Puasa dan Dzikir Kemanusiaan

Puasa dan Dzikir Kemanusiaan
OlehHaeri Fadly 
Anggota Majelis Tarjih Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur)


Setiap kebaikan yang dilakukan manusia akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Swt berfirman: “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.

 

Potongan hadits tersebut diriwayatkan Imam Bukhari yang membincangkan tentang penilaian Allah terhadap keistimewaan bulan puasa. Bulan puasa menjadi dambaan umat Islam untuk meraih kemuliaan. Selama sebulan itu, umat Islam harus berjuang untuk melawan hawa nafsunya agar menjadi manusia yang tercerahkan. Manusia tercerahkan adalah manusia yang secara moral-spiritual berada pada derajat yang muttaqin sebagaimana yang menjadi tujuan puasa itu sendiri (QS.2:183).

 

Bagi orang yang berpuasa dengan niat yang tulus, akan terjadi perubahan dalam jiwa dan batinnya. Namun, transformasi spiritual itu tidak serta terjadi begitu saja bagi, melainkan menuntut kesungguhan dan penghayatan yang mendalam tentang hakikat puasa. Dalam pandangan al-Ghazali, adalah puasa yang masuk pada tingkatan “khusus al-khusus”, yaitu puasa yang tidak hanya mencegah unsur dhahir dari maksiat, tetapi juga puasa hati dari segala kehendak dan niat yang hina dan tidak baik.

 

Puasa yang sarat aktivitas ritual-spiritual ini diharapkan dapat memberikan implikasi moral bagi pelakunya agar terjadi perubahan dalam dirinya. Tidak hanya pada aspek spiritual semata, tetapi juga berimbas pada dimensi humanitas. Mengapa demikian? Karena puasa kerapkali dipandang sebagai wahana spiritualitas yang tidak banyak bersentuhan dengan aspek konkrit kemanusiaan. Padahal kedalaman spiritualitas yang diperoleh dari ibadah puasa itu perlu diuji dalam lapangan kehidupan konkrit. Dengan demikian kita dapat menilai sejauhmana spiritualitas itu berperan membentuk mental dan semangat sosial kemanusiaan.

 

Konsumerisme

Kecenderungan sebagian orang yang berpuasa adalah meningkatnya pola hidup konsumtif. Mulai dari konsumsi makanan, cara berpakaian hingga barang belanjaan yang lain. Tak ubahnya waktu berbuka puasa dan sahur menjadi ajang pesta pora sebagai pembalasan selama seharian penuh yang tidak makan dan minum. Kenyataan ini berbalik

dengan semangat puasa sebagai media untuk menahan diri dari kebiasaan yang berlebih-lebihan.

 

Kebiasaan ketika hampir mendekati hari raya atau lebaran, masyarakat berbondong-bondong pergi ke mal atau tempat-tempat yang menyediakan segala kebutuhan untuk menyambut hari raya. Sejumlah uang dikeluarkan untuk memenuhi “hasrat konsumtif” yang tak tertahankan. Banyak rumah dicat dan dilengkapi berbagai aksesoris yang enak dipandang.

 

Sementara di lingkungan sekitarnya masih dijumpai orang-orang yang tak bisa membeli sesuap nasi untuk kebutuhan pokoknya. Nabi Muhammad mengingatkan kepada kita, “tidak sempurna iman seseorang yang apabila dirinya sendiri kenyang, sementara orang lain (tetangga dekatnya) kelaparan” (HR.Bukhari).

 

Sejatinya, puasa itu dijadikan refleksi untuk memotret diri dan realitas sosial yang terjadi di lingkungan sekitar. Puasa mengajarkan tentang perasaan senasib walaupun sedang berada pada posisi yang memiki kekayaan berlebih. Dengan keadaan lapar dan haus, seseorang bisa membayangkan betapa tersiksanya mereka yang tidak mampu secara ekonomi.

 

Sebab itu, di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk, ibadah puasa bisa menjadi terapi krisis kemanusian. Nurcholish Madjid dalam karya monumentalnya berjudul Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, menjelaskan bahwa puasa memiliki fungsi kemanusiaan dengan karena dimensi cinta dan kasih sayang muncul dari seorang yang berpuasa. Puasa tidak hanya tanggungjawab individu dengan Tuhan-Nya, melainkan manusia dengan manusia lainnya.  

 

Dengan puasa mudah-mudahan pikiran dan hati setiap umat Islam lebih sensitif dalam menyelesaikan berbagai kemunkaran sosial. Bukan sebaliknya hanya dijadikan restorasi spiritual yang sunyi dari berbagai persoalan umat.

 

Dimensi cinta dan kasih sayang terhadap orang lain diharapkan lahir dari ibadah puasa. Karena puasa merupakan embrio bagi timbulnya kepedulian sosial, maka langkah awal untuk membangun kehidupan sosial yang humanis telah kita raih dengan melakukan berbagai kerja-kerja sosial yang mengangkat kesengsaraan mereka.

           


Puasa dan Dzikir Kemanusiaan Puasa dan Dzikir Kemanusiaan Reviewed by sangpencerah on April 30, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar: