SEPUTAR PUASA ARAFAH (Bagian 5, Habis)


Lanjutan terakhir dari (Bagian 4, SEPUTAR PUASA ARAFAH), 

Adapun isteri Hunaidah memang majhul, yaitu tidak dikenal sama sekali identitas dirinya. Tidak ada satupun sumber biografis yang dilacak sejauh ini menyebutkan identitasnya. Namun penjelasan lain dapat diberikan. Hunaidah sendiri dinilai oleh para biografer ahli hadis sebagai rawi terpercaya. Nama lengkapnya adalah Hunaidah Ibn Khalid al-Khuza‘i, terbilang ke dalam kelompok tabiin. Tetapi ada beberapa biografer yang menyatakannya sebagai Sahabat. Ia banyak bergaul dengan Sahabat dan meriwayatkan hadis dari beberapa di antara mereka. Ia pernah bertemu Ali Ibn Abi Talib dan ikut bersamanya melaksanakan suatu hukuman hadd (dengan cambuk) terhadap seseorang pelaku kejahatan. Ia mula-mula di Madinah kemudian pindah ke Kufah. Ibunya adalah bekas budak Umar Ibn al-Khattab. Oleh karena itu Hunaidah tentulah dekat dengan keluarga Umar, termasuk anaknya Hafsah. Dengan begitu, meskipun isterinya majhul, namun antara Hunaidah dan Hafsah tidak ada keterputusan karena keduanya muasir (sezaman) dan mengingat hubungan keluarga mereka yang dekat tentu Hunaidah banyak mengetahui riwayat yang bersumber kepada Hafsah. Oleh karena itu ada alasan untuk menerima hadis ini.

Mengenai sanggahan ‘Aisyah, seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang dikutip di atas, para komentator (pensyarah) hadis menjelaskan sebagai beikut. An-Nawawi (w. 676/1278) dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan, “Hadis ‘Aisyah ‘Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw melakukan puasa sepuluh” takwilnya adalah puasa sembilan hari sejak hari pertama bulan Zulhijjah. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa puasa sembilan itu makruh, melainkan sangat disunatkan terutama pada hari yang ke-9, yaitu hari Arafah. Terdahulu telah diterangkan hadis-hadis yang menunjukkan keutamaannya, dan dalam Shahih al-Bukhari  diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Tiadalah hari yang amal salih padanya lebih utama dari hari-hari ini, maksudnya sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah. Pernyataan ‘Aisyah bahwa ia tidak pernah melihat Rasulullah puasa sepuluh hari takwilnya adalah bahwa ia tidak melihatnya melakukannya pada waktu sakit atau waktu dalam perjalanan atau lainnya. Atau bisa juga ditakwil bahwa tidak melihatnya itu tidak berarti bahwa beliau dalam kenyataannya tidak melakukannya. Takwil ini ditunjukkan oleh hadis Hunaidah dari salah seorang isteri Nabi saw [VIII: 71-72].

Dalam al-Majmu‘ an-Nawawi menegaskan bahwa ‘Aisyah ia tidak melihat Nabi saw melakukan puasa sepuluh itu tidak berarti bahwa beliau tidak melakukannya dalam kenyataan. Beliau kadang-kadang berada bersama ‘Aisyah pada salah satu dari sembilan hari Zulhijjah dan pada isterinya yang lain pada hari-hari sisanya. Atau dapat juga ditakwil bahwa beliau melakukan puasa sepuluh itu pada tahun tertentu dan tidak melakukannya pada tahun yang lain karena sakit atau dalam perjalanan atau karena alasan lain. Demikianlah jamak (kompromi) dilakukan terhadap hadis-hadis ini [VI: 414].

Ibnu Hajar (w. 852/1449), pensyarah terbesar Shahih al-Bukhari, menegaskan bahwa hadis ini [maksudnya hadis al-Bukhari tentang tiada hari yang amal salih lebih afdal untuk dikerjakan pada hari itu dari pada hari yang sepuluh ini] menjadi dalil atas keutamaan puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah karena puasa itu termasuk dalam amal salih. Tidak ada pertentangan dengan hadis ‘Aisyah karena ada kemungkinan beliau pada waktu tertentu tidak melakukannya karena khawatir dianggap wajib oleh umatnya [II: 460].

Imam az-Zarkasyi (w. 794/1392) menyatakan bahwa hadis ‘Aisyah itu bisa diartikan bahwa ‘Aisyah tidak tahu bahwa beliau melakukan puasa sepuluh karena beliau membagi hari-harinya di antara isteri-isteri beliau. Ada kemungkinan beliau puasa tidak pada hari-hari bersama ‘Aisyah [Al-Ijabah, 173]. Ibnu Qudamah (w. 620/1223), dalam al-Kafi, menegaskan, “Disunatkan puasa sepuluh [sembilan] hari bulan Zulhijjah berdasarkan hadis dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan bahwa Rasulullah bersabda: Tiadalah hari yang amal salih padanya lebih disukai oleh Allah dari hari-hari sepuluh ini” [I: 362].

Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadis tentang puasa sepuluh/sembilan Zulhijjah dapat diterima dan puasa sepuluh [sembilan] hari bulan Zulhijjah tersebut masyru' (disyariatkan).

(Habis)

Referensi
1.SM edisi 4/2007
2.HR.  Muslim 1162 dengan redaksi  panjang. HR.  An Nasai 2796 Sunan kubro, HR.  Ahmad 2258
3.HR.  Bukhari 910 Fathul Bari,  Shahih.
4.HR. Muslim 233, At Tirmidzi 198. Shahih.
5.HR.  Abu Daud 2437,  HR.  Ahmad 25273, HR. An Nasai 2374. Shahih.
6.HR.  Bukhari 1661, Fathul Bari.  Shahih
7.HR. An Nasai 2416/2373. Dhaif.
8.HR. Ibnu Hibban 324. At Tirmidzi 757/688, Ibnu Majah 1727, Ibn Khuzaimah 2865 Shahih.
9.HR. An Nasai 2416/2373. Dhaif.      

10.HR. Muslim 2010. Shahih

SEPUTAR PUASA ARAFAH (Bagian 5, Habis) SEPUTAR PUASA ARAFAH (Bagian 5, Habis) Reviewed by sangpencerah on Juli 21, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar: