Puasa sebagai Simulasi Kemiskinan

 Puasa sebagai Simulasi Kemiskinan
Oleh:Pradana Boy ZTF ( Dosen Fakultas Agama Islam UMM, Alumnus National University of Singapore)


Setiap ibadah tidak hanya mempertimbangkan aspek ukhrawi dan untuk kepentingan ibadah itu sendiri, melainkan juga selalu mengandung dimensi-lain di luar ubudiyah. Bisa dimensi sosial, filosofis, ekonomis atau hukum. Dalam istilah hukum Islam, kandungan di balik sebuah ibadah atau disyariatkannya sebuah hukum lazim disebut maqashid al-syari’ah.

 

Dalam kaitan dengan puasa, maqashid al-syari’ah juga bukan pengecualian. Artinya, puasa sebagai ibadah ritual tidak semata-mata bertujuan dan bermuara pada ketaatan ritual, tetapi juga dimaksudkan sebagai ibadah yang memberikan pelajaran sosial bagi umat Islam. Dalam konteks peribadatan Islam, umumnya ibadah dibedakan menjadi ibadah syakhsiyyah dan ibadah ijtima’iyah. Jika yang pertama merujuk kepada ibadah individu, yang efek dari ibadah itu juga hanya bisa dirasakan oleh individu, maka yang kedua merujuk kepada sebuah konteks di mana ibadah juga memiliki dampak sosial bagi kehidupan masyarakat.

Jika menggunakan kerangka ini, maka puasa sebenarnya merupakan perpaduan dari kedua tipe ibadah itu. Pernyatan al-Qur’an bahwa dengan melaksanakan puasa secara baik dan benar, maka itu akan bermuara kepada peningkatan ketakwaan seseorang merupakan bentuk penegasan bahwa kepentingan individu bisa dicapai melalui ibadah puasa. Tidak hanya berhenti di situ, peningkatan ketakwaan individu itu menjadi tidak berarti ketika pada saat bersamaan, puasa tidak membawa orang kepada tingkat sensitivitas sosial tertentu.

Karena itu, dengan menahan lapar selama sehari penuh, pelajaran sosial yang terkandung adalah bahwa sepatutnya dengan merasakan rasa lapar selama sehari itu, kita diajak untuk merasakan kehidupan kaum fakir miskin yang bisa jadi dalam kehidupan riilnya makan merupakan barang mewah. Dengan merasakan kelaparan yang serupa juga diharapkan kaum Muslimin menjadi semakin sensitif dengan problem kemiskinan yang ada dalam kehidupan nyata berbangsa kita.

Dalam pandangan antropologis sering dikatakan bahwa penuturan seseorang tentang suatu persoalan yang kemudian melahirkan sebuah teori tertentu, akan memiliki tingkat validitas yang lebih tinggi, tatkala sang penutur mengalami keterlibatan langsung dalam apa yang sedang dituturkan atau ditulisnya. Pengalaman langsung menjadi satu faktor yang teramat penting. Sebaliknya, penuturan atas suatu persoalan yang tidak dialami secara langsung oleh sang penutur menjadi kurang meyakinkan jika dibandingkan dengan konteks yang pertama.

Ini bermakna bahwa dengan puasa sebenarnya Islam bermaksud mengajak seluruh umatnya, utamanya mereka yang berkecukupan, untuk merasakan secara langsung bagaimana kehidupan kaum miskin. Dengan kata lain, puasa juga bisa dimaknai sebagai simulasi kemiskinan yang harus dijalani oleh seluruh umat Islam tanpa terkecuali.

Mengapa turut merasakan kepedihan orang miskin ini menjadi penting? Sayyidina Ali suatu saat pernah berujar bahwa kemiskinan adalah sebuah kondisi yang bisa mendekatkan orang kepada kekafiran. Pemahaman yang selama ini berkembang adalah bahwa dekatnya kemiskinan dengan kekafiran terjadi karena orang miskin seringkali terjebak pada tindakan-tindakan kriminalitas yang dilarang oleh agama. Pemahaman seperti ini tidak hanya tidak sensitif tetapi juga mengandung unsur dehumanisasi yang cukup kental.

Karena itu, alih-alih memaknai perkataan Ali dengan pemahaman sepihak seperti itu, kita semestinya melakukan pemaknaan yang lebih partisipatif dan manusiawi. Artinya, jika tindakan kriminalitas kaum miskin, yang melakukannya dengan keterpaksaan itu harus dimaknai sebagai tindakan yang menjauhkan orang dari ajaran agama, maka sesungguhnya mereka yang membiarkan kemiskinan itu berlangsunglah yang lebih berhak dikatakan dekat dengan kekafiran. Maka dalam sebuah komunitas di mana kemiskinan ada, sementara di sisi lain, dalam komunitas yang sama juga terdapat kelompok-kelompok orang mampu yang acuh terhadap situasi kemiskinan itu, maka dosa teologis maupun dosa sosial yang dipikul oleh keacuhan mereka jauh lebih besar daripada tindakan kriminal yang dilakukan si miskin di tengah keterpaksaan itu.

Kemiskinan bukanlah fenomena sosial yang berdiri sendiri. Kemiskinan dalam kaca mata ilmu sosial sebenarnya merupakan akibat dari sejumlah kompleksitas suasana sosial, politik dan ekonomi dalam satu masyarakat. Secara sosial, kemiskinan bisa saja lahir dari tidak berjalannya sistem sosial dan hubungan antarkelas. Eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh para pemodal, misalnya, bisa ditunjuk sebagai salah satu sebab kenapa kemiskinan tidak pernah terselesaikan. Pola hubungan eksploitatif yang semacam ini menjadi semakin parah manakala para pemilik modal hanya memandang para pekerja sebagai mesin produksi untuk memperbesar kapital tanpa memperhatikan sisi-sisi kemanusiaannya, memenuhi hak-haknya.

Di sisi lain, kemiskinan juga bisa merupakan akibat tindakan politik para penguasa. Dalam konteks inilah maka ilmu sosial sering membagi kemiskinan menjadi kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural umumnya dimaknai sebagai kemiskinan yang secara sadar diciptakan oleh penguasa. Kesengajaan itu bisa berbentuk kegagalan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya, atau juga bisa berbentuk penciptaan kondisi yang mempersubur kemiskinan. Mengapa negara perlu menciptakan kemiskinan? Tentu untuk melakukan proses pelanggengan kekuasaan, karena dengan kemiskinan itu, maka proses remunerasi oleh negara terhadap rakyatnya menjadi semakin mudah. Jika proses remunerasi itu berlangsung secara terus menerus, maka ketergantungan rakyat terhadap penguasa menjadi semakin tinggi, yang itu berarti semakin mudah bagi penguasa untuk melakukan hegemoni.

Sayangnya, dalam konteks keagamaan, kelompok masyarakat lemah atau mustadh’afin justru seringkali menjadi sasaran negatif dari aktivitas dakwah. Ambillah contoh bagaimana para da’i menunjuk masyarakat lemah ini sebagai pendosa yang sering melalaikan ibadah. Pola-pola penyampaian ajaran agama dengan jalan seperti ini sama sekali tidak mengandung unsur pelibatan kaum lemah dalam proses beragama. Seolah-olah, dengan kemiskinan yang mereka miliki itu, kaum mustadh’afin ini selalu identik dengan dosa dan neraka. Dengan kata lain, alih-alih mendapatkan semangat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang melingkupinya, kaum miskin justru merasakan agama tidak berpihak kepada kondisi mereka.

Di sisi lain, terdapat juga agamawan yang mengajarkan semangat asketisme dan fatalisme, sehingga kaum-kaum lemah ini menjadi tidak memiliki keinginan kuat untuk keluar dari kondisinya yang demikian itu. Ambillah contoh doktrin tentang sabar dan takdir. Mengajarkan kesabaran adalah sesuatu yang teramat mulia dalam agama. Tetapi ketika pengajaran tentang kesabaran itu dibarengi dengan pemahaman atas kesabaran yang fatalis, sehingga kemiskinan harus diterima sebagai takdir Tuhan, dan pada saat yang bersamaan juga ditanamkan doktrin tentang takdir sebagai sesuatu yang harus diterima dengan segala kerendahan hati, maka ajaran agama justru melanggengkan kondisi kemiskinan.

Karena itu, puasa seharusnya memberikan inspirasi kepada kelompok-kelompok masyarakat yang berkecukupan untuk melakukan pemberdayaan terhadap kaum miskin, sehingga mereka bisa keluar dari situasi sulit yang dialami. Selain itu, bagi para penguasa, puasa juga seharusnya bisa menjadi media untuk mempertajam intuisi sosial, untuk lebih sensitif kepada mereka yang secara sosial dan ekonomi kurang beruntung.





Puasa sebagai Simulasi Kemiskinan Puasa sebagai Simulasi Kemiskinan Reviewed by sangpencerah on April 23, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar: