Filantropi Islam turut berperan mengentas persoalan
kemiskinan. Spiritnya kian membudaya dalam alam masyarakat muslim Indonesia,
terlebih di waktu Ramadhan. Namun, apakah realisasinya nyata untuk mengangkat
kesalehan sosial yang lebih kontekstual, atau apakah malah terjebak dalam
keangkuhan sosial demi memewahkan masjid, pemakaman, dan gedung-gedung sosial
lainnya?
Tidak terasa umat Islam telah kedatangan
kembali buan yang penuh rahmat, yaitu bulan Ramadhan. Gegap gempita menyambut
hari yang fitri juga terasa menyusul. Orang mulai beramai-ramai melakukan
i’tikaf di masjid-masjid, para penjual tengah mengobral dagangannya di
mall-mall dengan diskon Ramadhan, serta para perantau merayakan mudik bersama
supaya bisa berkumpul dengan sanak saudara. Namun, semarak menyambut yang fitri
belum terasa lengkap jika semangat filantropi belum ditunaikan.
Di sepuluh hari terakhir Ramadhan
ada kebiasaan positif yang dibudayakan masyarakat negeri ini. Aktivitas
filantropi yang diwajibkan bagi umat Islam mutlak ditunaikan, terutama bagi
yang mampu secara materi. Karena dorongan spiritual dan sosial, mereka secara
suka rela menyumbangkan sebagian hartanya untuk kaum mustad’afin. Amalan
ini senyatanya diorientasikan demi menyelesaikan agenda mendesak keummatan, yaitu
problem kemiskinan.
Dimensi filantropi mempunyai
dua komitmen penting yang tidak hanya beraras pada komitmen ketuhanan saja,
melainkan kemanusiaan juga. Jika komitmen ketuhanan perwujudannya didasari oleh
hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, maka komitmen kemanusiaan terealisasi dari
perasaan solidaritas sesama manusia. Wujud solidaritas sosial tersebut
dilakukan dengan mendermakan sebagian harta kepada yang lebih membutuhkan.
Namun, seiring dengan dorongan filantropi seseorang yang kian meningkat tinggi,
diperlukan manajemen yang baik agar tidak berbalik menjadi bencana.
Publik tentu masih ingat
dengan peristiwa memilukan pada 15 September 2008 di kota Pasuruan. Tragedi
pembagian zakat di rumah H. Syaikhon, seorang pengusaha sarang walet, jual beli
mobil, dan kulit binatang itu menewaskan 21 orang miskin yang tengah mengantri
di halaman rumahnya sejak pagi. Maksud hati ingin menunaikan tradisi berzakat
keluarganya, tetapi karena tidak diatur dengan baik, aksi filantropi itu malah
berbuntut bencana. Antrian sekitar 5.000 orang berubah menjadi teriakan
histeris hanya karena berharap uang 30.000-an.
Publik tentu tidak ingin
peristiwa yang mencelakakan itu terulang kembali. Tujuan dan maksud
kedermawanan harus diiringi dengan cara yang sopan dan terhormat. Tidak
memposisikan mereka sebagai kelompok inferior; peminta-minta, terpinggirkan,
dan hanya menunggu belas kasihan. Upaya mendermakan bisa ditempatkan pada
lembaga filantropi supaya distribusinya lebih elegan dan terarah. Sayangnya,
yang kita temui sekarang ini lembaga-lembaga itu belum bisa berjalan optimal.
Derajat manusia sama di sisi
Tuhan-Nya. Yang membedakan hanyalah kadar ketakwaan manusia, bukan
kekayaan maupun keelokan paras wajah. Di dalam harta kekayaan setiap individu, terdapat
sebagian hak mustad’afin yang harus didermakan. Karena alasan ini juga, di
zaman Abu Bakar, khalifah Islam pertama bergelar As Siddiq ini sampai memerangi
kalangan yang tidak ingin mengeluarkan zakat. Bahkan, mereka yang tidak patuh
itu disebut murtad (keluar dari Islam) meski bukan persoalan teologis yang
mendasarinya. Peristiwa ini dikenang dengan hurub al riddah.
Ramadhan memang erat
kaitannya dengan aktivitas filantropi. Zakat, infaq, dan shadaqoh merupakan konsep
dasar filantropi Islam yang sudah berakar kuat. Bahkan di Indonesia sendiri,
dalam beberapa tahun terakhir, banyak lembaga bermunculan yang bergerak dalam
bidang ini. Tentu saja hal ini merupakan signal positif demi mengentas
persoalan kemiskinan.
Semangat filantropi dikatakan
mempunyai potensi mengentas persoalan kemiskinan. Sebab, semangatnya tidak
hanya memuat kesalehan individual saja seperti shalat, i’tikaf, atau puasa
melainkan juga sarat dengan kesalehan sosial. Meski tidak secara total dapat
membantu menyelesaikan derita masyarakat miskin, tetapi upaya-upaya seperti ini
dinilai perlu untuk mempermudah kerja-kerja pemerintah di bidang sosial.
Di tengah meningkatnya prosentase
angka kemiskinan, spirit filantropi mutlak untuk digalakkan. Saat ini, budaya
filantropi bukan lagi sekedar pertaruhan gengsi (prestige) dalam
masyarakat. Mayoritas penduduk Indonesia sudah terpanggil dengan sendirinya untuk
mendermakan hartanya bagi sesama. Kesadaran mereka tumbuh karena tingkat
pendidikan yang semakin meningkat.
Peningkatan tingkat kesadaran
masyarakat untuk berderma dapat ditelaah dari bermacam laporan
riset lembaga-lembaga sosial, salah satunya dari Badan Pengarah Filantropi Indonesia. Menurutnya,
potensi dana filantropi di Indonesia mencapai Rp200 triliyun per tahun, tapi
karena belum dikelola secara baik sehingga yang terkumpul selama ini masih Rp6
triliyun per tahun. Sayangnya, perolehan yang demikian besar itu belum bisa menyelesaikan
persoalan kemiskinan secara signifikan. Sebaliknya, keberadaannya malah
menciptakan ketergantungan dan melestarikan kemiskinan itu sendiri.
Sangat ironis, fungsi utama
filantropi bertujuan mengentas kemiskinan malah terdistorsi oleh keangkuhan
sebagian individu yang mencita-citakan kemewahan. Tumbuhnya kesalehan sosial
yang seharusnya diiringi dengan tindakan yang lebih fungsional dan kontekstual
dengan persoalan keummatan malah terabaikan.
Hendaknya mulai sekarang potensi semangat filantropi yang tengah menguat itu harus direvitalisasi fungsi dan tujuannya. Ada baiknya jika donasi yang
terkumpulkan itu tidak digunakan untuk berlomba-lomba membangun masjid, merias
bangunan lembaga pendidikan, dan memewahkan area pemakaman. Optimalisasi pemberdayaan ekonomi umat
sangat penting untuk menyelesaikan persoalan
kemiskinan.
Tidak ada komentar: