Fenomena
bersejarah dalam Islam yang luar biasa, terjadi satu tahun sebelum hijrah (10
tahun dari masa diutusnya Rasulullah SAW sebagai Nabi) tepatnya pada tanggal 27
Rajab. Untuk tahun ini bertepatan dengan tanggal 22 Maret 2020. Peristiwa ini
begitu cepat dimana dalam waktu semalam menyelesaikan perjalanan jalur darat
dan jalur udara. Zona destinasi Isra' dan Mi'raj merupakan titik-titik sejarah
Nabi- Nabi sebelum Nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa
Isra'Mi'raj bagian dari mu'jizat Rasulullah SAW. Tentang Mi'raj dijelaskan okeh
Allah SWT sebagai berikut;
وَلَقَدْ رَاٰهُ نَزْلَةً اُخْرٰىۙ –(١٣)- عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى – (١٤)- عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوٰىۗ – (١٥)- اِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشٰىۙ – (١٦)- مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغٰى – (١٧)- لَقَدْ رَاٰى مِنْ اٰيٰتِ رَبِّهِ الْكُبْرٰى – (١٨)
"Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar."QS. An-Najm:13-18
Peringatan Isra
Mi’raj tidak hanya dijadikan momentum tunduknya akal pikiran kepada keimanan
saja
atau dengan bunga rampai cerita dan ritual peringatan , tetapi marilah juga
menggugah
kesadaran rasional kita menembus
irasional akal manusia, maka akan menjadi penting ketika akal pikir kita
yang jernih dapat menembus pesan-pesan Ilahi (wahyu) sehingga terbangun sikap keberagamaan yang bijak,
yakni mengendalikan akal pikiran dengan keimanan agar tidak kering dari
nilai-nilai spiritualitas dan mendasari keimanan dengan pijakan rasionalitas
logika agar tidak terkotori oleh mitos-mitos tahayul.
Akan menjadi sangat Penting pada pemahaman makna
secara utuh dikarenakan masih adanya kalangan yang menilai peristiwa Isra
Mi’raj sebagai peristiwa tunduknya akal kepada keimanan belaka. Maka
obyektivitas peristiwa itu hanya bisa diterima melalui keyakinan akan kebenaran
wahyu. Hal tersebut menunjukan bahwasanya kekuatan akal tidak diberi
kebebasan untuk berintervensi didalamnya.
Bagi kita peristiwa ini adalah berita yang
datang dari wahyu (al-Isra, 17:1).tetapi
sebagian kalangan lain peristiwa tersebut merupakan sebuah dilema antara
doktrin agama dan rasionalitas logika. Kenyataan, peringatan Isra Mi’raj mengingatkan dan menggugah pada “konflik” antara sains dan wahyu. Pasalnya,
peristiwa supranatural Isra Mi’raj merupakan persoalan yang sulit untuk
dijelaskan secara rasional-empiris.Untuk mendekatkan hal itu barangkali kita
memakai logika awam, bagaimana teknologi yang ada disekitar kita misal, Radio,
Televisi dan Hand Pone (HP) melalui gelombang magnetic dapat mengirimkan suara,
gambar atau tulisan SMS dari jarak yang jauh, maka tentu perlu kita kaji dari
sisih sands dan teknologi untuk mendekatkan pada logika alam pikir kita.
Kecepatan Cahaya dalam Al-Quran
Al quran menegaskan bahwa bangsa
Malaikat dan Jin dapat bergerak atau berpindah tempat dengan sangat cepat,
bahkam banyak diantaranya yang mampu berpindah tempat atau membawa sesuatu
benda berat dengan hanya kedipan mata, apa yang dimilki oleh golongan Malaikat
dan bangsa Jin, itu karena kecepatan mereka di atas kecepatan cahaya, benarkah
kemampuan mereka diatas kecepatan cahaya?
Kecepatan
cahaya Adalah kecepatan tercepat yang diyakini bisa dicapai oleh sebuah benda
di alam semesta ini, Kecepatan cahaya dalam sebuah vakum adalah 299.792.458
meter per detik (m/s) atau 1.079.252.848,8 kilometer per jam (km/h) atau
186.282.4 mil per detik (mil/s) atau 670.616.629,38 mil per jam (mil/h).
Kecepatan cahaya ditandai dengan huruf c, yang berasal dari bahasa Latin
celeritas yang berarti “kecepatan”, dan juga dikenal sebagai konstanta
Einstein. Kecepatan cahaya sampai saat ini masih diakui sebagi kecepatan yang
paling tercepat dari kemampuan bergerak suatu benda apapun. (Majalah Sains2009)
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ - ٥
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (jalan-jalan) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq. Dia menjelaskan tanda-tanda kepada orang-orang yang mengetahui.Qs. 10 Yunus: 5.
وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَۗ كُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ - ٣٣
يُدَبِّرُ الْاَمْرَ مِنَ السَّمَاۤءِ اِلَى الْاَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ اِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهٗٓ اَلْفَ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّوْنَ - ٥
Hakikat Tujuh Langit
Peristiwa isra' mi'raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur'an. Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan? Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa' atau samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada. Bilangan 'tujuh' sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur'an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya,
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ - ٢٦١
"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya...." Q.S. Al-Baqarah:261
وَلَوْ اَنَّ مَا فِى الْاَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ اَقْلَامٌ وَّالْبَحْرُ يَمُدُّهٗ مِنْۢ بَعْدِهٖ سَبْعَةُ اَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمٰتُ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ - ٢٧
\
PARADIGMA BARU
Mari kita tinjau
pada paradigma ala abad pertengahan
sampai akhir abad ke-13 yang cenderung mistisistis-spiritualis, peristiwa
ini tidaklah sulit untuk dipahami dan diterima secara obyektif. Karena
perjalanan suci ini melibatkan sosok manusia suci, Muhammad SAW. Namun, pada
era Renaisans awal abad ke-14, ketika peradaban umat manusia didominasi oleh
paradigma sekulalrisme yang memberikan label pemisah antara kehidupan dengan
urusan agama dan akhirat, obyektivitas peristiwa semacam Isra Mi’raj mulai
tergoyah oleh pemikiran yang rasionalis. Dimana, pemikiran rasional-positif
hanya menerima kebenaran ketika ia dapat dijelaskan secara logis dan dapat
dibuktikan secara empiris. Lantas, memasuki abad ke-20 terjadi revolusi
paradigma sains modern yang dipelopori oleh saintis ternama, Albert Einstein.
Dalam pandangannya, keyakinan akan peristiwa-peristiwa supranatural semacam itu
terletak pada ranah yang belum dapat dijustifikasi oleh sains.
Jadi, dalam
konteks momentum Isra Mi’raj diharapkan adanya pemahaman yang dapat
menjembatani dua paradigma yang bersebrangan, sains modern dan wahyu yang
berlanjut terhadap adanya pemahaman tentang kedalaman makna trans Isra Mi’raj
secara utuh. Sebab jika meneropong Isra Miraj dengan rasionalitas logika tanpa
melihat doktrin wahyu, secara tidak langsung akan menghambarkan nilai-nilai yang terkandung dibalik momentum
supranatural tersebut. Sebaliknya meneropong Isra Mi’raj dengan doktrin wahyu
tanpa dasar-dasar rasionalitas logika, momentum supranatural tersebut rawan
dihinggapi mitos-mitos tahayul, sedangkan doktrin wahyu harus tetap dijadikan
sumber utama yang memberikan pasokan nilai-nilai dibalik peristiwa supranatural
tersebut. Dengan demikian, paradigma sains akan membawa umat beragama pada
sikap keberagamaan dan spiritual yang cenderung
rasional kritis. Maka sebagai hamba yang beriman yang memiliki gelar ulul albab
pemaknahan informasi Allah SWT
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Isra’ (17): 1).
Adalah kebenaran yang diterima pada alam pikir rasional dan irasional manusia seraya mengagungkan dan kekuasaan Allah SWT. Wallahu’alam bisshowaah..
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ - ١
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Isra’ (17): 1).
Adalah kebenaran yang diterima pada alam pikir rasional dan irasional manusia seraya mengagungkan dan kekuasaan Allah SWT. Wallahu’alam bisshowaah..
Pesan Spiritual Isro’ Mi’roj Antara Rasional – Irasional dan Wahyu
Reviewed by sangpencerah
on
Maret 26, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: