SEPUTAR PUASA ARAFAH (Bagian 2)


Lanjutan dari (Bagian 1, SEPUTAR PUASA ARAFAH)

Ibnu ‘Abdil-Barr (w. 463/1071), seorang ulama besar dari Cordova, Spanyol, menegaskan dalam kitabnya at-Tamhid bahwa memang ada beberapa orang ahli ilmu pada zaman ini yang berpendapat bahwa hikmah taharah dan shalat dapat menghapus dosa-dosa besar. Akan tetapi ia mengomentari pendapat tersebut dengan agak keras dengan menyatakannya sebagai pendapat jahil dan menyetujui ajaran Murjiah. Dari uraiannya yang panjang dapat pula dipahami bahwa dosa yang disengaja tidak dapat ditutupi oleh hikmah ibadah-ibadah tersebut. Dosa-dosa besar dan disengaja dapat diampuni apabila pelakunya bertobat nasuha dengan menyesalinya dan memperbaiki diri serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi (at-Tamhid, IV: 44-49).

Dalam Putusan Tarjih pada Munas XXVI tahun 2003 (yang belum ditanfidz oleh PP) tentang hikmah puasa tathawwu‘ diberi peringatan bahwa: Hendaknya jangan terjadi salah pengertian dan jangan timbul anggapan yang mengarah kepada bermudah-mudah melakukan perbuatan maksiat dan dosa semata karena anggapan bahwa dengan berpuasa sunnat sehari saja dosa-dosa itu, bahkan dosa setahun yang lalu dan yang akan datang, segera akan terhapus, dan orang tersebut akan dijauhkan dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun. Perlu dicamkan bahwa puasa yang sungguh-sungguh bukan sekedar perbuatan fisik berupa tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan badan (bagi pasangan suami-isteri) belaka, melainkan puasa yang sesungguhnya adalah puasa yang didasarkan kepada suatu komitmen otentik untuk meninggalkan segala perbuatan dosa dan maksiat dan sekaligus terefleksikan dalam perbuatan dan tingkah laku nyata.

Mengenai dosa yang akan datang yang belum dikerjakan, dapat dikutipkan pernyataan Imam asy-Syaukani (w. 1255/1839), dalam Nailul-Authar ketika menerangkan puasa Arafah akan menghapus dosa yang akan datang, bahwa dosa itu akan diampuni apabila seandainya terjadi, atau bisa juga berarti bahwa orang itu, karena puasa Arafahnya, akan terbimbing sehingga terhindar dan tidak akan melakukan dosa (Nailul-Authar, 2000 : 875). Alternatif kedua dari penjelasan asy-Syaukani ini lebih logis dan dapat diterima.

Mengenai Nabi pernah puasa dan pernah tidak puasa pada waktu wukuf, yang dimaksud oleh penulis artikel bersangkutan adalah hadis-hadis sebagai berikut:

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ [رواه أبو داود وأحمد والبيهقي].

Artinya: Diriwayatkan dari salah seorang isteri Nabi saw, ia berkata: Rasululah pernah puasa sembilan hari (pertama) bulan Zulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, yaitu Senin pertama dan hari Kamis [HR Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi].<5>

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ في صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ [رواه الجماعة واللفظ للبخاري].

Artinya: Diriwayatkan dari Ummul-Fadll binti al-Harits bahwa beberapa orang bertikai di dekatnya pada hari Arafah mengenai puasa Nabi saw. Beberapa menyatakan bahwa beliau puasa dan yang lain mengatakan beliau tidak puasa. Maka Ummul-Fadll mengirim secawan susu kepada beliau ketika ia berdiri di dekat untanya, lalu beliau minum. [HR. Jamaah ahli hadis, dan lafal di atas adalah lafal al-Bukhari].<6>

Bersambung ke bagian 3

Referensi:
5.HR.  Abu Daud 2437,  HR.  Ahmad 25273, HR. An Nasai 2374. Shahih.
6.HR.  Bukhari 1661, Fathul Bari.  Shahih

SEPUTAR PUASA ARAFAH (Bagian 2) SEPUTAR PUASA ARAFAH (Bagian 2) Reviewed by sangpencerah on Juli 20, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar: