LEGALISASI KEKERASAN DALAM ISLAM?

 LEGALISASI KEKERASAN DALAM ISLAM?
(Refleksi dari pemahaman QS ke 48:29)

Oleh. Ust. Ir. Agus Liansyah, SP
Pengurus MT PDM dan Guru Ismuba SD Mutu Kawi


 

 

Memahami firman Allah SWT:


مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ


“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”(QS. al-Fath;48: 29)

 

Islam merupakan agama perdamaian, sesuai dengan namanya yaitu Aslama-Yuslimu- Islaaman aartinya patuh, tunduk dan selamat. Jadi orang yang bergama Islam identik dengan kepaasrahan, ketundukan terhadap seluruh ajaran agama Islam yang bersumber dari Allah SWT dan RasulNya. Sedangkan seorang muslim juga harus mampu  menyelamatkan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya, artinya tidak cukup seseorang hanya menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain, inilah yang disebut dengan perdamaian.

 

Oleh sebab itulah kehadiran Islam di muka bumi ini salah satu tujuannya untuk membngun manusia dalam kedamaian dengan sikap kepasrahan secara total terhadap aturan Allah SWT. Yaitu dimana seorang muslim harus mengutamaan kedamaian pada dirinya dan orang lain, atau keselamatan diri sendiri dan orang lain. Hal ini tidak dapat dicapai jika yang diterapkan adalah sikap sebaliknya yaitu keras terhadap orang lain (baik seagama maupun beda agama) atas dalih mengamalkan Qur’an surat al-Fath (48) ayat 29. Bagaimana bisa ayat ini mengajarkan kekerasan pada pemeluknya? Mari kita reflesh kembali pemahaman kita terhadap ayat ini supaya tidak salah faham atau fahamnya yang salah!! 

 

Menelaah kembali asbabun nuzul ayat 29 Surah al-Fath berkaitan dengan peristiwa Perjanjian Hudaibiyah yang sangat fenomenal di masa itu. Dimana sahabat  Rasulullah SAW. Berkeinginan untuk melakukan ibadah umrah di tengah-tengah memuncaknya permusuhan dari orang-orang kafir Quraisy. Dalam konteks kekinian, ayat 29 ini, telah dijadikan dalil untuk melakukan tindak kekerasan terhadap orang yang berbeda agama. Sehingga dengan ayat ini pula secara tidak langsung akan menghapus sikap perdamaian dan keharmonisan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Padahal Rasulullah SAW selalu menunjukan sikap harmonis kepada setiap penganut agama lain. Bahkan beliau menahan diri untuk bersikap keras terhadap mereka yang tidak menyerang dan mengusir umat Islam. Intinya, ayat inilah yang menjadi pengabsah (legitimasi) bagi sebagian kecil dari kelompok kaum muslimin untuk selalu bersikap keras terhadap Non-Muslim dalam segala konteks berkehidupan sosial.

 

Seharusnya sebagai muslim sejati telah menaruh perhatian dan kepercayaan pada diri Rasulullah SAW yang menjadi teladan bagi kehidupan manusia, baik kehidupan beragama, beribadah, bermua’alah serta kehidupan personal, dan sosial. Selain itu  Beliau Rasulullah SAW juga sebagai utusan Allah SWT terakhir. Melalui penegasan Allah SWT dengan kalimat Muẖammadun Rasūlullāh, Allah SAW ingin menggambarkan sahabat-sahabat beliau yang keras terhadap orang-orang kafir Quraisy dan saling menyayangi terhadap sesama Mu'min. sedangkan, pada kalimat Asyiddāu ‘Ala Al-Kuffār sering dimaknai dengan anti-kafir (dalam perjalanannya anti terhadap orang Non-Muslim). Bagaimana pandangan para mufassir dalam elemen penerapan ayat 29 ini?

 

Ibnu Katsir menakwilkan kalimat di atas senada dengan firman Allah QS. al-Mā-idah;5:54. Ayat di atas, sebagai gambaran bagi orang-orang Mu'min yakni bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi lemah lembut dan saling berkasih sayang kepada sesamanya.

Coba perhatikan lagi kronologi turunnya ayat 29 ini, dimana saat itu orang-orang Mu'min hendak masuk Kota Makkah untuk melakukan ibadah umrah dalam situasi yang tidak kondusif dan dalam kondisi tegang. Dibandingkan  dengan konteks sekarang yang mana agama Islam sudah tersebar mendunia pasca era Nabi SAW dan para sahabat?

Dari sebagian kecil kaum muslimin sampai saat ini masih belum memahami secara utuh tafsir surah al-Fath ayat 29 ini. Memahami ayat-ayat Alqur’an tidak hanya tekstual akan teetapi juga harus kontekstual dan komprehensif. Meenurut  Prof. Quraisy Shihab diksi kafir ada 2 makna pada kalimat Asyiddāu ‘Ala Al-Kuffār.

Pertama, diksi (كافرkāfir dalam al-Qur’an tidak selalu bermakna Non-Muslim. Kāfir itu bermacam-macam, misal dalam arti  “Barangsiapa berbuat atau aktivitasnya bertentangan dengan tujuan agama.” Maka itu disebut kafir, pada kenyataannya bisa saja seorang Muslim dinilai  kāfir apabila ia berbuat kedurhakaan walaupun penilaian tersebut bukan penilaian seorang pakar hukum. Jika memang betul demikian penjelasannya, maka sikap keras dan tegas itu tidak hanya tertuju kepada Non-Muslim, juga kepada yang muslim.

Kedua, diksi (كافرkāfir  ingin dipahami secara sikap keras, maka itu harus dalam konteks peperangan dan penegakan sanksi hukum yang dibenarkan agama.

 

Meneladani Sifat “Keras” Sahabat

Karakter yang ditampilkan dalam ibadah para sahabat Nabi SAW digambarkan dalam Q.S. al-Fath ayat 29 ini. Bahkan dalam kitab Taurat dan Injil sifat Nabi Muhammad SAW dan umatnya diumpamakan sebagai sifat yang mengagumkan. Sebagaiamana kelanjutan ayat 29 ini  sbb:

“..Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)..”

 

Terkait hal ini, Ibnu ‘Āsyūr merujuk pada Perjanjian Lama yang menyatakan:

“Tuhan datang dari Sinai, terbit kepada mereka dari Seir. Ia tampak bersinar dari pegunungan Paran dan datang dari tengah puluhan ribu orang yang kudus, disebelah kanannya tampak kepada mereka api yang menyala. Sungguh ia mengasihi umatnya, semua orangnya kudus. Di dalam tangan-Mu lah mereka, dan pada kaki-Mu mereka duduk.”

 

Makna mengasihi umatnya serupa dengan kandungan ayat berkasih sayang sesama mereka. Sedangkan kalimat pada kaki-Mu mereka duduk, semakna dengan mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Ada semacam kesamaan antara al-Qur’an dan kitab-kitab suci terdahulu. Memaknai ayat 29 ini seharusnya dengan pemahaman yang kontekstual dan diterapkan secara komprehensif.

 

Coba cek juga tafsir Ibnu Abbas, penggambaran khusus tertuju kepada sahabat yang turut menyaksikan Perjanjian Hudaibiyah. Di antaranya Abu Bakar, orang yang pertama kali mengimani kerasulan Muhammad SAW. Umar bin Khattab yang keras terhadap orang kafir, Utsman bin Affan yang selalu mengasihi dan menyayangi sesama mereka. Kemudian pada lanjutan ayat: “Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud” (lebih condong kepada sifat Ali bin Abi Thalib), serta Thalhah dan Zubair yang mencari karunia Allah SWT dan keridhaan-Nya.

 

Konteks ayat di atas adalah saat itu orang-orang Mukmin menjadi musuh atas orang-orang kafir. Para ahli tafsir sepakat bahwasanya asbabun nuzul ayat di atas disebabkan peristiwa Hudaibiyah. Kemudian, kita perlu meneladani sifat keras para sahabat. Sifat keras dalam hal ini adalah mampu menghadapi kondisi umat manusia yang sangat kompleks pada saat itu. Setelah berabad-abad, Rasulullah SAW melalui para sahabat, tabi’in, dan para ulama, mampu menghadirkan Islam sebagai agama rahmat dan sudah seharusnya Muslim menjadi agen perdamaian bagi seluruh umat duni tanpa melihat dari kaca mata agama.

 

Realitasnya  yang perlu dikdepankan dari peristiwa yang mengiringi turunnya ayat ini  adalah, bahwa ketika ayat ini disampaikan oleh Rasulullah SAW, justru beliau sedang mengupayakan perdamaian dan berkompromi dengan orang-orang kuffar Quraisy dalam Shuluh Hudaybiyah, bukan sedang bersikap keras atau kaku terhadap mereka.

 

Sebagai uraian penutup dari pembahasan ini dapat diambil hikmah dan pelajaran bagi kita semua untuk dipahami bahwa ayat tersebut tidak berlaku secara umum, melainkan khusus untuk pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa Hudaybiyah tersebut, sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk men-generalisir dan menjadikannya sebagai sikap umum seorang muslim kepada saudara yang non-muslim dalam kontek kemanusiaan. Dan pemahaman tektual pada ayat ini sebagai apologi (pembenaran) atas sikap kerasnya terhadap non muslim, karena sikap keras kurang relevan dengan asbabun nuzul ayat ini. Dan menyalahi konsep Islam yang Rahmatal lil ‘Alamin  karena konsep inilah, maka Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke 48 di Kota Surakarta, 18-20 November 2022, mengusung tema  Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta”/ Perempuan Berkemajuan, Mencerahkan Peradaban Bangsa, dengan demikian maka terciptalah perdamaian dalam berkehidupan. Tema ini menunjukan bahwa Jiwa dan alam pikiran serta langkah Muhammadiyah berpijak pada Islam berkemajuan.


Wallahu a’lam bis shawab

 


 

LEGALISASI KEKERASAN DALAM ISLAM?  LEGALISASI KEKERASAN DALAM ISLAM? Reviewed by sangpencerah on Oktober 31, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar: