Sampai saat ini Ramadhan 1442 dan di tengah
situasi pandemi covid-19, masih berpolemik tentang Islam Nusantara di tanah air
Indonesia ini, dan ironisnya yang berselisih adalah umat Islam sendiri, kenapa
umat Islam terkotak-kotak dan terombang-ambing?
Berawal dari kalimat “Al-Islamu
Shaliihun likulli zamanin wa makaanin” artinya
Islam agama yang selalu relevan dengan segala situasi. Perkataan ini yang
sering didengar dan bahkan dipakai untuk melegalkan sesuatu yang hendak di
capai dalam hidup ini, dengan dalih Islam cocok dengan berbagai golongan, suku,
ras dan etnis apapun di dunia ini, sehingga menjadikan agama sebagai barang
transaksi untuk mengeruk keuntungan personal atau kelompok dari agama,
khususnya agama Islam yang laku untuk ditransaksikan baik di dunia nasional
maupun Internasional. Pemahaman dan pengamatan seperti di atas merupakan
kekeliruan besar dalam agama, maksud dari ungkapan di atas adalah bahwa Islam
adalah agama yang mewadahi berbagai kelompok, suku, bangsa, ras dan etnis
sekalipun artinya Islam tidak pernah memandang pemeluknya dari golongan apa,
siapa dan dari mana semuanya akan diakomodir tanpa diskriminasi sedikitpun.
Akan tetapi Islam tidak dapat di bawa oleh siapapun dan kemanapun misalnya;
Islam Arab, Islam Papua atau yang lainnya.
Oleh sebab
itu, Islam datang sebagai pengayum seluruh umat di dunia ini, Islam bukan milik
suku, bangsa tertentu tapi untuk semuanya, sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
وَمَاۤ اَرۡسَلۡنٰكَ اِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيۡرًا وَّنَذِيۡرًا
وَّلٰـكِنَّ اَكۡثَرَ النَّاسِ لَا يَعۡلَمُوۡنَ
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui”(QS. Saba;34:28)
Ayat ini
mengindikasikan Universalisme Islam jika dilihat dari sisi ritual tidak
membedakan aturan ritual berdasarkan
budaya tertentu, akan tetapi setiap muslim memiliki tatacara ritual yang
sama, misalnya kalimat adzan, tatacara shalat dengan bahasa arab secara Tauqif dimanapun dan kapanpun orang Islam
melaksanakannya tetap dengan aturan yang sama. Keuniversalan Islam terintegrasi
dan terkodifikasi dalam ikatan ‘Aqidah Syari’ah dan Akhlaq karena
antara tang satu dan lainnya terdapat hubungan yang saling berkaitan dan
fokusnya pada keEsaan Allah SWT (tauhid) dan ajaran tauhid ini yang menjadikan
inti awal dan akhir seluruh ajaran Islam. Jadi ikatan ‘Aqidah jauh lebih
kuat dari pada ikatan primordial lainnya, dan suku bangsa dan ras tidak lagi
menjadi argumen dan pembeda utama dalam hubungan kemanusiaan untuk melegalkan
Islam Nusantara. Justeru dengan persamaan
‘aqidah dapat melebur perbedaan suku dan kebangsaan. Dan Islam
itu sendiri secara totalitas (Kaffah) merupakan suatu keyaqinan bahwa
nilai-nilai ajarannya bersifat mutlak kebenarannya karena bersumber dari Allah
secara langsung.
Di samping
itu Islam juga merupakan hukum atau undang-undang (Syari’ah) yang
mengatur tatacara hidup manusia dalam berkomunikasi dengan Allah SWT (vertical)
yang meliputi tatacara beribadah mahdhah yang benar sesuai tuntunan, dan dengan
sesama (horizontal)meliputi mua’malah, jinayat, munakahah dan siyasah.
Sedangkan standar hukum yang dipergunakan adalah wajib, haram, mubah, mandzub
dan makruh dan hukum ini dalam operasionalnya bersifat fleksibel maluli ijtihad
jama’I yang disesuaikan dengan perubahan perkembangan zaman. Sementara
aspek syari’ah dapat disosialisaikan oleh aspek akhlaq yang meliputi
cara berperilaku, kebiasaan besosialsasi dan berinteraksi baik yang hubungannya
dengan masalah ekonomi, budaya, soisal, berkeluarga, bertetangga dan
sebagainya. Aspek-aspek tersebut tetap bersumber kepada al-Qur’an dan sunnah
Rasul, karena dua sumber ini telah mengatur kehidupan manusia dengan cukup
cermat, teliti yang dapat juga dikodifikasi dalam ijtihad dan ushul fiqh.
Ketiga Aspek
di atas (‘Aqidah, Syari’ah dan Akhlaq) berfungsi sebagai bara’a
pembebasan manusia dari berbagai belenggu atau penyakit mental-spritual dan
stagnan berfikir, serta mengatur pola tingkah laku atau perbuatan manusia secara tertib supaya
tidak terjebak pada jurang kehinaan dan keterbelakangan yang dapat menghilagkan
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Hal ini sesuai dengan misi universalitas
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin(pengayum semua yang ada di jagad raya
ini). Dengan demikian maka muncul image terhadap Islam sebagai agama yang
sempurna, dimana kesempurnaan itu tergambar dalam ajaran-ajarannya yang
bersifat unikversal dan fleksibel dengan prinsip keseimbangan hidup antara
duniawi dan ukhrawi, jasmani dan rahani, maksudnya kehidupan dunia yang baik
harus dijadikan media atau sarana utnuk mencapai kehidupan rahani yang baik
pula, dan kehidupan rahani yang yang baik harus dijadikan media untuk memenuhi
kehidupan jasmani yang baik, legal dan halal serta di bawah naungan hukum dan
ridha Allah SWT.
Maka dari itu
Islam merupakan kekuatan hidup yang dinamis dan tabi’at alam yang mewadahi
segala aspek kehidupan insani basyariyah.sebagaimana firman Allah yang
sangat jelas dan lugas
ٱلْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ
دِينًا
Lalu
bagaimana dengan gagasan Islam Nusantara yang akhir-akhir ini menjadi polemik
di tanah nusantara, dan dimana letak kesempurnaan Islam itu sendiri? Sebenarnya
hal ini hanya sebatas mistendensi kesalahpahaman yang disebabkan oleh
pemikiran orang Islam yang dikotomis yaitu pemikiran yang hendak memisahkan
antara kehidupan dan agama. Mereka memandang agama sebagai salah satu aspek
hidup dan kebutuhan manusia terhadap penyembahan pada Tuhan semesta alam.
Sedangkan dalam aspek kehidupan lainnya agama tidak bisa diperankan, pemahaman
parsial ini telah melahirkan pandangan
sempit terhadap Islam dan membuahkan pikiran sekularisme. Dikotomi
pemikiran Islam telah berlangsung sejak umat Islam mengetahui budaya Yunani pada
akhir abad ke 6 hijriyah. Dikotomi semacam ini pada dasarnya telah mengingkari
pandangan pokok Islam yang bertumpu pada Tauhid sebagai landasan
implikasi pandangan manusia terhadap alam. Alam adalah suatu kesatuan yang
utuh, maka kehidupan harus terdiri dari keseluruhan yang total pula.
Bagi seorang
muslim, Islam menjadi dasar dalam menata kehidupannya, naik eKonomi, politik
dan budaya sehingga kehidupannya menggambarkan perilaku yang Islami.
Sebagaimana firman Allah SWT.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً
ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
Dari
penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa konsep Islam tentang umat sangat ideal
penuh dengan keindahan, artinya janganlah kita umat Islam menjauh dari
al-Qur’an dengan mengislamisasi budaya lokal dalam kemasan Islam Nusantara,
dimana gagasan ini seakan menyederhanakan masalah dan mengandung kebenaran!
Mestinya mengembalikan umat Islam pada kejayaannya adalah dengan mengembalikan
umat Islam pada pijakan hidupnya yaitu al-Qur’an. Wallahul musta’an!
Tidak ada komentar: