Salah satu hadits yang
menggambarkan sikap tegas Rasulullah Saw terhadap orang-orang yang sedang berpuasa
antara lain, bahwa pada bulan Ramadhan ada seorang wanita sedang mencaci-maki
pembantunya, lalu Rasululullah mendengarnya, spontan beliau bersabda: Makanlah
makanan ini! Sehingga perempuan tersebut menjawab: Saya sedang berpuasa
ya Rasulullah. Rasulullah menimpali: Bagaimana mungkin kamu berpuasa
padahal kamu mencaci maki pembantumu, sesungguhnya puasa itu menjadi penghalang
bagi kamu untuk berbuat hal-hal tercela. Betapa sedikit orang yang (betul-betul) berpuasa dan betapa banyak orang yang (sekadar)
kelaparan.”
Pada dasarnya, hakikat puasa adalah mendidik
manusia agar memiliki kepekaan fisik dan hati. Itulah sebabnya sejumlah
larangan tidak diperkenankan untuk dikerjakan. Seseorang mungkin saja sanggup
melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan keseluruhan ketentuan fiqhiyyah, namun belum tentu sanggup
mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung di balik ibadah puasa secara sempurnah (kaffah).
Berbagai perilaku yang dilarang untuk
dilakukan bagi orang yang sedang berpuasa sebenarnya fenomena dari semua agama.
Artinya, agama apapun mengajarkan umatnya untuk berpuasa dengan berbagai
variasinya. Islam mengajarkan agar penganutnya berpuasa selama satu bulan untuk
menghindari makan dan minum, serta berhubungan seksual bagi suami-istri.
Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa pada
bulan Ramadhan, sesungguhnya sejumlah larangan yang hakikatnnya halal dilakukan
-seperti makan dan minum, hubungan seksual antara suami istri- merupakan latihan
fisik dan hati agar manusia dapat menahan diri dari aktifitas yang di
bulan-bulan lain justru dibolehkan.
Salah satu kepekaan hati yang harus dijaga selama
Ramadhan adalah memantapkan niat, bahwa kita menunaikan ibadah puasa
betul-betul murni menjalankan perintah Allah Swt sebagai konsekuensi atas keimanan
seorang hamba kepada Allah Swt.
Ajaran tersebut menununjukkan sesungguhnya
“kemanusiaan” manusia itu pada dasarnya terletak pada hati setiap orang. Melalui
hati hati itulah, manusia mengendalikan segala perilakunya. Sehingga, pada
tahap ini, hati seseorang dapat dibina dengan baik agar berimplikasi pada
perilaku yang berkualitas dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu model pemebinaan
hati agar senantiasa berkualitas yaitu dengan mengisinya dengan prasangka baik.
Penting diketahui, kebaikan tertinggi
adalah kebaikan yang berasal dari Tuhan, atau Tuhan menjadi Raja di hati. Jika Tuhan
telah besemayam dan telah menjadi Raja di hati, niscaya secara keseluruhan tindak
perilaku orang tersebut dipastikan akan menjadi baik.
Iman seseorang itu tidak bertempat di badan
atau jasmani, tidak pula di pikiran atau akal. Iman itu di dalam hati.
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ
تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي
قُلُوبِكُمْ
Berkata orang-orang Arab pegunungan, kami telah beriman:
katakan (olehmu wahai Muhammad), kalian belum beriman…..karena iman belum masuk
ke dalam hati kalian (QS.
al-Hujaarat:14). Ayat ini menggambarkan, iman orang Arab pegunungan (ketika
itu) baru sampai pada tahap di lidah, atau kepala mereka, belum masuk ke dalam
hati mereka.
Memposisikan Tuhan sebagai Raja di hati
menjadi satu keharusan, karena hati adalah pusat kendali manusia, hati adalah
intisari manusia. Bila manusia telah beriman berarti Tuhan telah berada di dalam
hati orang itu, maka orang itu secara keseluruhan akan dikendalikan Tuhan. Inilah
hakikat beriman, yaitu tatkala manusia telah sepenuhnya dikendalikan Tuhan.
Bila konsep tersebut dipahami, maka ibadah
apapun yang dilakukan betul-betul akan mencontoh sifat-sifat Tuhan, semisal, ia
selalu optimis akan masa depan, tidak mudah mengeluh, bersikap welas asih terhadap diri dan orang
lain, senantiasa bersyukur dan bersabar
atas segala yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Puasa Ramadhan merupakan momentum strategis
untuk memelihara hati dengan cara berdzikir kepada Allah Swt. Sebagaimana
ditegaskan dalam QS. Ali Imron (191):
ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا
وَقُعُودًا
.......yaitu
orang-orang yang selalu ingat Allah tatkala berdiri, duduk, maupun berbaring. Ini sebagai gambaran
sesungguhnya di segala aktivitas hanya kepada Tuhan kita bergantung.
Tidak ada komentar: