Memahami firman Allah SWT:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ
بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka.”(QS. al-Fath;48: 29)
Islam merupakan agama perdamaian, sesuai
dengan namanya yaitu Aslama-Yuslimu- Islaaman aartinya patuh, tunduk dan
selamat. Jadi orang yang bergama Islam identik dengan kepaasrahan, ketundukan
terhadap seluruh ajaran agama Islam yang bersumber dari Allah SWT dan RasulNya. Sedangkan seorang muslim juga harus
mampu menyelamatkan diri sendiri dan
orang lain di sekitarnya, artinya tidak cukup seseorang hanya menyelamatkan
diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain, inilah yang disebut dengan perdamaian.
Oleh sebab itulah kehadiran Islam di muka bumi ini salah satu tujuannya untuk membngun manusia dalam kedamaian dengan sikap
kepasrahan secara total terhadap
aturan Allah SWT. Yaitu dimana seorang muslim harus mengutamaan kedamaian pada
dirinya dan orang lain, atau keselamatan diri sendiri dan orang lain. Hal ini
tidak dapat dicapai jika yang diterapkan adalah sikap sebaliknya yaitu
keras terhadap orang lain (baik seagama maupun beda agama) atas dalih
mengamalkan Qur’an surat al-Fath (48) ayat 29. Bagaimana bisa ayat ini mengajarkan kekerasan pada
pemeluknya? Mari kita reflesh kembali pemahaman kita
terhadap ayat ini supaya tidak salah faham atau fahamnya yang salah!!
Menelaah kembali asbabun
nuzul ayat 29 Surah
al-Fath berkaitan dengan peristiwa Perjanjian Hudaibiyah yang sangat fenomenal
di masa itu. Dimana sahabat Rasulullah
SAW. Berkeinginan untuk melakukan ibadah umrah di tengah-tengah memuncaknya
permusuhan dari orang-orang kafir Quraisy. Dalam konteks kekinian, ayat 29 ini, telah
dijadikan dalil untuk melakukan tindak kekerasan terhadap orang yang berbeda
agama. Sehingga dengan ayat ini pula secara
tidak langsung akan menghapus sikap perdamaian dan keharmonisan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Padahal Rasulullah SAW selalu menunjukan sikap harmonis kepada setiap penganut
agama lain. Bahkan beliau menahan diri untuk bersikap
keras terhadap mereka yang tidak menyerang dan mengusir umat Islam.
Intinya, ayat inilah yang menjadi pengabsah (legitimasi) bagi sebagian kecil
dari kelompok kaum muslimin untuk selalu bersikap keras terhadap Non-Muslim
dalam segala konteks berkehidupan sosial.
Seharusnya sebagai muslim sejati telah
menaruh perhatian dan kepercayaan pada diri Rasulullah SAW yang menjadi teladan
bagi kehidupan manusia, baik kehidupan beragama, beribadah, bermua’alah serta
kehidupan personal, dan sosial. Selain itu
Beliau Rasulullah SAW juga sebagai utusan Allah SWT terakhir. Melalui
penegasan Allah SWT dengan kalimat Muẖammadun Rasūlullāh,
Allah SAW ingin menggambarkan sahabat-sahabat beliau yang keras terhadap
orang-orang kafir Quraisy dan saling menyayangi terhadap sesama Mu'min.
sedangkan, pada kalimat Asyiddāu ‘Ala Al-Kuffār sering
dimaknai dengan anti-kafir (dalam perjalanannya anti terhadap orang
Non-Muslim). Bagaimana pandangan para mufassir dalam elemen penerapan ayat 29 ini?
Ibnu Katsir menakwilkan kalimat di atas
senada dengan firman Allah QS. al-Mā-idah;5:54.
Ayat di atas, sebagai gambaran bagi
orang-orang Mu'min yakni bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi lemah lembut dan saling berkasih sayang kepada sesamanya.
Coba perhatikan lagi kronologi turunnya
ayat 29 ini, dimana saat itu orang-orang Mu'min hendak masuk Kota Makkah untuk
melakukan ibadah umrah dalam situasi yang tidak kondusif dan dalam kondisi
tegang. Dibandingkan dengan konteks
sekarang yang mana agama Islam sudah tersebar mendunia pasca era Nabi SAW dan
para sahabat?
Dari sebagian kecil kaum muslimin sampai
saat ini masih belum memahami secara utuh
tafsir surah al-Fath ayat 29 ini. Memahami ayat-ayat Alqur’an tidak hanya
tekstual akan teetapi juga harus kontekstual dan komprehensif. Meenurut Prof. Quraisy Shihab diksi kafir ada 2 makna pada
kalimat Asyiddāu ‘Ala Al-Kuffār.
Pertama, diksi (كافر) kāfir dalam
al-Qur’an tidak selalu bermakna Non-Muslim. Kāfir itu
bermacam-macam, misal dalam arti “Barangsiapa
berbuat atau aktivitasnya bertentangan dengan tujuan agama.” Maka itu
disebut kafir, pada kenyataannya bisa saja seorang Muslim dinilai kāfir apabila ia berbuat kedurhakaan walaupun
penilaian tersebut bukan penilaian seorang pakar hukum. Jika
memang betul demikian penjelasannya, maka sikap keras dan tegas itu tidak hanya
tertuju kepada Non-Muslim, juga kepada yang muslim.
Kedua, diksi (كافر) kāfir
ingin dipahami secara sikap keras, maka itu harus dalam konteks peperangan dan
penegakan sanksi hukum yang dibenarkan agama.
Meneladani Sifat “Keras”
Sahabat
Karakter yang ditampilkan dalam ibadah para sahabat
Nabi SAW digambarkan dalam Q.S. al-Fath ayat 29 ini. Bahkan dalam kitab Taurat dan Injil sifat Nabi Muhammad SAW
dan umatnya diumpamakan sebagai sifat yang mengagumkan.
Sebagaiamana kelanjutan ayat 29 ini sbb:
“..Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam
Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)..”
Terkait hal ini, Ibnu ‘Āsyūr merujuk pada Perjanjian
Lama yang menyatakan:
“Tuhan datang dari Sinai, terbit kepada mereka dari
Seir. Ia tampak bersinar dari pegunungan Paran dan datang dari tengah puluhan
ribu orang yang kudus, disebelah kanannya tampak kepada mereka api yang
menyala. Sungguh ia mengasihi umatnya, semua orangnya kudus. Di dalam tangan-Mu
lah mereka, dan pada kaki-Mu mereka duduk.”
Makna mengasihi umatnya serupa
dengan kandungan ayat berkasih sayang sesama mereka.
Sedangkan kalimat pada kaki-Mu mereka duduk, semakna
dengan mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Ada semacam
kesamaan antara al-Qur’an dan kitab-kitab suci terdahulu. Memaknai ayat 29 ini
seharusnya dengan pemahaman yang kontekstual dan diterapkan secara komprehensif.
Coba cek juga tafsir Ibnu Abbas, penggambaran khusus
tertuju kepada sahabat yang turut menyaksikan Perjanjian Hudaibiyah. Di
antaranya Abu Bakar, orang yang pertama kali mengimani kerasulan Muhammad SAW.
Umar bin Khattab yang keras terhadap orang kafir, Utsman bin Affan yang selalu
mengasihi dan menyayangi sesama mereka. Kemudian pada lanjutan ayat: “Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud” (lebih condong
kepada sifat Ali bin Abi Thalib), serta Thalhah dan Zubair yang mencari karunia
Allah SWT dan keridhaan-Nya.
Konteks ayat di atas adalah saat itu orang-orang
Mukmin menjadi musuh atas orang-orang kafir. Para ahli tafsir sepakat
bahwasanya asbabun nuzul ayat di atas disebabkan peristiwa Hudaibiyah.
Kemudian, kita perlu meneladani sifat keras para sahabat. Sifat keras dalam hal
ini adalah mampu menghadapi kondisi umat manusia yang sangat kompleks pada saat
itu. Setelah berabad-abad, Rasulullah SAW melalui para sahabat, tabi’in, dan
para ulama, mampu menghadirkan Islam sebagai agama rahmat dan sudah seharusnya Muslim
menjadi agen perdamaian bagi seluruh umat duni tanpa melihat dari kaca mata
agama.
Realitasnya yang perlu dikdepankan dari peristiwa yang
mengiringi turunnya ayat ini adalah,
bahwa ketika ayat ini disampaikan oleh Rasulullah SAW, justru beliau sedang
mengupayakan perdamaian dan berkompromi dengan orang-orang kuffar Quraisy dalam
Shuluh Hudaybiyah, bukan sedang bersikap keras atau kaku terhadap mereka.
Sebagai uraian penutup dari pembahasan ini dapat
diambil hikmah dan pelajaran bagi kita semua untuk dipahami bahwa ayat tersebut
tidak berlaku secara umum, melainkan khusus untuk pihak-pihak yang terlibat
dalam peristiwa Hudaybiyah tersebut, sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk
men-generalisir dan menjadikannya sebagai sikap umum seorang
muslim kepada saudara yang non-muslim dalam kontek kemanusiaan. Dan pemahaman
tektual pada ayat ini sebagai apologi (pembenaran) atas sikap kerasnya terhadap
non muslim, karena sikap keras kurang relevan dengan asbabun nuzul ayat ini. Dan menyalahi konsep Islam yang Rahmatal lil
‘Alamin karena konsep inilah, maka
Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke 48 di Kota Surakarta, 18-20 November
2022, mengusung tema Memajukan
Indonesia, Mencerahkan Semesta”/ Perempuan Berkemajuan, Mencerahkan Peradaban
Bangsa, dengan demikian maka terciptalah perdamaian dalam berkehidupan. Tema ini menunjukan bahwa Jiwa
dan alam pikiran serta langkah Muhammadiyah berpijak pada Islam berkemajuan.
Wallahu a’lam bis shawab
Tidak ada komentar: