Jangan Mudah Mencela, Menghina dan Menvonis

Jangan Mudah Mencela, Menghina dan Menvonis

Oleh: Abdul Azis Jauri

 

 

 

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

 

 (Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu merasa dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. An Najm: 32)

  

Pernah ada seorang ustadz bercerita. Ketika di sebuah masjid ada kajian agama seorang jamaah mengajak teman jamaah yang lain untuk hadir mendengarkan kajian. Orang yang diajak kemudian bertanya “apakah ustadznya berjenggot?”. Jawabnya “tidak”. Lalu orang yang diajak itu mengatakan “dia (ustadznya) tidak sunnah”. Kejadian lain hampir serupa kasusnya. Ada seorang khatib khutbah jum’ah di salah satu masjid. Selesai khutbah ustadz tersebut mengatur shaf shalat, tiba-tiba seorang jamaah yang didepan ustadz berkata “aina lihyatik?” (dimana jenggotmu?)

  

Kasus diatas menggambarkan sebuah akhlak yang buruk, dan merendahkan orang lain.  Merasa dirinya paling baik dibanding orang lain. Kasus pertama seakan-akan merasa dirinya paling baik dalam mengamalkan sunnah nabi. Kasus kedua menunjukkan betapa buruknya komunikasi yang dilakukan. Menegur seseorang dihadapan banyak orang, dan membuat orang sulit khusu’ karena ditegur disaat akan melaksanakan shalat

 

Jenggot memang bagian dari sunnah Nabi SAW, yang ditunjukkan oleh beberapa hadits Nabi SAW. Tapi berjenggot atau tidak, bukan ukuran untuk menilai seseorang paling baik dalam mengamalkan sunnah Nabi SAW. Boleh jadi seseorang tidak mampu melaksanakan sunnah berupa jenggot, tetapi dia banyak melakukan sunnah yang lain. Sedangkan orang lain belum tentu mampu melaksanakan sunnah-sunnah itu.

 

 Ibrah dari kematian sesorang

Suatu hari di Lawang ada seseorang meninggal disaat melaksanakan shalat isya’ berjamaah. Kebiasaan yang dilakukan apabila shalat subuh selalu membaca doa qunut, dan sehabis shalat berjamaah selalu dzikir dengan suara keras. Tetapi Allah SWT takdirkan wafat dalam kondisi sujud kepada-Nya. Di kota Malang pernah ada kejadian, seseorang sedang adzan disaat sampai kalimat syahadat tiba-tiba terjatuh (ternyata sudah wafat). Keseharian dalam ibadahnya, kalau shalat subuh tidak pernah membaca doa qunut, dan sehabis shalat tidak pernah dzikir dengan suara keras. Kedua orang yang sedikit ada perbedaan amaliyah ibadahnya kepada Allah SWT. tetapi Allah SWT takdirkan kduanya wafat dalam kondisi yang baik.

 

 Muhasabah

Adakah jaminan pada diri kita akan mati dalam kondisi husnul khatimah? Sudahkah ada pemberitahuan dari malaikat amal-amal kita telah diterima oleh Allah SWT? Apabila kita belum ada jaminan dengan iman dan amal kita kenapa harus banyak nyinyir dengan amaliyah orang lain?. Bukan berarti berhenti dalam amar makruf dan nahi mungkar. Tapi caranya.

Suatu ketika ibunda Aisyah terheran-heran ketika membaca Al-Quran surat Al-Mukminun ayat 60

 

 

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ


 

Artinya: Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dan hati mereka bergetar (taku)t, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.

Dalam hadits riwayat Imam At-Tirmidzi 3175, ibunda Aisyah bertanya tentang ayat itu

 

أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ { وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ } قَالَتْ عَائِشَةُ أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ قَالَ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ

 

Bahwasanya Ummul mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: ”Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang ayat ini (al-Mu'minun ayat 60) 'Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut' . 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: ”Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum khamr dan mencuri?” Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ”Bukan, wahai anak perempuan ash-Shiddiq (Abu Bakar). Akan tetapi mereka adalah orang- orang yang berdoa, shalat dan sedekah, dan mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan.”

 

Syaikh As Sa’di Rahimahullah ketika menafsiri Al-Mukminun ayat 60 mengatakan, diantaranya:

Mereka menafkahkan dari apa yang diperintahkan kepada mereka. Mereka berikan dari apa yang mereka mampu kerjakan, seperti shalat, zakat, haji, sedekah, dan lain-lain, “dan” dengan ini “hati mereka gemetar” yaitu, mereka takut, "mereka takut kepada Tuhan mereka". Mereka takut, amal-amal mereka hilang dari sisi mereka, dan berhenti di tangan mereka. Mereka takut amal-amalnya tidak mampu menyelamatkan dari azab Allah SWT.

  

Ikhfany fillah

Manusia yang telah melakukan amal ibadahnya dengan demikian hebatnya masih merasakan takut kepada Allah SWT. Lalu amal kita yang mana paling kita andalkan dan pasti diterima. Kalau kita tidak punya keyakinan amal kita pasti diterima kenapa harus mengejek dan merendahkan orang lain. Bukan berarti harus ragu-ragu dengan amal kita, tetap harus yakin amal kita sudah sesuai dengan aturan Allah SWT dan contoh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Tetapi hati-hati dengan qolbu kita jangan terselip perasaan lebih baik dari orang lain

 

 

Kita renungkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ini

 

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ فِي الْمَوْتِ فَقَالَ كَيْفَ تَجِدُكَ قَالَ أَرْجُو اللَّهَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَخَافُ ذُنُوبِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ


Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu: Bahwasanya Nabi Shalallahu alaihi wasallam masuk (kerumah) seorang pemuda dan dalam kondisi akan meninggal dunia. Lalu Rasulullah bertanya “bagaimana keadaanmu?”. Pemuda itu menjawab: “Aku sangat berharap (rahmat) Allah, dan aku sangat takut akan dosa-dosaku,” jawabnya. Lalu Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berkata “tidak akan berkumpul di hati seorang hamba dua sifat ini (Roja’ dan Khauf) kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkan dan memberikan rasa aman dari apa yang dia takutkan.” (HR. At Tirmidzi 983 dan Ibnu Majah 4261)

 

Sumber persoalan kita ada didalam hati. Mulut kita tidak akan mudah untuk mencela, menghina, menvonis dan membenci sesama muslim apabila hati ini sehat dan senantiasa tawadhu’ (rendah hati). Kita akan merasa kasihan melihat orang lain melakukan kesalahan dan dosa. “Orang yang tawadhu’ selalu melihat muslim yang lain lebih baik dari dirinya”, ini yang dikatakan oleh imam Syafi’i

Awas dan hati-hati celaan itu terkadang kembali kepada dirinya sendiri

Ya Allah, tunjukkanlah aku kepada akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukkannya kecuali Engkau. Dan palingkanlah dariku kejelekan akhlak, tidak ada yang dapat memalingkannya kecuali Engkau”. (HR. Muslim 771)


Jangan Mudah Mencela, Menghina dan Menvonis Jangan Mudah Mencela, Menghina dan Menvonis Reviewed by sangpencerah on Maret 25, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar: