Sehat, Berdaya, dan Seimbang: Perspektif Psikologi Islam

Sehat, Berdaya, dan Seimbang: Perspektif Psikologi Islam

Oleh. Muh. Masykur AG

Pengurus Wilayah Asosiasi Psikologi Islam (API-HIMPSI) Jatim

 


Para ahli berpendapat, sehat-sakit dapat dipahami dari berbagai dimensi, tergantung dari sisi mana interpretasi dikehendaki. Dokter dan ahli medis, mengklaim sehat-sakit adalah produk pola makan, pengaturan nutrisi dan istirahat. Psikolog dan ahli jiwa berpendapat, sehat-sakit sangat berhubungan dengan derajat mental (psikis) individu ketika beradaptasi terhadap setiap stresor yang ada. Ulama dan ahli agama juga berpandangan, sehat-sakit adalah kondisi dinamis yang melekat pada setiap indvidu dalam praktik penghambaan kepada Tuhannya (Allah SWT). Dimana derajat kekhusyukan dan keikhlasan dalam beribadah atau beramal adalah nilai-nilai yang sangat mempengaruhi kualitas individu, secara biopsikososial-spiritual.

 

 

Pandangan Psikologi

Sehat bersifat bio-psikososial dan menyatu dalam kehidupan manusia. Sehat adalah konsep yang tidak mudah diartikan, sekalipun dapat diamati dan dirasakan keberadaannya. World Health Organization (WHO) merumuskan, sehat adalah keadaan sempurna secara fisik, mental dan sosial, yang tidak selalu merujuk pada terbebasnya penyakit dan/atau kelemahan. Artinya, sehat dipahami sebagai kondisi ideal, secara biologis, psikologis, dan sosial.

 

Pada diri manusia terdiri dari dua subsistem, psikis (jiwa atau mental) dan fisik (badan atau raga), keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kondisi sehat, secara neuropsikoimunologi pada prinsipnya saling terhubung antara aspek perilaku, kerja saraf (pikiran), fungsi endokrin dan proses kekebalan tubuh. Disiplin ini berpandangan bahwa gejala-gejala psikis, laiknya dorongan (drive), motivasi (motivation), kemauan (willness), kognitif (cognition), perasaan (feeling), dan kepribadian (personality) adalah situasi yang saling terlibat dalam pembentukan derajat sehat dan berdaya individu.

 

Merujuk pada teori hierarki kebutuhan Maslow (Hierarchy of Needs) misalnya, mulai kebutuhan fisik (fisiologis), rasa aman, cinta, penghargaan diri secara gradual, dan kebutuhan akan aktualisasi diri; yang disebut terakhir inilah sebagai bentuk kebutuhan tertinggi atau puncak individu. Diyakini sebagai kebaikan terbesar, keutuhan, kesehatan, dan kesejahteraan. Diri ideal (sehat dan berdaya), dalam hal ini merujuk pada kondisi individu yang mampu mencapai posisi puncak, total dan seimbang (full-humanness). 

 

Eksistensi kemanusiaan dalam pandangan psikologi al-Qur’an (nafsiologi) dan telah dideskripsikan oleh Al-Ghazali, terbangun dari 5 (lima) entitas atau struktur diri (self) yang saling mempengaruhi, yaitu: fisik (al-jism), nafsu (al-hawa), akal (al-aql), hati (al-qalb), dan ruh (ar-ruh). Dialogis dan kombinasi diantara kelimanya, yang saling mempengaruhi merupakan  keseimbangan dan kesempurnaan. Diri sempurna dan bernilai (meaningful) menurut Al-Ghazali adalah pribadi yang penuh dengan keutamaan-keutamaan, yang padanya terbalut kepribadian penuh kebijaksanaan (al-hikmah), suci (al-iffat), berani (al-syaja'at), dan adil (al-adalat).

 

Bersama suaminya, seorang dokter, ahli jiwa dan filosof, Danah Zohar (fisikawan dan teolog) telah memperkenalkan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient), selain IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient), yang berakar di otak manusia. Menurutnya, SQ adalah jenis kecerdasan ketiga setelah IQ-nya Wilhelm Stern yang telah berpengaruh lebih dari 200 tahun dan EQ-nya Daniel Goleman. Kecerdasan ini berkaitan dengan hal-hal bersifat transenden, suprarasional, melampaui kekinian dan pengalaman manusia. Ia bagian terdalam dan terpenting dari manusia, mempengaruhi cara berpikir dan bersikap serta penyempurna dari kecerdasan-kecerdasan sebelumnya. Sehat dan berdaya dalam pandangan ini adalah keseimbangan IQ, EQ dan SQ dalam diri setiap individu. 

 

 

Pandangan al-Qur'an dan as-Sunnah

Al-Quran menjelaskan,

 

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

 

"Dan carilah pada apa yang telah diberikan Allah kepadamu, yaitu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia" (QS. Qashash: 77). Dalam ayat yang lain, Allah berfirman:

 

وَإِنَّ الدَّارَ الآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ

 

"Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya" (QS. al-Ankabut: 64).

Kedua ayat ini menjelaskan, tentang pentingnya kehidupan yang berimbang, antara fokus dunia dan akhirat, sebab dunia adalah sarana untuk sampai kepada kehidupan akhirat. 

 

Rasulullah SAW bersabda: "Bukanlah yang terbaik diantara kamu adalah orang yang meninggalkan kehidupan dunia karena mengejar urusan akhirat, dan bukan pula yang terbaik adalah orang yang meninggalkan akhirat karena mengejar urusan dunia, sehingga ia memperoleh kedua-duanya, karena dunia adalah perantara yang menyampaikan ke akhirat dan janganlah kamu menjadi beban orang lain” (HR. Ibnu Asakir). Dalam hadits lain, nabi menjelaskan: "Bekerjalah untuk duniamu seakan akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalan untuk akhiratmu, seakan akan kamu akan mati besok” (HR. Ibnu Umar).

 

Jelas dan tegas bahwa Islam mengajarkan dan menghendaki kehidupan yang seimbang, sebab keseimbangan adalah fitrah manusia, begitu pula ketika menghendaki kesehatan dan keberdayaan yang utuh (jiwa-raga/lahir-batin). Rasulullah SAW bersabda:

 

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

 

"Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (al-qalb) "(HR. Bukhari 52 - Muslim 1599). 

Faktanya, segala bentuk penyakit atau gangguan-gangguan fisik dan mental adalah akibat ketidakseimbangan antara dorongan-dorongan akal dan hati individu.

 

Sains, terutama neuroanatomi dan neurokimia membuktikan bahwa otak setiap individu dapat memproduksi 60.000 pikiran setiap harinya dan medan/daya elektromagnetik jantung (hati) 5.000 kali lipat lebih besar dari otak dengan 40.000 saraf neuron. Artinya, keseimbangan dan harmonisasi diantara keduanya adalah kekuatan luar biasa yang sangat mempengaruhi kualitas sehat, bahagia dan sukses individu. Keduanya adalah energi dan vibrasi tanpa batas (powerful), jika dikelola dengan baik dan tetap berada pada level terbaiknya (positive thinking and feeling), maka akan melahirkan keajaiban.    

 

Hasan Al-Bashri, menambahkan: "Barang siapa memiliki empat simpanan, Allah mengharamkannya dari neraka dan melindunginya dari setan. Yaitu orang yang menguasai diri saat senang, saat takut, saat sahwat dan saat marah” (Hilyat al-Auliya: 144). Sementara “pangkal dan cabang keburukan itu ada enam. Pangkalnya ada tiga, yaitu hasut, rakus, dan cinta dunia. Cabangnya juga ada tiga, yaitu cinta kekuasaan, cinta pujian, dan cinta kemegahan” (Al-'Iqd al-Farid: 151).

 

Manusia yang sehat dan berdaya dalam pandangan di atas, adalah individu yang mampu melakukan kontrol keseimbangan terhadap entitas dirinya, terutama dalam pengelolaan pikiran dan perasaan positif, seraya terus menggantungkan diri seutuhnya kepada Allah SWT.

 

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

 

 "Ya Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebiakan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa api neraka” (QS. al-Baqarah: 201).

 

Kondisi sehat dan berdaya tidak dapat berdiri sendiri apalagi sekedar berfokus pada satu dimensi eksistensi individu. Sehat dan berdaya adalah kondisi yang benar-benar ideal dan merupakan produk kolaboratif aspek pikir (intelektual), karsa (fisik), rasa (emotional-behavioral), dan spiritual individu. Praktisnya, sehat dan berdaya dalam pandangan psikologi dan Islam adalah kondisi yang benar-benar seimbang secara lahir-batin.  




Sehat, Berdaya, dan Seimbang: Perspektif Psikologi Islam Sehat, Berdaya, dan Seimbang: Perspektif Psikologi Islam Reviewed by sangpencerah on Maret 17, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar: