
Aku dari kaum yang dzalim.” (QS.
At-Tahriim: 11)
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ
بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada yang mengorbankan
dirinya untuk meraih ridha Allah SWT. Dan adalah Allah Maha Penyantun terhadap
hamba-hamba-Nya”. (QS. al-Baqarah:
207)
Berdasarkan asbab alnuzul yang dikemukakan oleh Ibnu
Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, ayat ini memberi gambaran konkrit
tentang seseorang yang rela mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata
untuk meraih ridha Allah SWT dalam seluruh aktifitas hidupannya. Karena ia yakin, ridha Allah SWT merupakan target puncak
dari sebuah proses panjang keimanan yang merupakan implementasi nyata dari
kesempurnaan taqwa ‘كمال التقوى ‘, sebuah terminologi agung yan dikemukakan oleh Mufassir
Abu Su’ud ketika memahami perilaku sahabat Rasulullah SAW yang menjadi sebab turunnya ayat ini.
Kenapa manusia harus bermuhasabah?
Memperhatikan riwayat di bawah ini cukup menjadi motivasi bagi kita untuk
selalu bermuhasabah dalam hidupnya:
وفي رواية قيل ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ
Dalam sebuah riwayat dikatakan, Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka
dialah orang beruntung. Siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka
dialah orang tertipu. Dan siapa yang hari ini lebih buruk daripada hari
kemarin, maka dialah orang yang terlaknat.” [HR. Baihaqi]
Kalaupun hadits ini derajatnya tidak shahih, minimal dapat dijadikan
motivasi dalam melakukan perbaikan diri dari setiap waktu yang dilaluinya.
Karena sesungguhnya manusia hanyalah
pengendara di atas punggung usianya. Digulung hari demi hari, bulan, dan tahun
tanpa terasa. Nafas kita terus berjalan seiring jalannya Waktu, setia menuntun
kita ke pintu kematian.
Sebenarnya dunialah yang makin kita jauhi dan liang lahatlah
yang makin dekat.
Satu hari berlalu, berarti satu hari pula berkurang umur
kita. Umur kita yang tersisa di hari ini sungguh tidak ternilai harganya, sebab
besok hari belum tentu jadi bagian dari diri kita.
Karena itu!
jika hari ini berlalu tanpa adanya Kebaikan dan Kebajikan
yang kita lakukan maka akan keringlah batin kita. Jangan pernah tertipu dengan
usia muda, karena syarat mati itu tidak harus tua. Jangan terperdaya dengan
badan sehat, karena syarat mati tidak harus sakit. Teruslah berbuat baik,
berkata baik, Kritisi semua yang tidak baik.
Walau tidak banyak orang yang mengenalimu, tapi kebaikan
dan kebajikan yang kita lakukanlah akan menuntun kepada kebahagiaan hakiki, dan
akan dikenang kebaikannya sekalipun kita sudah tiada.
Luruskan niat dalam hidup ini untuk tetap istiqamah mencari
ridha Allah SWT, wujudkan dengan usaha, diiringi dengan doa dan hasilnya kita
pasrahkan sepenuhya kepada Allah SWT.
Apapun hasilnya (suka atau tidak suka) itulah yang
terbaik untuk kita terima. Kuatkan rasa
syukur dalam diri kita, dan jangan merasa lebih hebat
dari yang lain (sombong). Karena tidak munculnya rasa syukur, sikap sabar,
ikhlas dan tawakkal menunjukan diri kita lemah.
Selamat menyongsong tahun baru kita niatkan untuk
bermuhasabah diri mencapai kebahagiaan hakiki!
Alhamdulillah sangat bermanfaat
BalasHapus