PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh: Dr. Syamsurizal Yazid, MA
Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Tim Ahli Majelis Tarjih PDM kota Malang


Pluralisme agama sering diartikan sebagai paham yang mengakui bahwa semua agama itu benar. John Hick misalnya—seperti dimuat dalam Harian Republika tanggal 24 Juni 2001—mengartikan pluralisme agama sebagai paham yang mengakui semua agama mengandung jalan kebenaran yang sama (Other religions are equally valid ways to the same truth); Demikian juga dengan John B Cobb Jr mengartikannya sebagai masing-masing agama berbicara yang berbeda-beda, tetapi semuanya mengandung kebenaran (Other religions speak of different but equally valid truths) dan Raimundo Panikkar mengatakan bahwa paham pluralisme agama mengandung makna bahwa masing-masing agama mengungkapkan bagian penting dari kebenaran (Each religion expresses an important part of the truth).

Dari pengertian pluralisme agama di atas, maka jelaslah bahwa seseorang yang menganut pluralisme agama tidak boleh hanya mengakui kebenaran agama yang dianutnya saja, melainkan juga harus mengakui kebenaran agama-agama lain.


Pluralisme agama dalam perspektif Al-Qur’ān .

Setiap penganut agama pasti akan mengatakan bahwa agama yang dianutnyalah yang benar (truth claim). Al-Qur’an  sudah memberikan penjelasan yang sangat jelas dalam masalah pluralisme agama ini. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an :


إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ


”Sesungguhnya Agama yang benar di sisi Allah adalah Islam” (QS, Ali Imran:19)

 

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

Siapa yang memilih agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (oleh Allah SWT) darinya dan dia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi”. (QS, Ali Imran: 85)


Dua ayat di atas dengan sangat tegas menyatakan bahwa seorang Muslim wajib meyakini Al-Islam adalah satu-satunya Agama  yang benar di sisi Allah SWT. Kendati

demikian, bukan berarti dia harus hidup bermusuhan dengan para penganut agama- agama lain. Untuk itulah Allah SWT menetapkan ajaran toleransi (tasāmuh). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Kāfirūn.

Ibnu Isḥāq dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbās bahwa sebab turun surat Al-Kāfirūn ini adalah bahwa Al-Walīd bin Al-Mughīrah, Al-Aṣ bin ‟il, Al-Aswad bin Abdul Muṭallib dan Umayyah bin Khalf menemui Rasūlullāh SAW. dan berkata: “Hai Muhammad, bagaimana kalau kita saling bergantian menyembah tuhan, kami dan anda bekerjasama dalam semua urusan. Kalau apa yang engkau bawa lebih baik dari apa yang ada pada kami, maka kami akan bersyarikat denganmu dan menempuh jalanmu. Tetapi kalau apa yang ada pada kami lebih baik dari apa yang kamu miliki, maka anda bersyarikat dan mengikuti kami”. Atas dasar inilah Allah SWT menurunkan surat Al-Kāfirūn.

 

Ajaran toleransi yang diajarkan Al-Qur’an sangat jelas. Diantara bagian ajaran toleransi yang juga diajarkannya yaitu seorang anak (Muslim) tetap wajib menghormati dan memperlakukan dengan baik orangtuanya yang berbeda agama dengannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT di dalam surat Luqmān, ayat 15:

 

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَٱتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ ۚ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

”Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

 

Namun demikian, dia tidak boleh mentaati perintah dan ajakan orangtuanya yang melanggar aturan Agama. Fakta historis dalam masalah ini adalah Rasūlullāh

SAW. dan pamannya Abū Ṭālib. Di mana Abū Ṭālib sampai akhir hayatnya tetap dengan kekafirannya.  Kendati  berbeda  keyakinan  dengan  pamannya,  Rasūlullāh

SAW. tetap hormat dan hidup berdampingan secara damai dengan pamannya tersebut. Hanya saja kalau sudah menyangkut masalah prinsip, maka Rasūlullāh SAW. tetap tegas memegang prinsip. Hal ini terbukti, ketika orang-orang Kafir Quraisy meminta Abū Ṭālib untuk membujuk keponakannya (Muhammad SAW) agar kembali kepada agama nenek moyang mereka, dengan imbalan sejumlah harta, pangkat dan isteri yang cantik. Tetapi Rasūlullāh SAW.—dengan penuh hormat dan sopan menolak semuanya dan mengatakan dengan tegas kepada pamannya:

”Demi  Allah  wahai  pamanku,  kalau  sekiranya  mereka  (orang-orang  Kafir Quraisy) meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan harapan saya  meninggalkan masalah ini (Agama), maka saya tidak akan melakukannya sampai Allah SWT sendiri yang memenangkannya atau saya sendiri binasa”.

 Di samping itu, sebagai bukti bahwa Islam adalah Agama yang toleran, Allah SWT melarang umat Islam memaksakan Islam kepada orang lain.

 

لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ

"Tidak ada pemaksaaan dalam masuk Islam, sebab sudah jelas antara yang benar dengan yang sesat" (Q.S. Al-Baqarah: 256)

 

Di dalam surat Yūnus, ayat 99 Allah SWT juga berfirman:

 

وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَءَامَنَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا۟ مُؤْمِنِينَ

”Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”

 

Prof. Dr. H.M. Rosyidi mengungkapkan perbedaan antara kebebasan beragama dan kebebasan berpikir:

“Kebebasan beragama atau religious freedom adalah salah satu dari pada kata-kata yang di dalam perkembangannya telah kehilangan arti yang bersifat ilmiah dan pasti. Biasanya kebebasan beragama disalahpahamkan dan dianggap sama dengan kemerdekaan berpikir (freedom of thought), padahal orang yang menganjurkan kemerdekaan berpikir belum tentu setuju dengan kebebasan beragama. Kemerdekaan berpikir adalah dasar filsasat yang menganggap dirinya mempunyai kebenaran mutlak, sedangkan kemerdekaan beragama hanya merupakan suatu prinsip yuridis yang mengatur hubungan luar antara beberapa individu-individu atau kelompok- kelompok”.

Bagian dari ajaran toleransi yang cukup penting juga yang diajarkan Al-Qur’an adalah adanya larangan bagi umat Islam untuk mengejek tuhan penganut agama- agama lain.


وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.(Q.S. Al-An’am: 108)

 

Ajaran toleransi ini sangatlah penting dalam konteknya dengan pluralisme agama, sebab dengan adanya toleransi ini diharapkan akan tetap terjalin hubungan yang harmonis antara umat Islam dengan para penganut agama-agama lain.

Demikianlah pandangan Al-Qur’an tentang pluralisme agama. Karena  hal yang menyangkut tentang pluralisme agama ini termasuk sesuatu yang prinsip (uṣūliyah) di dalam Islam, maka bukanlah hal compromisable. Islam juga tidak memaksa para pemeluk agama-agama lain untuk mengakui kebenaran Islam. Lakum dīnukum wa līa dīni” (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku).

 

REFERENSI:

v  Abū al-Ḥasan „Alī bin Aḥmad al-Wāḥidī, Asbāb al-Nuzūl al-Qur’ān, Beirūt: Dār al- Kutub al-Ilmiyah, 1991 M.

v  Ḥasan Ibrāhīm Ḥasan, Tārīkh Islām: al-Siyāsī, wa al-Dīnī, wa a-Thaqāfī wa al- Ijtimā’ī, Beirūt: Dār Iḥyā al-Turāth al-Arabī, 1964 M.

v  Prof. Dr. H.M. Rosyidi, Kebebasan beragama menurut Islam dalam Media Dakwah tahun 1979.

v  Harian Republika,  24 Juni 2001





PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Reviewed by sangpencerah on November 24, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar: