وَمَثَلُ الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ
أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا
ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ (265)
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan
hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti
sebuah kebun yang terlelak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat,
maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak
menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang
kalian perbuat.
Ayat ini mengandung perumpamaan mengenai
orang-orang mukmin yang membelanjakan hartanya demi memperoleh ridha Allah SWT,
agar Allah SWT ridha kepada diri mereka.
وَتَثْبِيتاً مِنْ
أَنْفُسِهِمْ
dan untuk keteguhan jiwa mereka. (Al-Baqarah: 265)
Yakni sedangkan mereka merasa yakin dan pasti
bahwa Allah SWT. akan membalas amal perbuatan mereka dengan balasan pahala yang
berlimpah (sehingga hati mereka menjadi teguh).
Semakna dengan ayat ini adalah sebuah hadis sahih
yang muttafaq 'alaih (disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
predikat sahihnya), disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا»
Barang siapa yang puasa bulan Ramadhan karena
iman dan mengharapkan pahala (ridha) Allah....
Yakni dengan penuh keimanan bahwa Allah-lah yang
mensyariatkan ibadah puasa dan Dia pasti membalas dengan pahala di sisi-Nya.
Menurut Asy-Sya'bi, makna firman-Nya: dan untuk
keteguhan jiwa mereka. (Al-Baqarah: 265). Artinya percaya dan yakin,
sebagai ungkapan yakin dan percaya dirinya. Hal yang sama dikatakan oleh
Qatadah, Abu Saleh, dan Ibnu Zaid. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Menurut Mujahid dan Al-Hasan, mereka meneliti ke
manakah mereka mengalokasikan sedekah mereka.
Firman Allah SWT.:
كَمَثَلِ جَنَّةٍ
بِرَبْوَةٍ
seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi. (Al-Baqarah:
265)
Yaitu seperti sebuah kebun yang ada di atas bukit
Ar-rabwah, menurut jumhur ulama artinya tempat yang tinggi, yakni
dataran tinggi. Sedangkan menurut Ibnu Abbas dan Ad-Dahhak ditambahkan bahwa di
samping itu mengalir padanya sungai-sungai.
Ibnu Jarir mengatakan, sehubungan dengan lafaz rabwah
ini ada tiga dialek, yakni tiga bacaan mengenainya. Ada yang membacanya rubwah
dengan huruf ra yang di-dammah-kan, menurut qiraat kebanyakan ulama
Madinah, Hijaz, dan Irak. Ada yang membacanya rabwah, menurut qiraat
ulama negeri Syam dan Kufah. Menurut suatu pendapat, bacaan ini menurut dialek
Bani Tamim. Ada yang membacanya ribwah dengan memakai huruf ra yang
di-kasrah-kan, menurut suatu pendapat hal ini merupakan qiraat Ibnu Abbas.
Firman Allah SWT.:
أَصابَها وابِلٌ
yang disiram oleh hujan lebat. (Al-Baqarah: 265)
Yang dimaksud dengan wabil adalah hujan yang deras, seperti
keterangan yang telah disebutkan sebelumnya.
فَآتَتْ أُكُلَها ضِعْفَيْنِ
maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. (Al-Baqarah: 265)
Yang dimaksud dengan ukul ialah buahnya.
Ia mendatangkan buahnya dua kali lipat dibandingkan dengan hasil kebun lainnya.
فَإِنْ لَمْ يُصِبْها
وابِلٌ فَطَلٌّ
Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai).
(Al-Baqarah: 265)
Menurut Ad-Dahhak, yang dimaksud dengan lafaz fatallun
ialah rintik-rintik, yakni hujan gerimis. Dengan kata lain, kebun yang ada di
tempat yang tinggi ini tidak pernah gersang selamanya. Karena jika tidak
disirami oleh hujan yang lebat, maka ada hujan gerimis, dan hujan gerimis pun
sudah cukup baginya. Demikian pula amal orang mukmin, tidak pernah sia-sia,
melainkan diterima oleh Allah dan diperbanyak pahalanya serta dikembangkan
sesuai dengan jerih payah setiap orang yang beramal. Karena itulah pada
penghujung ayat ini disebutkan:
وَاللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ
Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian perbuat. (Al-Baqarah: 265)
Yakni tiada sesuatu pun dari amal perbuatan
hamba-hamba-Nya yang samar bagi-Nya.
Tidak ada komentar: