RASULULLAH SAW SANG TELADAN DAN MODERASI BERAGAMA

RASULULLAH SAW
SANG TELADAN DAN MODERASI BERAGAMA
Oleh: Erik Budianto, M.Pd.I 
[Pengajar AIK UMM]



Memperhatikan firman Allah SWT


قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

[QS. Ali Imran;3:31]

 

Dua kalimat syahadat yang diikrarkan oleh setiap muslim mengandung konsekuensi, baik dalam masalah i’tiqad maupun amaliah. Pengakuan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan diibadahi, dan mengharuskan adanya mahabbah atau rasa cinta sebagai salah satu rukunnya. Pengakuan cinta kepada Allah pun harus diwujudkan dalam bentuk mengikuti syari’at Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana ditegaskan pada  ayat 31 di atas.

 

Mengutip penjelasan Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar, bahwa mengikuti Rasulullah Muhammad SAW sebagai perwujudan cinta kepada Allah SWT merupakan satu-satunya cara yang ditunjukkan dan ditetapkan Allah kepada kaum beriman agar pengakuan cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Seseorang yang mengaku cinta kepada Allah dan tidak mau mengikuti Rasulullah Muhammad SAW maka Allah tidak akan membalas atas pengakuan cintanya.

Dalam tafsir Jalalain dijelaskan asbabun nuzulnya yaitu bahwa surat Ali Imran ayat 31 turun berkenaan dengan sikap kaum musyrikin yang mengaku bahwa mereka tidak menyembah berhala kecuali sebagai bentuk cinta kepada Allah SWT dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh sebab itu, maka Nabi Muhammad SAW diperintahkan Allah SWT untuk menyampaikan kepada mereka bahwa cara yang mereka lakukan adalah salah dan tidak sesuai dengan apa yang Allah SWT perintahkan, yaitu hendaknya mengikuti cara yang diajarkan oleh Nabi SAW. Artinya bahwa jika seorang hamba mengaku cinta kepada Allah SWT lalu mengikuti syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW maka Allah SWT akan membalas cintanya yang disertai ampunan dan rahmat-Nya.

Sementara Ibnu Katsir menyebut sebagai pendusta bagi siapa yang mengaku cinta kepada Allah SWT tetapi tidak mengikuti syari’at Rasulullah SAW. Pengakuan cintanya dianggap jujur sampai dia mau mengikuti agama dan syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karena amal yang tidak sesuai tuntunan pun berpotensi ditolak.

 

Umat terdahulu mengalami kebinasaan disebabkan mereka tidak mengikuti Nabinya, mereka terlalu banyak bertanya dan menyelesihi Nabi mereka sehingga syari’at agama jadi rusak dan mereka menyimpang dari jalan kebenaran. Hal ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah ra sebagai berikut:

 

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ‏‏حَدَّثَنِي ‏‏مَالِكٌ ‏عَنْ ‏أَبِي الزِّنَادِ ‏عَنْ ‏الْأَعْرَجِ ‏عَنْ ‏‏أَبِي هُرَيْرَةَ  ‏عَنْ النَّبِيِّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏قَالَ: ‏ ‏دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ


“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelesihi Nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian” [HR. Bukhari]

 

Oleh karena itu, umat ini hendaknya mengikuti apa-apa yang telah dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menjaga kemurnian ajarannya agar tidak bernasib sama dengan umat terdahulu. Bahkan umat Nabi Muhammad SAW yang membangkang atau tidak mau taat kepada tuntunan Nabi disebut sebagai orang yang tidak mau masuk surga sebagaimana dijelaskan dalam Hadits di bawah ini;


حَدَّثَنَا ‏ ‏مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏فُلَيْحٌ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ ‏أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏قَالَ :‏ ‏كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى


“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang tidak mau, para shahabat bertanya: ya Rasulullah, siapakah orang yang tidak mau itu? Lalu Rasulullah bersabda: barangsiapa menta’atiku niscaya masuk surga dan barangsiapa mendurhakaiku itulah orang yang tidak mau masuk surga” [HR. Bukhari]

 

Ittiba’ kepada Nabi Muhammad SAW tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan serampangan yang bisa merusak kemuliaan sunnah dalam agama, akan tetapi harus disertai dengan ilmu yang mendalam. Meskipun tidak bisa dinafikan adanya keragaman dalam mempraktikkan sunnah Nabi di kalangan umat Islam.

Syaikh Yusuf Qardhawi setelah melakukan sebuah identifikasi terkait kondisi umat ini dalam mempraktikkan sunnah Nabawiyah yang cenderung ekstrim kepada 2 Kelompok. Pertama kelompok yang ia sebut sebagai ghulat yaitu mereka yang berlebihan dalam memahami sunnah Nabawiyah dan kelompok kedua adalah muqashirun yaitu mereka yang meremehkan sunnah Nabawiyah.

 

Hal ini merupakan salah satu isyarat dari sebuah riwayat yang menceritakan tiga shahabat datang menemui Rasulullah SAW, ketiganya menyampaikan bahwa akan berpuasa terus menerus, shalat malam terus menerus tanpa istirahat, dan tidak akan menikah selamanya. Lalu Rasulullah mendidik mereka dan mengembalikan pada ajaran pertengahan [tawasuth] dengan menegaskan bahwa beliau meskipun seorang nabi berpuasa dan juga berbuka, shalat malam dan juga istirahat, serta menikahi wanita. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak menyukai atau tidak menyetujui praktik beragama para shahabat yang cenderung berlebihan. (HR Bukhari Muslim. Lihat: Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Shahih Bukhâri, [Dâru Thûqin Najâh, 1422 H], juz 7, halaman 2) Dari cerita di atas, perlu kita pahami, bahwa setiap sesuatu yang penting adalah konsistensi (istiqamah), bukan sekali gebyar, capai, kemudian menghilang. Sebab, yang dihitung  pahala banyak itu konsistensinya. Jika hanya sekali, kemudian berhenti, pahalanya juga akan berhenti. Berbeda kalau terus-menerus, selama ibadah itu dilakukan, ibadahnya akan mengalirkan pahala.

 

Begitu juga dengan kisah Rasulullah SAW dengan petani kurma di Madinah. Ketika petani kurma itu mendengar saran dari Nabi agar tidak perlu mengawinkan kurma lalu mereka mengikutinya dan ternyata malah gagal panen. Hal ini sebagaimana diceritakan dalam Hadits berikut:


قَدِمَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ يَقُولُونَ يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ فَقَالَ مَا تَصْنَعُونَ قَالُوا كُنَّا نَصْنَعُهُ قَالَ لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا فَتَرَكُوهُ فَنَفَضَتْ أَوْ فَنَقَصَتْ قَالَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ


“Ketika Nabi SAW datang ke Madinah, para penduduk Madinah sedang menyerbukkan bunga kurma agar dapat berbuah yang hal itu biasa mereka sebut dengan 'mengawinkan', maka beliaupun bertanya: apa yang sedang kalian kerjakan? Mereka menjawab: Dari dulu kami selalu melakukan hal ini. Beliau berkata: 'Seandainya kalian tidak melakukannya, niscaya hal itu lebih baik. Maka merekapun meninggalkannya, dan ternyata kurma-kurma itu malah rontok dan berguguran. Ia berkata: lalu hal itu diadukan kepada beliau dan beliaupun berkata: 'Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, oleh karenanya apabila aku memerintahkan sesuatu dari urusan dien (agama) kalian, maka ambillah (laksanakanlah) dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian berdasar pendapatku semata, maka ketahuilah bahwa sungguh aku hanyalah manusia biasa” (HR. Muslim)

 

Hadits di atas sebenarnya bukan sekedar kisah tentang penyerbukan kurma, akan tetapi lebih pada unsur mengajarkan kepada umatnya, sebagaimana penegasan beliau pada bagian akhir Hadits ini bahwa segala perintah Nabi yang berkaitan dengan syari’at agama harus diikuti karena hal itu bersumber dari wahyu, sementara persoalan yang bersumber dari pikiran beliau [non wahyu] berkaitan dengan urusan keduniaan seperti pertanian dan semacamnya tidak harus diikuti begitu saja, tetapi hal itu diserahkan pada kebijaksanaan manusia. Hadits ini pun menjadi kaidah atau manhaj dalam memahami dan mengikuti Sunnah Nabawiyah.

Wallaahu a’lam bish - Shawaab




RASULULLAH SAW SANG TELADAN DAN MODERASI BERAGAMA RASULULLAH SAW SANG TELADAN DAN MODERASI BERAGAMA Reviewed by sangpencerah on November 04, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar: