الَّذِينَ
يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ
وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ
وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلا تُزَكُّوا
أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
(Yaitu) orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain
dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas
ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia
menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka
janganlah kamu merasa dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang
yang bertakwa. (QS. An Najm: 32)
Pernah
ada seorang ustadz bercerita. Ketika di sebuah masjid ada kajian agama seorang
jamaah mengajak teman jamaah yang lain untuk hadir mendengarkan kajian. Orang
yang diajak kemudian bertanya “apakah ustadznya berjenggot?”. Jawabnya “tidak”.
Lalu orang yang diajak itu mengatakan “dia (ustadznya) tidak sunnah”. Kejadian
lain hampir serupa kasusnya. Ada seorang khatib khutbah jum’ah di salah satu
masjid. Selesai khutbah ustadz tersebut mengatur shaf shalat, tiba-tiba seorang
jamaah yang didepan ustadz berkata “aina lihyatik?” (dimana jenggotmu?)
Kasus
diatas menggambarkan sebuah akhlak yang buruk, dan merendahkan orang lain. Merasa dirinya paling baik dibanding orang
lain. Kasus pertama seakan-akan merasa dirinya paling baik dalam mengamalkan
sunnah nabi. Kasus kedua menunjukkan betapa buruknya komunikasi yang dilakukan.
Menegur seseorang dihadapan banyak orang, dan membuat orang sulit khusu’ karena
ditegur disaat akan melaksanakan shalat
Jenggot memang bagian dari sunnah Nabi SAW, yang ditunjukkan oleh beberapa hadits Nabi SAW. Tapi berjenggot atau tidak, bukan ukuran untuk menilai seseorang paling baik dalam mengamalkan sunnah Nabi SAW. Boleh jadi seseorang tidak mampu melaksanakan sunnah berupa jenggot, tetapi dia banyak melakukan sunnah yang lain. Sedangkan orang lain belum tentu mampu melaksanakan sunnah-sunnah itu.
Suatu
hari di Lawang ada seseorang meninggal disaat melaksanakan shalat isya’
berjamaah. Kebiasaan yang dilakukan apabila shalat subuh selalu membaca doa
qunut, dan sehabis shalat berjamaah selalu dzikir dengan suara keras. Tetapi
Allah SWT takdirkan wafat dalam kondisi sujud kepada-Nya. Di kota Malang pernah
ada kejadian, seseorang sedang adzan disaat sampai kalimat syahadat tiba-tiba
terjatuh (ternyata sudah wafat). Keseharian dalam ibadahnya, kalau shalat subuh
tidak pernah membaca doa qunut, dan sehabis shalat tidak pernah dzikir dengan
suara keras. Kedua orang yang sedikit ada perbedaan amaliyah ibadahnya kepada
Allah SWT. tetapi Allah SWT takdirkan kduanya wafat dalam kondisi yang baik.
Adakah
jaminan pada diri kita akan mati dalam kondisi husnul khatimah? Sudahkah ada
pemberitahuan dari malaikat amal-amal kita telah diterima oleh Allah SWT?
Apabila kita belum ada jaminan dengan iman dan amal kita kenapa harus banyak
nyinyir dengan amaliyah orang lain?. Bukan berarti berhenti dalam amar makruf
dan nahi mungkar. Tapi caranya.
Suatu ketika ibunda Aisyah
terheran-heran ketika membaca Al-Quran surat Al-Mukminun ayat 60
وَالَّذِينَ
يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ
رَاجِعُونَ
Artinya: Dan orang-orang
yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dan hati mereka bergetar
(taku)t, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada
Tuhan mereka.
Dalam hadits riwayat Imam
At-Tirmidzi 3175, ibunda Aisyah bertanya tentang ayat itu
أَنَّ
عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سَأَلْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ {
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ } قَالَتْ عَائِشَةُ
أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ قَالَ لَا يَا بِنْتَ
الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ
وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ
فِي الْخَيْرَاتِ
Bahwasanya Ummul mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: ”Aku
bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang ayat ini
(al-Mu'minun ayat 60) 'Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka
berikan, dengan hati yang takut' . 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: ”Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum khamr dan
mencuri?” Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ”Bukan, wahai anak
perempuan ash-Shiddiq (Abu Bakar). Akan tetapi mereka adalah orang- orang yang
berdoa, shalat dan sedekah, dan mereka khawatir amalan mereka tidak diterima.
Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan.”
Syaikh As Sa’di
Rahimahullah ketika menafsiri Al-Mukminun ayat 60 mengatakan, diantaranya:
Mereka
menafkahkan dari apa yang diperintahkan kepada mereka. Mereka berikan dari apa
yang mereka mampu kerjakan, seperti shalat, zakat, haji, sedekah, dan
lain-lain, “dan” dengan ini “hati mereka gemetar” yaitu, mereka takut,
"mereka takut kepada Tuhan mereka". Mereka takut, amal-amal mereka
hilang dari sisi mereka, dan berhenti di tangan mereka. Mereka takut
amal-amalnya tidak mampu menyelamatkan dari azab Allah SWT.
Ikhfany fillah
Manusia
yang telah melakukan amal ibadahnya dengan demikian hebatnya masih merasakan
takut kepada Allah SWT. Lalu amal kita yang mana paling kita andalkan dan pasti
diterima. Kalau kita tidak punya keyakinan amal kita pasti diterima kenapa
harus mengejek dan merendahkan orang lain. Bukan berarti harus ragu-ragu dengan
amal kita, tetap harus yakin amal kita sudah sesuai dengan aturan Allah SWT dan
contoh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Tetapi hati-hati dengan qolbu
kita jangan terselip perasaan lebih baik dari orang lain
Kita
renungkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ini
عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ
فِي الْمَوْتِ فَقَالَ كَيْفَ تَجِدُكَ قَالَ أَرْجُو اللَّهَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَأَخَافُ ذُنُوبِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا
أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu anhu: Bahwasanya Nabi Shalallahu alaihi wasallam
masuk (kerumah) seorang pemuda dan dalam kondisi akan meninggal dunia. Lalu
Rasulullah bertanya “bagaimana keadaanmu?”. Pemuda itu menjawab: “Aku
sangat berharap (rahmat) Allah, dan aku sangat takut akan dosa-dosaku,”
jawabnya. Lalu Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berkata “tidak akan berkumpul
di hati seorang hamba dua sifat ini (Roja’ dan Khauf) kecuali Allah akan
memberikan apa yang diharapkan dan memberikan rasa aman dari apa yang dia
takutkan.” (HR. At Tirmidzi 983 dan Ibnu Majah 4261)
Sumber persoalan kita ada didalam hati. Mulut kita tidak akan mudah untuk mencela, menghina, menvonis dan membenci sesama muslim apabila hati ini sehat dan senantiasa tawadhu’ (rendah hati). Kita akan merasa kasihan melihat orang lain melakukan kesalahan dan dosa. “Orang yang tawadhu’ selalu melihat muslim yang lain lebih baik dari dirinya”, ini yang dikatakan oleh imam Syafi’i
Awas dan hati-hati celaan itu terkadang kembali kepada dirinya sendiri
“Ya
Allah, tunjukkanlah aku kepada akhlak yang baik, tidak ada yang dapat
menunjukkannya kecuali Engkau. Dan palingkanlah dariku kejelekan akhlak, tidak
ada yang dapat memalingkannya kecuali Engkau”. (HR. Muslim 771)
Tidak ada komentar: