SEPUTAR PUASA ARAFAH (Bagian 3)


Lanjutan dari (Bagian 2, SEPUTAR PUASA ARAFAH)


Hadis pertama menerangkan bahwa Rasulullah saw pernah puasa sembilan hari bulan Zulhijjah. Sembilan hari bulan Zulhijjah itu adalah tanggal 1 hingga tanggal 9, yakni sampai hari Arafah. Salah seorang isteri Nabi saw yang dimaksud dalam hadis itu menurut riwayat an-Nasa’i, Ahmad dan ath-Thabrani adalah Hafsah (w. 41/661).
 عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ:
أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ

Hadis Hafsah ini terjemahannya adalah, Diriwayatkan dari Hafsah, ia berkata: Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw, yaitu: puasa Asyura, puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh [HR. an-Nasa‘i]<7>.

Sepuluh hari bulan Zulhijjah dalam hadis Hafsah ini dimaksudkan sembilan hari, karena pada hari kesepuluh, yaitu hari Idul Adha dilarang puasa. Penyebutan sepuluh hari ini karena dalam hadis-hadis lain diterangkan keutamaan beribadah pada sepuluh hari tersebut, termasuk keutamaan berpuasa, hanya saja karena hari Idul Adha dilarang puasa, maka secara otomatis menurut akal maksudnya adalah sembilan hari. Dengan kata lain dalam hadis ini ada istisna aqli (pengecualian berdasarkan logika pikiran). Demikian Ali al-Qari (w. 1014/1605) dalam Mirqatul-Mashabih (IV: 495).

Hadis yang menerangkan keutamaan beribadah termasuk puasa pada sepuluh hari bulan Zulhijjah itu adalah,

أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ سِنَانٍ الْقَطَّانُ بِوَاسِطَ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، عَنْ مُسْلِمٍ الْبَطِينِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ‏:‏ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏:‏ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ، قَالُوا‏:‏ يَا رَسُولَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ‏؟‏ قَالَ‏:‏ وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ‏.‏

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tiadalah hari yang dilakukannya amal salih lebih disukai Allah pada hari itu daripada sepuluh hari (dalam bulan Zulhijjah) Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun Jihad fi Sabilillah?”. Beliau menjawab: “Walaupun Jihad fi Sabilillah. Kecuali orang yang keluar (jihad) dengan diri dan hartanya, kemudian dia tidak (mengharapkan) kembali apa-apa sedikitpun dari hal tersebut (Ikhlas). [HR. Ibn Hibban , At Tirmidzi , Ibnu Majah, Ibn Khuzaimah, al-Baihaqi, ath-Thabrani dan ad-Darimi ].<8>

Abu ‘Awanah (w. 316/928) dalam Musnadnya dan Imam at-Turmudzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa Nabi bersabda, Tiadalah hari-hari dunia ini yang disukai oleh Allah agar padanya dilakukan ibadah selain sepuluh hari bulan Zulhijjah; barang siapa berpuasa satu hari saja padanya sebanding dengan puasa satu tahun dan beribadah satu malam saja padanya sama dengan beribadah malam lailatul qadar [Musnad Abu ‘Áwanah, II: 246].

Jadi hadis pertama, yaitu hadis Abu Dawud, menunjukkan bahwa Rasulullah saw pernah puasa pada hari Arafah. Sedangkan hadis kedua, yaitu hadis Ummul-Fadll, memastikan bahwa Rasulullah saw tidak berpuasa pada waktu di Arafah ketika melakukan haji wada‘ karena beliau minum susu. Dalam hadis itu diterangkan bahwa beberapa Sahabat ketika di Arafah bertikai apakah Nabi saw pada hari itu puasa atau tidak. Sebagian menyatakan beliau puasa dan sebagian lain menyatakan tidak puasa. Hafsah kemudian mengetesnya dengan memberikan secawan susu dan ternyata beliau minum, yang berarti beliau tidak puasa. Ibnu Hajar (w. 852/1449), pensyarah Shahih al-Bukhari, menegaskan bahwa pertikaian beberapa Sahabat itu menunjukkan bahwa mereka ketika di Madinah bersama Rasulullah saw biasa melakukan puasa Arafah. Orang yang memastikan bahwa Nabi saw puasa pada waktu wukuf bersandar kepada kebiasaan beliau tersebut yang melakukan puasa Arafah. Sedangkan yang menyatakan beliau pada hari itu tidak berpuasa alasannya adalah karena beliau musafir dan biasanya beliau menyuruh orang musafir untuk tidak melakukan puasa wajib sekalipun, apalagi puasa sunnat.

Dengan demikian yang dimaksud dengan Nabi saw pernah puasa hari wukuf Arafah adalah ketika di Madinah beliau berpuasa pada saat di Arafah dilakukan wukuf. Sedangkan pada saat haji wada‘ beliau tidak puasa Arafah. Oleh karena itu kemudian dalam fikih ditentukan hukum bahwa orang yang tidak sedang berada di Padang Arafah disunnatkan puasa, sedangkan orang yang sedang melakukan wukuf dilarang puasa. Namun larangan tersebut, seperti ditegaskan pada artikel dalam SM edisi 4/2007 itu, bukanlah larangan yang mengharamkan, melainkan larangan makruh dengan illat agar orang yang bersangkutan tidak kehabisan tenaga untuk melakukan rangkaian kegiatan ibadah haji yang berpuncak di Arafah.

Bersambung ke Bagian 4

Referensi:
7.HR. An Nasai 2416/2373. Dhaif.
8.HR. Ibnu Hibban 324. At Tirmidzi 757/688, Ibnu Majah 1727, Ibn Khuzaimah 2865 Shahih.



SEPUTAR PUASA ARAFAH (Bagian 3) SEPUTAR PUASA ARAFAH (Bagian 3) Reviewed by sangpencerah on Juli 20, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar: