Peristiwa bersejarah dalam Islam salah satunya adalah Isra’ Mi’raj
Rasulullah SAW dan
merupakan mu’jizat terbesar kenabian beliau, dan peristiwa ini diakui oleh
seluruh kaum muslimin dunia. Secara historis peristiwa ini terjadipada tanggal 27 Rajab, sehingga perayaan Isra’
Mi’raj sudah merupakan sesuatu yang tidak dapat
terlupakan di kalangan masyarakat muslim
dari dulu hingga kini masih terus berlanjut. Bahkan, hari tersebut menjadi hari
libur Nasional. Semangat kaum muslimin untuk merayakannya sangat tinggi dan
antusias, bahkan sebagian dari mereka tidak meninggalkannya, jika terlanjur
meninggalkannya mereka mengganti dengan ritual lain. Oleh karena itu, bagaimana
sebenarnya Islam memposisikan hari tersebut? mari kita kaji masalah ini dari
dua sudut pandang yaitu pandangan historis dan syari’at dalam perayaannya!
Secara Historis
Dalam catatan sejarah waktu terjadinya Isra’ Mi’raj masih diperselisihkan oleh para ulama. Baik hari, tanggal dan
bulannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani memaparkan perselisihan
tersebut dalam Fathul Bari (7/203) hingga mencapai lebih dari sepuluh pendapat!
Ada yang berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Ramadhan, Syawwal,
Rabi’ul Awwal, Rabi’uts Tsani … dan seterusnya. Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan dari az-Zuhri dan Urwah bahwa
Isra’ Mi’raj terjadi setahun sebelum Rasul SAW hijrah ke kota Madinah, yaitu
bulan Rabi’ul Awwal. Adapun pendapat as-Sa’di, waktunya
adalah enam belas bulan sebelum hijrah, yaitu bulan Dzulqa’dah. Al-Hafizh Abdul
Ghani bin Surur al-Maqdisi mencantumkan dalam Sirahnya hadits yang tidak shahih
sanadnya tentang waktu Isra’ Mi’raj pada tanggal 27 Rajab. Dan sebagian manusia
menyangka bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam Jum’at pertama bulan Rajab,
yaitu malam Ragha’ib, yang dikenal dengan istilah shalat raghaib Cuma kemasyhuran ini tidak ada
asalnya (al-Bidayah wan Nihayah (3/108-109)
cet. Maktabah al-Ma’arif)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tidak ada dalil shahih
yang menetapkan bulan maupun tanggalnya, seluruh nukilan tersebut munqathi’
(terputus) dan berbeda-beda” (Zadul Ma’ad 1/57
oleh Ibnul Qayyim)
Bahkan Imam Abu Syamah menegaskan, “Sebagian
tukang cerita menyebutkan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab. Hal itu
menurut ahli hadits merupakan kedustaan yang amat nyata” (al-Ba’its
ala Inkar Bida’ wal Hawadits:171)
Dari pandangan para ulama di atas, dapat dipahami bahwa Isra’
Mi’raj merupakan malam yang agung, namun tidak diketahui waktunya. Agar pembaca
memahami masalah ini dengan mudah, saya uraikan: “Ada sebagian
ibadah yang berhubungan erat dengan
waktu, kita tidak boleh dilewatinya, misalnya shalat lima waktu Sebagian ibadah lainnya, Allah menyembunyikan
waktunya dan memerintahkan kita untuk berlomba-lomba
mencarinya, seperti malam Lailatul Qadar. Dan ada sebagian waktu yang mulia
derajatnya di sisi Allah namun tidak ada ibadah khusus untuknya. (seperti
shalat dan puasa) Oleh karena itu, Allah menyembunyikan waktunya, seperti malam
Isra’ Mi’raj.” (Majalah at-Tauhid, Mesir hal. 9
edisi 7 tahun 28, Rajab 1420 H)
Meyakini keberadaan dan kejadiannya
Ditinjau dari segi syari’at, jika memang benar Isra’ Mi’raj
terjadi pada 27 Rajab, bukan berarti waktu tersebut harus dijadikan sebagai
malam perayaan dengan pembacaan kisah-kisah palsu tentang Isra’ Mi’raj. Sebab,
perayaan tersebut tidaklah dikenal di masa shahabat, tabi’in, dan para pengikut
setia mereka. Islam hanya memiliki tiga hari raya; Idul Fitri dan Idul Adha
setiap satu tahun, dan hari Jum’at setiap satu minggu. Selain tiga ini, tidak
termasuk agama Islam (at-Tamassuk bis Sunnah Nabawiyah (33-34) oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin) Ibnu Hajj berkata, “Termasuk perkara baru yang diada-adakan orang-orang pada malam 27 Rajab adalah….”
Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh perkara baru pada malam tersebut seperti kumpul-kumpul di
masjid, ikhtilath (campur-baur antara laki-laki dan perempuan), menyalakan
lilin dan pelita. Beliau juga menyebutkan, perayaan malam Isra’ Mi’raj termasuk
perayaan yang disandarkan kepada agama, padahal bukan dari agama.” (al-Madkhal 1/294-298 dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah:275-276
oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz at-Tuwaijiri)
Ibnu Nuhas berkata, “Sesungguhnya perayaan malam ini (Isra’
Mi’raj) merupakan hal baru yang besar dalam
agama yang diada-adakan oleh saudara-saudara setan”(Tanbihul
Ghafilin 379-380)
Muhammad bin Ahmad asy-Syafi’i
menegaskan, “Pembacaan kisah Mi’raj dan perayaan malam 27 Rajab
merupakan perkara baru (bid’ah) …. Dan
kisah Mi’raj yang disandarkan kepada Ibnu Abbas ra, seluruhnya merupakan
kebatilan dan kesesatan. Tidak ada yang shahih, kecuali beberapa huruf saja.
Demikian pula kisah Ibnu Sulthan, seorang penghambur yang tidak pernah shalat
kecuali di bulan Rajab saja. Namun tatkala hendak meninggal dunia, terlihat padanya
tanda-tanda kebaikan. Sehingga saat Rasulullah SAW ditanya masalah ini, beliau
menjawab, “Sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh dan berdo’a pada bulan
Rajab.” Semua ini merupakan kedustaan dan kebohongan. Haram hukumnya membacakan
dan melariskan riwayatnya, kecuali untuk menjelaskan kedustaannya. Sungguh
sangat mengherankan kami, tatkala para jebolan al-Azhar membacakan kisah-kisah
palsu seperti ini kepada khalayak” (as-Sunan
wal Mubtada’at:127)
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Malam Isra’
Mi’raj tidak diketahui waktu terjadinya. Karena seluruh riwayat tentangnya
tidak ada yang shahih menurut para pakar ilmu hadits. Di sisi Allah-lah hikmah
di balik semua ini. Kalaulah memang diketahui waktunya, tetap tidak boleh bagi
kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah dan perayaan. Sebab hal itu tidak
pernah dilakukan Rasul SAW dan para sahabatnya. Seandainya disyari’atkan,
pastilah Rasul SAW menjelaskannya kepada umat, baik dengan perkataan maupun
dengan perbuatan….”
Kemudian beliau berkata, “Dengan penjelasan para ulama beserta
dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits di atas, sudah cukup bagi para pencari
kebenaran mengingkari hal baru malam Isra’
Mi’raj yang memang bukan dari Islam …. Sungguh amat menyedihkan, hal baru ini merayap di segala penjuru negeri Islam sehingga diyakini bahwa perayaan
tersebut merupakan bagian dari agama. Kita
berdo’a kepada Allah SWT agar
memperbaiki keadaan kaum muslimin semuanya dan memberi karunia kepada mereka
berupa ilmu agama dan taufiq serta istiqamah di atas kebenaran” (at-Tahdzir
minal Bida:9 oleh Syaikh Ibnu Baz)
Khatimah
Dari uraian tersebut di atas, tentu dapat mengambil sikap bijak
dalam masalah ini, ada baiknya jika kita tidak menutup rapat-rapat atau anti
pati dalam masalah Isra’ Mi’raj ini, dan juga tidak melegalkan sesuatu yang memang tidak ada dasar dalam agama. Lalu bagaimana kita menyikapi hal tersebut?
Menurut hemat penulis dalam Islam terdapat dua jenis Ibadah yaitu mahdhan
dan ghairu mahdhah, keduanya memiliki ciri yang melekat padanya yaitu kemanfaatan
(kemashlahatan) baik bagi dirinya maupun orang lain. Dari sinilah kita dapat
menentukan sikap dalam masalah Isra’ Mi’raj, karena Islam dan semua ajarannya
bersifat fleksible. Maka dari itu merayakan Isra’ Mi’raj dalam rangka
menanamkan semangat beribadah dan meningkatkan kualitas ibadah
shalat dan amal shalih lainnya, tidaklah dilarang, selama tidak menimbulkan
kejahatan, misalnya mengadakan kajian-kajian terkait peristiwa itu atau
aksi-aksi kemanusia yang bermanfaat dalam hidupnya. Namun yang perlu
diperhatikan di sini adalah dalam merayakannya tidak dengan melakukan
ritual-ritual khusus yang diyaqini memiliki keistimewaan tertentu bagi
pelakunya. Akan tetapi dalam merayakannya tidak lebih dari sekedar memanfaatkan
momen tersebut untuk lebih bersemangat dalam meningkatkan ibadah dan amal
shalih kepada Allah SWT sepanjang hidupnya, sebagaimana semangat Rasulullah
ketika memenuhi undangan Allah SWT, sekalipun ditengah malam yang gelap, dan di
saat semua orang sedang lelap tidur. Wallaahu
A’lam bish-Shawaab.
Tidak ada komentar: