Oleh : Ust. Imam Abda’I, SE,MM
اِنَّ عِدَّةَ
الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ
خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ
الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu”(QS. At-Taubah : 36)
Muharram
Adalah Bulan Yang Mulia.
ARBA’ATUM
HURUM ( Empat
bulan yang Mulia), 4 diantaranya merupakan bulan haram (mulia), dimana
orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka
mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang
bertemu dengan orang yang membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya.
Bulan yang empat itu adalah Rajab,
dan tiga bulan berurutan, yaitu Dzulqo’dah,
Dzulhijjah dan Muharram.
Pada bulan Muharram ini terdapat hari
yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan pertolongan
yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana Allah Ta’ala
telah menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis
sallam dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut
mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu. Dia adalah
hari kesepuluh yang dinamakan Assyura.
Makna
Peristiwa Tahun Hijriyah sendiri mengabadikan peristiwa Hijrah Rasulullah
SAW, yang didalamnya terdapat pesan moral Pertama: Peristiwa Hijrah
adalah tonggak sejarah kebangkitan umat islam dari suasan tidak Kondufif Menuju
Masa Prospektif yang kemudian dikenal dengan Masyarakat Madani, Kedua:
Peristiwa Hijrah bermakna pesan perjuangan tanpa putus asa, Semangat optimism
hijrah dari hal yang buruk menuju yang baik dengan segala pengurbanan untuk
kemenangan, Ketiga: Hijrah bermakna semangat persaudaraan sebagaimana
persaudaraan kaum Anshor dan Muhajirin
KEYAKINAN YANG SALAH
KAPRAH TERHADAP BULAN MUHARRAM/ASSYURO
MENGANGGAP
SIAL BULAN ASSYURA
Dalam pandangan masyarakat Jawa,
Muharram (Suro) merupakan bulan keramat. Sehingga sebagian dari mereka tidak
berani untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila
tidak di-indah-kan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai
berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan.
PERBUATAN
SYIRIK DI BULAN ASSYURA
Selain itu, untuk memperoleh
keselamatan, diadakan berbagai kegiatan “aneh”. Sebagian masyarakat mengadakan
tirakatan pada malam 1 Suro, entah di tiap desa, atau tempat lain seperti
puncak gunung, dst. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan
kembang lalu di larung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau dengan keyakinan supaya sang ratu
pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa
seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulungagung,
Cilacap dan lainnya.
Di Solo, acara kondang yang menyertai
Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang
terkenal dengan nama Kyai Slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa
ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela
bersusah-payah mendatanginya dengan jalan kaki, dst. Apa tujuannya? Tiada lain,
untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rejekinya lancar, dagangan
laris, dan sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, dalam
pandangan banyak orang, kerbau merupakan simbol kebodohan, sehingga muncul
peribahasa Jawa untuk menggambarkannya, “bodo ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya
adalah jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton.
Kemudian, keyakinan yang terkait
dengan Kerbau Kiai Slamet, Jamasan, pusaka-pusaka tertentu dan
sebaginya, ini merupakan keyakinan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama
Islam. Hal ini karena pelaku ngalap berkah yang seperti itu, mempunyai
keyakinan bahwa ada dzat lain yang mampu mendatangkan keselamatan/berkah serta
menolak bahaya selain Allah Ta’ala. BER-THIYARAH
(ber-anggapan
sial karena sesuatu selain Allah SWT) berarti
dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah Ta’ala. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah Ta’ala
perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di
langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya. Keselamatan,
kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
اِنِّيْ
تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّٰهِ رَبِّيْ وَرَبِّكُمْ ۗمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ اِلَّا هُوَ
اٰخِذٌۢ بِنَاصِيَتِهَا
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada
Allah Tuhanku dan Tuhan Kalian, tidak ada suatu Binatang melata (makhluk) pun
melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (QS. Hud: 56)
BER-TATHAYYUR
(Berbuat
thiyarah)
berarti dia telah menggantungkan
sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan
tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau
kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa
pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak
mudharat. Hanya Allah Ta’ala-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah Ta’ala
berfirman, “Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (QS.
Al Ikhlash: 2)
Orang yang
ber-tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan,
Pertama: meninggalkan semua perkara yang
telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan
namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan
ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
Al-Qur’an Allah Ta’ala menerangkan,
وَلَىِٕنْ
سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُ ۗ قُلْ
اَفَرَءَيْتُمْ مَّا تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ اَرَادَنِيَ اللّٰهُ
بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كٰشِفٰتُ ضُرِّهٖٓ اَوْ اَرَادَنِيْ بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ
مُمْسِكٰتُ رَحْمَتِهٖۗ قُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ ۗعَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ
الْمُتَوَكِّلُوْنَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka:”Siapakah yang menciptakan langit dan bumi”, niscaya mereka menjawab:
“Allah”.Katakanlah:”Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru
selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah
hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya.
Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang
berserah diri’.’ (QS.
Az-Zumar: 38)
Tawakkal, istighatsah (minta keselamatan),
isti’anah (minta pertolongan), takut dan mengharap adalah ibadah, dan yang lain
sebagainya dari macam-macam ibadah semuanya hanya untuk Allah Ta’ala. Inilah
prinsip tauhid, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata, yang
menjadi landasan paling mendasar di dalam Islam. Barangsiapa yang melanggarnya
maka ia jatuh ke dalam kesyirikan. Kecil atau besar-nya kesyirikan tersebut
tergantung jenis pelanggarannya.
Dan sudah merupakan prinsip agama ini
bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang berhak di-ibadahi. Setiap
peribadahan kepada selain Allah Ta’ala adalah ibadah yang batil dan pelakunya
terancam kekal di neraka jahannam apabila tidak bertaubat dari perbuatannya.
Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ
بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ
الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu,
adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan sesungguhnya apa
saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah,
Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Al Hajj: 62)
Dan Allah Ta’ala menjelaskan bahwa
pelaku kesyirikan kekal di neraka jahannam pada ayat-Nya
اِنَّهٗ
مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ
النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ
,“Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun”. (QS.
Al Maidah: 72)
Maka, apakah patut kita samakan kekuasaan
Allah Ta’ala Yang Maha Esa dengan makhluk yang lemah? Apalagi dengan hewan,
keris, akik, dan batu, yang merupakan benda mati?
Kesimpulannya,
Bulan
Muharram atau dikenal dengan Suro merupakan bulan yang Mulia. Maka tidak sepantasnya apabila
kaum muslimin mempunyai anggapan miring terhadapnya, dengan menjadikan sebagai
bulan keramat. Sehingga menyeret mereka jatuh ke lembah kesyirikan, dengan
melakukan acara-acara yang merupakan cerminan dari keyakinan mereka yang
keliru. Akibatnya dosa yang disandang semakin banyak karena dilakukan pada
bulan yang mulia.
Tidak ada komentar: