Allah mengutus Rasulullah Muhammad shallaLlahu
alahi wasallam dengan membawa syariat yang mudah dan tidak memberatkan bagi
pemeluknya. Rasulullah bersabda:
إِنَّ
الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا
وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ
مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya
agama itu mudah. Dan selamanya agama tidak akan memberatkan seseorang melainkan
memudahkannya. Karena itu, luruskanlah, dekatilah, dan berilah kabar gembira!
Minta tolonglah kalian di waktu pagi-pagi sekali, siang hari di kala waktu
istirahat dan di awal malam,” (HR. al-Bukhari [39] dan Muslim
[2816]).
Allah
‘Azza wa Jalla telah mengangkat hal-hal yang memberatkan sehingga Dia
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ
“… Dan Dia tidak menjadikan kesulitan untukmu
dalam agama …”
( QS. Al-Hajj [22]: 78]
يُرِيْدُ
اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.”
(Q.S.
al-Baqarah [2] : 185).
Al Quran yang diturunkan Allah sebagai
pedoman untuk menggapai kebahagiaan umat manusia, mengajak manusia kepada
kemudahan, keselamatan, kebahagiaan dan tidak membuat manusia celaka. Allah
berfirman:
طٰهٰ ۚ مَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ
لِتَشْقٰٓى ۙ اِلَّا تَذْكِرَةً لِّمَنْ يَّخْشٰى ۙ
“Ṭā
Hā. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Nabi Muhammad) supaya engkau
menjadi susah. (Kami tidak menurunkannya,) kecuali sebagai peringatan bagi
orang yang takut (kepada Allah)”. (QS.
Taha [20]: 1-3)
Berdasarkan
dalil-dalil di atas semakin menguatkan bahwa syariat Islam yang diturunkan
kepada Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wasallam berisi ajaran-ajaran yang
mudah untuk dipahami dan diamalkan, baik dalam aqidah maupun amaliyah
ubudiyah. Aqidah Islam mudah dicerna oleh akal pikiran manusia, seperti tentang
keEsaan Allah yang mudah diterima akal manusia dibandingkan dengan keyakinan-keyakinan
agama lain yang mengakui adanya banyak Tuhan. Bagaimana mungkin alam semesta
ini diatur oleh banyak Tuhan yang sama-sama memiliki keinginan dan kekuatan,
maka pastinya alam semesta akan hancur. Allah berfirman:
لَوْ كَانَ فِيْهِمَآ اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ
لَفَسَدَتَاۚ فَسُبْحٰنَ اللّٰهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُوْنَ
“Seandainya
pada keduanya (langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya
telah binasa. Mahasuci Allah, Tuhan pemilik ʻArasy, dari apa yang mereka
sifatkan.” (QS. Al Anbiya [21]: 22)
Kemudahan syariat Islam juga
menyangkut masalah amaliyah ubudiyah. Dalam kondisi tertentu saat
seseorang mengalami kesulitan dalam amaliyah ibadah maka syariat Islam
memberikan kemudahan. Misalnya, saat seseorang tidak kuasa melaksanakan shalat
dengan berdiri sebab sakit maka boleh dikerjakan dengan duduk atau dengan berbaring
bahkan jika masih tidak mampu melaksanakannya maka boleh dikerjakan dengan
hanya memberi isyarat.
Syariat Islam mengajarkan setiap
adanya kesulitan akan memunculkan adanya kemudahan. Dalam kajian fiqh terdapat
kaidah:
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
(Kesulitan mendatangkan
kemudahan)
Kaidah
ini termasuk kaidah fiqh yang sangat penting untuk dipahami. Karena segala
macam keringanan dan rukhshoh yang ada dalam syariat Islam merupakan wujud dari
kaidah ini. Disamping itu akan memudahkan seseorang untuk melaksanakan ibadah saat
terdapat kesulitan sesuai dengan tuntunan syariat.
Diantara kemudahan dalam menjalankan
syariat Islam adalah adanya rukhshoh. Secara bahasa rukhshoh
adalah keringanan atau kelonggaran. Sedangkan dalam khazanah fiqh rukhshoh
adalah:
تغير
الحكم من صعوبة إلى سهولة لعذر مع قيام السبب الحكم الأصلي
Artinya: “Perubahan hukum dari hal yang sulit menjadi mudah
karena adanya udzur beserta dilandasi sebab hukum asal.” (Ismail Usman
Zein, al-Mawahib as-Saniyah Syarh Fawaid al-Bahiyah, t.k, Darur Rasyid, t.t,
halaman 240).
Atau
lebih mudahnya, bisa mengikuti definisi yang diberikan oleh Imam as-Syatibi
yang berarti diperbolehkannya sesuatu yang sebelumnya dilarang dengan disertai
adanya dalil larangan tersebut.
Diantara contoh bentuk rukhshoh adalah:
1.
Seseorang diperbolehkan memakan
daging hewan yang diharamkan seperti babi atau bangkai, jika memang tidak ada
makanan lagi yang bisa dikonsumsi sementara jika ia tidak memakannya maka akan
terancam jiwanya (meninggal dunia). Asalkan tidak boleh berlebih-lebihan. Hal
ini terdapat dalam firman Allah Taala:
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ
غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah,
daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain
Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Baqarah [2]: 173)
Dalam
khazanah fiqh terdapat qoidah fiqhiyah yang berbunyi:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
“Keadaan
darurat membolehkan suatu yang terlarang.”
2.
Seorang musafir diperbolehkan menggabungkan waktu sholatnya menjadi satu
waktu (jama’) dan meringkas jumlah rakaat sholat yang 4 menjadi 2 rakaat.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ
يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ اِنَّ الْكٰفِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ
عَدُوًّا مُّبِيْنًا
“Apabila
kamu bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk mengqasar salat jika kamu
takut diserang orang-orang yang kufur. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An Nisa
[4]: 101)
3. Seseorang
boleh tidak berpuasa di bulan ramadhan jika ia sedang dalam bepergian atau
sedang sakit, sehingga akan terasa berat jika tetap menjalankannya. Hanya saja
saat ia sudah dalam keadaan sehat atau selesai dalam perjalanannya maka
hendaknya ia mengqodho puasanya. Allah berfirman:
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ
“
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam
perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia
tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah [2]: 184)
4. Seseorang
diperbolehkan untuk sholat dengan duduk atau berbaring jika dalam kondisi
tertentu ia tidak dapat melaksanakan sholat dengan berdiri. Hal ini sebagaimana
hadits Rasulullah:
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ
فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah
dengan berdiri, jika kamu tidak bisa maka duduklah, dan jika tidak bisa maka
shalat dengan berbaring”. (HR. Al Bukhori [1050])
Kemudahan
yang diberikan oleh Syariat Islam berlaku dalam semua hal, baik dalam ushul
(pokok) maupun furu’ (cabang), baik tentang ‘aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah,
jual beli, pinjam meminjam, pernikahan, hukuman dan lainnya. Namun rukhshoh
yang diberikan bukan untuk perbuatan maksiat. Sebagaimana terdapat qoidah
fiqhiyah yang berbunyi:
اَلرَّخْصُ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَاصِى
“Rukhshoh-rukhshoh itu
tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan”. (Ilmu
Ushul Fiqh, Rachmat Syafe’i. Hal: 287)
Semua
perintah dalam Islam mengandung banyak manfaat. Sebaliknya, semua larangan
dalam Islam mengandung banyak kemudharatan di dalamnya. Diantara hikmah adanya rukhshoh
adalah:
Kemudahan
dalam menjalankan syariat Islam ini menjadikan seseorang tidak mempunyai alasan
lagi untuk meninggalkan perintah Allah dan kewajiban atas kita untuk bersungguh-sungguh
dalam memegang teguh syari’at Islam dan mengamalkannya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا
وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا.
“Permudahlah
dan jangan mempersulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat orang
lari.” (HR. Al Bukhori [ 6125], Muslim [1734])
Terima kasih tausiyahnya ustadz
BalasHapus