Lanjutan terakhir dari (Bagian 4, SEPUTAR PUASA ARAFAH),
Adapun isteri
Hunaidah memang majhul, yaitu tidak dikenal sama sekali identitas dirinya.
Tidak ada satupun sumber biografis yang dilacak sejauh ini menyebutkan
identitasnya. Namun penjelasan lain dapat diberikan. Hunaidah sendiri dinilai
oleh para biografer ahli hadis sebagai rawi terpercaya. Nama lengkapnya adalah
Hunaidah Ibn Khalid al-Khuza‘i, terbilang ke dalam kelompok tabiin. Tetapi ada
beberapa biografer yang menyatakannya sebagai Sahabat. Ia banyak bergaul dengan
Sahabat dan meriwayatkan hadis dari beberapa di antara mereka. Ia pernah
bertemu Ali Ibn Abi Talib dan ikut bersamanya melaksanakan suatu hukuman hadd
(dengan cambuk) terhadap seseorang pelaku kejahatan. Ia mula-mula di Madinah
kemudian pindah ke Kufah. Ibunya adalah bekas budak Umar Ibn al-Khattab. Oleh
karena itu Hunaidah tentulah dekat dengan keluarga Umar, termasuk anaknya
Hafsah. Dengan begitu, meskipun isterinya majhul, namun antara Hunaidah dan
Hafsah tidak ada keterputusan karena keduanya muasir (sezaman) dan mengingat
hubungan keluarga mereka yang dekat tentu Hunaidah banyak mengetahui riwayat
yang bersumber kepada Hafsah. Oleh karena itu ada alasan untuk menerima hadis
ini.
Mengenai
sanggahan ‘Aisyah, seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang dikutip di
atas, para komentator (pensyarah) hadis menjelaskan sebagai beikut. An-Nawawi
(w. 676/1278) dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan, “Hadis ‘Aisyah ‘Saya tidak
pernah melihat Rasulullah saw melakukan puasa sepuluh” takwilnya adalah puasa
sembilan hari sejak hari pertama bulan Zulhijjah. Hadis ini tidak menunjukkan
bahwa puasa sembilan itu makruh, melainkan sangat disunatkan terutama pada hari
yang ke-9, yaitu hari Arafah. Terdahulu telah diterangkan hadis-hadis yang
menunjukkan keutamaannya, dan dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
Tiadalah hari yang amal salih padanya lebih utama dari hari-hari ini, maksudnya
sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah. Pernyataan ‘Aisyah bahwa ia tidak pernah
melihat Rasulullah puasa sepuluh hari takwilnya adalah bahwa ia tidak
melihatnya melakukannya pada waktu sakit atau waktu dalam perjalanan atau
lainnya. Atau bisa juga ditakwil bahwa tidak melihatnya itu tidak berarti bahwa
beliau dalam kenyataannya tidak melakukannya. Takwil ini ditunjukkan oleh hadis
Hunaidah dari salah seorang isteri Nabi saw [VIII: 71-72].
Dalam al-Majmu‘
an-Nawawi menegaskan bahwa ‘Aisyah ia tidak melihat Nabi saw melakukan puasa
sepuluh itu tidak berarti bahwa beliau tidak melakukannya dalam kenyataan.
Beliau kadang-kadang berada bersama ‘Aisyah pada salah satu dari sembilan hari
Zulhijjah dan pada isterinya yang lain pada hari-hari sisanya. Atau dapat juga
ditakwil bahwa beliau melakukan puasa sepuluh itu pada tahun tertentu dan tidak
melakukannya pada tahun yang lain karena sakit atau dalam perjalanan atau
karena alasan lain. Demikianlah jamak (kompromi) dilakukan terhadap hadis-hadis
ini [VI: 414].
Ibnu Hajar (w.
852/1449), pensyarah terbesar Shahih al-Bukhari, menegaskan bahwa hadis ini
[maksudnya hadis al-Bukhari tentang tiada hari yang amal salih lebih afdal
untuk dikerjakan pada hari itu dari pada hari yang sepuluh ini] menjadi dalil
atas keutamaan puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah karena puasa itu termasuk
dalam amal salih. Tidak ada pertentangan dengan hadis ‘Aisyah karena ada
kemungkinan beliau pada waktu tertentu tidak melakukannya karena khawatir
dianggap wajib oleh umatnya [II: 460].
Imam az-Zarkasyi
(w. 794/1392) menyatakan bahwa hadis ‘Aisyah itu bisa diartikan bahwa ‘Aisyah
tidak tahu bahwa beliau melakukan puasa sepuluh karena beliau membagi
hari-harinya di antara isteri-isteri beliau. Ada kemungkinan beliau puasa tidak
pada hari-hari bersama ‘Aisyah [Al-Ijabah, 173]. Ibnu Qudamah (w. 620/1223),
dalam al-Kafi, menegaskan, “Disunatkan puasa sepuluh [sembilan] hari bulan
Zulhijjah berdasarkan hadis dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan bahwa Rasulullah
bersabda: Tiadalah hari yang amal salih padanya lebih disukai oleh Allah dari
hari-hari sepuluh ini” [I: 362].
Dengan demikian
dapat dipahami bahwa hadis tentang puasa sepuluh/sembilan Zulhijjah dapat
diterima dan puasa sepuluh [sembilan] hari bulan Zulhijjah tersebut masyru'
(disyariatkan).
(Habis)
Referensi
1.SM edisi 4/2007
2.HR.
Muslim 1162 dengan redaksi
panjang. HR. An Nasai 2796 Sunan
kubro, HR. Ahmad 2258
3.HR.
Bukhari 910 Fathul Bari, Shahih.
4.HR. Muslim 233, At Tirmidzi 198.
Shahih.
5.HR.
Abu Daud 2437, HR. Ahmad 25273, HR. An Nasai 2374. Shahih.
6.HR.
Bukhari 1661, Fathul Bari. Shahih
7.HR. An Nasai 2416/2373. Dhaif.
8.HR. Ibnu Hibban 324. At Tirmidzi
757/688, Ibnu Majah 1727, Ibn Khuzaimah 2865 Shahih.
9.HR. An Nasai 2416/2373. Dhaif.
10.HR. Muslim 2010. Shahih
SEPUTAR PUASA ARAFAH (Bagian 5, Habis)
Reviewed by sangpencerah
on
Juli 21, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: