Setiap ibadah tidak hanya mempertimbangkan aspek
ukhrawi dan untuk kepentingan ibadah itu sendiri, melainkan juga selalu
mengandung dimensi-lain di
luar ubudiyah. Bisa dimensi sosial, filosofis, ekonomis atau hukum. Dalam istilah hukum Islam, kandungan di balik sebuah
ibadah atau disyariatkannya sebuah hukum lazim disebut maqashid al-syari’ah.
Dalam kaitan
dengan puasa, maqashid al-syari’ah juga bukan pengecualian. Artinya,
puasa sebagai ibadah ritual tidak semata-mata bertujuan dan bermuara pada
ketaatan ritual, tetapi juga dimaksudkan sebagai ibadah yang memberikan
pelajaran sosial bagi umat Islam. Dalam konteks peribadatan Islam, umumnya
ibadah dibedakan menjadi ibadah syakhsiyyah dan ibadah ijtima’iyah.
Jika yang pertama merujuk kepada ibadah individu, yang efek dari ibadah itu
juga hanya bisa dirasakan oleh individu, maka yang kedua merujuk kepada sebuah
konteks di mana ibadah juga memiliki dampak sosial bagi kehidupan masyarakat.
Jika menggunakan
kerangka ini, maka puasa sebenarnya merupakan perpaduan dari kedua tipe ibadah
itu. Pernyatan al-Qur’an bahwa dengan melaksanakan puasa secara baik dan benar,
maka itu akan bermuara kepada peningkatan ketakwaan seseorang merupakan bentuk
penegasan bahwa kepentingan individu bisa dicapai melalui ibadah puasa. Tidak
hanya berhenti di situ, peningkatan ketakwaan individu itu menjadi tidak
berarti ketika pada saat bersamaan, puasa tidak membawa orang kepada tingkat
sensitivitas sosial tertentu.
Karena itu,
dengan menahan lapar selama sehari penuh, pelajaran sosial yang terkandung
adalah bahwa sepatutnya dengan merasakan rasa lapar selama sehari itu, kita
diajak untuk merasakan kehidupan kaum fakir miskin yang bisa jadi dalam kehidupan
riilnya makan merupakan barang mewah. Dengan merasakan kelaparan yang serupa
juga diharapkan kaum Muslimin menjadi semakin sensitif dengan problem
kemiskinan yang ada dalam kehidupan nyata berbangsa kita.
Dalam pandangan
antropologis sering dikatakan bahwa penuturan seseorang tentang suatu persoalan
yang kemudian melahirkan sebuah teori tertentu, akan memiliki tingkat validitas
yang lebih tinggi, tatkala sang penutur mengalami keterlibatan langsung dalam
apa yang sedang dituturkan atau ditulisnya. Pengalaman langsung menjadi satu
faktor yang teramat penting. Sebaliknya, penuturan atas suatu persoalan yang
tidak dialami secara langsung oleh sang penutur menjadi kurang meyakinkan jika
dibandingkan dengan konteks yang pertama.
Ini bermakna
bahwa dengan puasa sebenarnya Islam bermaksud mengajak seluruh umatnya,
utamanya mereka yang berkecukupan, untuk merasakan secara langsung bagaimana
kehidupan kaum miskin. Dengan kata lain, puasa juga bisa dimaknai sebagai
simulasi kemiskinan yang harus dijalani oleh seluruh umat Islam tanpa
terkecuali.
Mengapa turut
merasakan kepedihan orang miskin ini menjadi penting? Sayyidina Ali suatu saat
pernah berujar bahwa kemiskinan adalah sebuah kondisi yang bisa mendekatkan
orang kepada kekafiran. Pemahaman yang selama ini berkembang adalah bahwa
dekatnya kemiskinan dengan kekafiran terjadi karena orang miskin seringkali
terjebak pada tindakan-tindakan kriminalitas yang dilarang oleh agama.
Pemahaman seperti ini tidak hanya tidak sensitif tetapi juga mengandung unsur
dehumanisasi yang cukup kental.
Karena itu,
alih-alih memaknai perkataan Ali dengan pemahaman sepihak seperti itu, kita
semestinya melakukan pemaknaan yang lebih partisipatif dan manusiawi. Artinya,
jika tindakan kriminalitas kaum miskin, yang melakukannya dengan keterpaksaan
itu harus dimaknai sebagai tindakan yang menjauhkan orang dari ajaran agama,
maka sesungguhnya mereka yang membiarkan kemiskinan itu berlangsunglah yang
lebih berhak dikatakan dekat dengan kekafiran. Maka dalam sebuah komunitas di
mana kemiskinan ada, sementara di sisi lain, dalam komunitas yang sama juga
terdapat kelompok-kelompok orang mampu yang acuh terhadap situasi kemiskinan
itu, maka dosa teologis maupun dosa sosial yang dipikul oleh keacuhan mereka
jauh lebih besar daripada tindakan kriminal yang dilakukan si miskin di tengah
keterpaksaan itu.
Kemiskinan
bukanlah fenomena sosial yang berdiri sendiri. Kemiskinan dalam kaca mata ilmu
sosial sebenarnya merupakan akibat dari sejumlah kompleksitas suasana sosial,
politik dan ekonomi dalam satu masyarakat. Secara sosial, kemiskinan bisa saja
lahir dari tidak berjalannya sistem sosial dan hubungan antarkelas. Eksploitasi
berlebihan yang dilakukan oleh para pemodal, misalnya, bisa ditunjuk sebagai
salah satu sebab kenapa kemiskinan tidak pernah terselesaikan. Pola hubungan
eksploitatif yang semacam ini menjadi semakin parah manakala para pemilik modal
hanya memandang para pekerja sebagai mesin produksi untuk memperbesar kapital
tanpa memperhatikan sisi-sisi kemanusiaannya, memenuhi hak-haknya.
Di sisi lain,
kemiskinan juga bisa merupakan akibat tindakan politik para penguasa. Dalam
konteks inilah maka ilmu sosial sering membagi kemiskinan menjadi kemiskinan
struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural umumnya dimaknai
sebagai kemiskinan yang secara sadar diciptakan oleh penguasa. Kesengajaan itu
bisa berbentuk kegagalan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi
rakyatnya, atau juga bisa berbentuk penciptaan kondisi yang mempersubur
kemiskinan. Mengapa negara perlu menciptakan kemiskinan? Tentu untuk melakukan
proses pelanggengan kekuasaan, karena dengan kemiskinan itu, maka proses
remunerasi oleh negara terhadap rakyatnya menjadi semakin mudah. Jika proses
remunerasi itu berlangsung secara terus menerus, maka ketergantungan rakyat
terhadap penguasa menjadi semakin tinggi, yang itu berarti semakin mudah bagi
penguasa untuk melakukan hegemoni.
Sayangnya, dalam
konteks keagamaan, kelompok masyarakat lemah atau mustadh’afin justru
seringkali menjadi sasaran negatif dari aktivitas dakwah. Ambillah contoh
bagaimana para da’i menunjuk masyarakat lemah ini sebagai pendosa yang sering
melalaikan ibadah. Pola-pola penyampaian ajaran agama dengan jalan seperti ini
sama sekali tidak mengandung unsur pelibatan kaum lemah dalam proses beragama.
Seolah-olah, dengan kemiskinan yang mereka miliki itu, kaum mustadh’afin
ini selalu identik dengan dosa dan neraka. Dengan kata lain, alih-alih mendapatkan
semangat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang melingkupinya, kaum miskin
justru merasakan agama tidak berpihak kepada kondisi mereka.
Di sisi lain,
terdapat juga agamawan yang mengajarkan semangat asketisme dan fatalisme,
sehingga kaum-kaum lemah ini menjadi tidak memiliki keinginan kuat untuk keluar
dari kondisinya yang demikian itu. Ambillah contoh doktrin tentang sabar dan
takdir. Mengajarkan kesabaran adalah sesuatu yang teramat mulia dalam agama.
Tetapi ketika pengajaran tentang kesabaran itu dibarengi dengan pemahaman atas
kesabaran yang fatalis, sehingga kemiskinan harus diterima sebagai takdir
Tuhan, dan pada saat yang bersamaan juga ditanamkan doktrin tentang takdir
sebagai sesuatu yang harus diterima dengan segala kerendahan hati, maka ajaran
agama justru melanggengkan kondisi kemiskinan.
Karena itu,
puasa seharusnya memberikan inspirasi kepada kelompok-kelompok masyarakat yang
berkecukupan untuk melakukan pemberdayaan terhadap kaum miskin, sehingga mereka
bisa keluar dari situasi sulit
yang dialami. Selain itu,
bagi para penguasa, puasa juga seharusnya bisa menjadi media untuk mempertajam
intuisi sosial, untuk lebih
sensitif kepada mereka yang secara sosial dan ekonomi kurang beruntung.
Tidak ada komentar: