Lanjutan dari (Bagian 2, SEPUTAR PUASA ARAFAH)
Hadis pertama
menerangkan bahwa Rasulullah saw pernah puasa sembilan hari bulan Zulhijjah.
Sembilan hari bulan Zulhijjah itu adalah tanggal 1 hingga tanggal 9, yakni
sampai hari Arafah. Salah seorang isteri Nabi saw yang dimaksud dalam hadis itu
menurut riwayat an-Nasa’i, Ahmad dan ath-Thabrani adalah Hafsah (w. 41/661).
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ:
أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ
وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ
Hadis Hafsah ini
terjemahannya adalah, Diriwayatkan dari Hafsah, ia berkata: Empat hal yang
tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw, yaitu: puasa Asyura, puasa
sepuluh hari bulan Zulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan, dan shalat dua
rakaat sebelum shalat subuh [HR. an-Nasa‘i]<7>.
Sepuluh hari
bulan Zulhijjah dalam hadis Hafsah ini dimaksudkan sembilan hari, karena pada
hari kesepuluh, yaitu hari Idul Adha dilarang puasa. Penyebutan sepuluh hari
ini karena dalam hadis-hadis lain diterangkan keutamaan beribadah pada sepuluh
hari tersebut, termasuk keutamaan berpuasa, hanya saja karena hari Idul Adha
dilarang puasa, maka secara otomatis menurut akal maksudnya adalah sembilan
hari. Dengan kata lain dalam hadis ini ada istisna aqli (pengecualian
berdasarkan logika pikiran). Demikian Ali al-Qari (w. 1014/1605) dalam
Mirqatul-Mashabih (IV: 495).
Hadis yang
menerangkan keutamaan beribadah termasuk puasa pada sepuluh hari bulan
Zulhijjah itu adalah,
أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ سِنَانٍ الْقَطَّانُ
بِوَاسِطَ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا
الأَعْمَشُ، عَنْ مُسْلِمٍ الْبَطِينِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا
مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ
الأَيَّامِ الْعَشْرِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي
سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ
بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ.
Artinya:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tiadalah
hari yang dilakukannya amal salih lebih disukai Allah pada hari itu daripada
sepuluh hari (dalam bulan Zulhijjah) Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun Jihad fi Sabilillah?”. Beliau menjawab:
“Walaupun Jihad fi Sabilillah. Kecuali orang yang keluar (jihad) dengan diri
dan hartanya, kemudian dia tidak (mengharapkan) kembali apa-apa sedikitpun dari
hal tersebut (Ikhlas). [HR. Ibn Hibban , At Tirmidzi , Ibnu
Majah, Ibn Khuzaimah, al-Baihaqi, ath-Thabrani dan ad-Darimi ].<8>
Abu ‘Awanah (w.
316/928) dalam Musnadnya dan Imam at-Turmudzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadis
ini dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa Nabi bersabda, Tiadalah hari-hari
dunia ini yang disukai oleh Allah agar padanya dilakukan ibadah selain sepuluh
hari bulan Zulhijjah; barang siapa berpuasa satu hari saja padanya sebanding
dengan puasa satu tahun dan beribadah satu malam saja padanya sama dengan
beribadah malam lailatul qadar [Musnad Abu ‘Áwanah, II: 246].
Jadi hadis
pertama, yaitu hadis Abu Dawud, menunjukkan bahwa Rasulullah saw pernah puasa
pada hari Arafah. Sedangkan hadis kedua, yaitu hadis Ummul-Fadll, memastikan
bahwa Rasulullah saw tidak berpuasa pada waktu di Arafah ketika melakukan haji
wada‘ karena beliau minum susu. Dalam hadis itu diterangkan bahwa beberapa
Sahabat ketika di Arafah bertikai apakah Nabi saw pada hari itu puasa atau
tidak. Sebagian menyatakan beliau puasa dan sebagian lain menyatakan tidak
puasa. Hafsah kemudian mengetesnya dengan memberikan secawan susu dan ternyata
beliau minum, yang berarti beliau tidak puasa. Ibnu Hajar (w. 852/1449),
pensyarah Shahih al-Bukhari, menegaskan bahwa pertikaian beberapa Sahabat itu
menunjukkan bahwa mereka ketika di Madinah bersama Rasulullah saw biasa
melakukan puasa Arafah. Orang yang memastikan bahwa Nabi saw puasa pada waktu
wukuf bersandar kepada kebiasaan beliau tersebut yang melakukan puasa Arafah.
Sedangkan yang menyatakan beliau pada hari itu tidak berpuasa alasannya adalah
karena beliau musafir dan biasanya beliau menyuruh orang musafir untuk tidak
melakukan puasa wajib sekalipun, apalagi puasa sunnat.
Dengan demikian
yang dimaksud dengan Nabi saw pernah puasa hari wukuf Arafah adalah ketika di
Madinah beliau berpuasa pada saat di Arafah dilakukan wukuf. Sedangkan pada
saat haji wada‘ beliau tidak puasa Arafah. Oleh karena itu kemudian dalam fikih
ditentukan hukum bahwa orang yang tidak sedang berada di Padang Arafah
disunnatkan puasa, sedangkan orang yang sedang melakukan wukuf dilarang puasa.
Namun larangan tersebut, seperti ditegaskan pada artikel dalam SM edisi 4/2007
itu, bukanlah larangan yang mengharamkan, melainkan larangan makruh dengan
illat agar orang yang bersangkutan tidak kehabisan tenaga untuk melakukan
rangkaian kegiatan ibadah haji yang berpuncak di Arafah.
Bersambung ke Bagian 4
Referensi:
7.HR. An Nasai 2416/2373. Dhaif.
8.HR. Ibnu Hibban 324. At Tirmidzi
757/688, Ibnu Majah 1727, Ibn Khuzaimah 2865 Shahih.
SEPUTAR PUASA ARAFAH (Bagian 3)
Reviewed by sangpencerah
on
Juli 20, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: