Setiap kebaikan yang dilakukan manusia akan
dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan yang
semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Swt berfirman: “Kecuali amalan puasa.
Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.”
Potongan
hadits tersebut diriwayatkan Imam Bukhari yang membincangkan tentang penilaian Allah terhadap
keistimewaan bulan puasa. Bulan puasa menjadi dambaan umat Islam untuk meraih
kemuliaan. Selama sebulan itu, umat Islam harus berjuang untuk melawan hawa
nafsunya agar menjadi manusia yang tercerahkan. Manusia tercerahkan adalah
manusia yang secara moral-spiritual berada pada derajat yang muttaqin sebagaimana yang menjadi tujuan
puasa itu sendiri (QS.2:183).
Bagi orang yang berpuasa dengan niat yang tulus, akan terjadi perubahan dalam jiwa dan batinnya.
Namun,
transformasi spiritual itu tidak serta terjadi begitu saja bagi, melainkan menuntut kesungguhan dan
penghayatan yang mendalam tentang hakikat puasa. Dalam pandangan al-Ghazali, adalah puasa yang masuk pada tingkatan “khusus al-khusus”, yaitu puasa yang tidak hanya mencegah
unsur dhahir dari maksiat, tetapi juga puasa hati dari segala kehendak dan niat
yang hina dan tidak baik.
Puasa yang sarat aktivitas ritual-spiritual ini diharapkan
dapat memberikan implikasi moral bagi pelakunya agar terjadi perubahan dalam
dirinya. Tidak hanya pada aspek
spiritual semata, tetapi juga berimbas pada dimensi
humanitas. Mengapa demikian? Karena puasa kerapkali dipandang sebagai
wahana spiritualitas yang tidak banyak bersentuhan dengan aspek konkrit
kemanusiaan. Padahal kedalaman spiritualitas yang diperoleh dari ibadah puasa
itu perlu diuji dalam lapangan kehidupan konkrit. Dengan demikian kita dapat
menilai sejauhmana spiritualitas itu berperan membentuk mental dan semangat
sosial kemanusiaan.
Konsumerisme
Kecenderungan sebagian orang yang berpuasa adalah
meningkatnya pola hidup konsumtif. Mulai dari konsumsi makanan,
cara berpakaian hingga barang belanjaan yang lain. Tak ubahnya waktu berbuka puasa
dan sahur menjadi ajang pesta pora sebagai pembalasan selama seharian penuh
yang tidak makan dan minum.
Kenyataan ini berbalik
dengan semangat puasa sebagai media untuk menahan diri
dari kebiasaan yang berlebih-lebihan.
Kebiasaan
ketika hampir mendekati hari raya atau lebaran, masyarakat
berbondong-bondong pergi ke mal atau tempat-tempat yang menyediakan segala
kebutuhan untuk menyambut hari raya. Sejumlah uang dikeluarkan untuk memenuhi
“hasrat konsumtif” yang tak tertahankan. Banyak rumah dicat dan dilengkapi berbagai aksesoris yang enak dipandang.
Sementara di lingkungan sekitarnya masih dijumpai
orang-orang
yang tak bisa membeli sesuap nasi untuk kebutuhan pokoknya. Nabi Muhammad
mengingatkan kepada kita, “tidak sempurna
iman seseorang yang apabila dirinya sendiri kenyang, sementara orang lain
(tetangga dekatnya) kelaparan” (HR.Bukhari).
Sejatinya, puasa itu dijadikan refleksi untuk memotret
diri dan realitas sosial yang terjadi di lingkungan sekitar. Puasa mengajarkan tentang perasaan senasib walaupun sedang
berada pada posisi yang memiki
kekayaan berlebih. Dengan keadaan lapar dan haus, seseorang bisa membayangkan betapa
tersiksanya mereka yang tidak mampu secara ekonomi.
Sebab itu, di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk, ibadah puasa bisa
menjadi terapi krisis kemanusian. Nurcholish Madjid dalam karya monumentalnya
berjudul Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, menjelaskan bahwa puasa memiliki fungsi kemanusiaan dengan
karena dimensi cinta dan kasih sayang muncul dari seorang yang berpuasa. Puasa tidak hanya tanggungjawab individu
dengan Tuhan-Nya, melainkan manusia dengan manusia lainnya.
Dengan puasa mudah-mudahan pikiran dan hati setiap umat Islam lebih sensitif dalam menyelesaikan berbagai kemunkaran sosial. Bukan
sebaliknya hanya dijadikan restorasi
spiritual yang sunyi dari berbagai persoalan umat.
Dimensi cinta dan kasih sayang terhadap orang lain
diharapkan lahir dari ibadah puasa. Karena puasa merupakan embrio bagi
timbulnya kepedulian sosial, maka langkah awal untuk membangun kehidupan sosial
yang humanis telah kita raih dengan melakukan berbagai kerja-kerja sosial yang
mengangkat kesengsaraan mereka.
Tidak ada komentar: