MAULID NABI SAW dalam perspektif ilmu usul fiqh

MAULID NABI SAW
dalam perspektif ilmu usul fiqh
Oleh. Ust. Hafidz, SPD, M.Pd.I
(Anggota CMM dan MPI PDM Kota Malang)



Fenomena yang selalu datang setiap tahun dan menjadi sebuah kebiasaan sebagian umat Islam yaitu peringatan “Maulid Nabi Muhammad SAW.” – dari fenomena ini maka muncul berbagai pandangan dan pemahaman yang berbeda-beda. Bahkan ada yang mengatakan bahwa hal itu termasuk bid’ah, sementara yang lain mengatakan hal itu bukan bid’ah, mereka beralasan bahwa bid’ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam masalah ibadah dari ajaran Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari al-Qur’an dan as-Sunnah. sedangkan Kegiatan yang berkaitan dengah peringatan Maulid walaupun merupakan sesuatu yang baru di dalam Islam, dan bukan merupakan masalah ibadah yang memiliki landasan dari al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi merupakan masalah mu’amalah yang semestinya dipandang sebagai sesuatu yang berstatus hukum “mubâh”, sebagaimana kaidah usul fiqih yang dipahami para ulama: 

“Pada dasarnya setiap persoalan yang berkaitan dengan mu’amalah hukumnya mubah” sehingga ada dalil yang mengingkari/menyelisihi kebolehannya.


Pada rangkaian acara Maulid Nabi Muhammad SAW di dalamnya banyak sekali muatan nilai keislaman yang berupa “implementasi ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya”, seperti: “taushiyah, pengajian, tadarus Al-Quran, bakti-sosial dan silaturahim antarumat Islam dengan berbagai ragam bentuknya”, yang semuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama (Islam) dan ada dalilnya – baik secara eksplisit maupun implisit dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.


Bagaimana dengan: “Pengkhususan Waktu?”

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan beragam acaranya yang tidak terikat dengan ibadah (mahdhah) bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda, selama ada nilai ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dan tidak bercampur dengan kemaksiatan, sehingga benar-benar bernilai mashlahat, dan tidak berseberangan dengan nilai-nilai ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Inilah yang dinyatakan oleh para ulama fiqih dengan istilah: Mashlahah Mursalah, bukan Mashlahah Mulghah. Pengkhususan waktu Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di sini bukan termasuk dalam kategori takhsîsh yang dilarang oleh syara’ (agama) tersebut, akan tetapi ‘semata-mata’ masuk dalam kategori tartîb (penertiban) yang diperbolehkan.


Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal shalih dalam hal ini adalah “diperbolehkan”. Nabi Muhammad SAW sendiri misalnya pernah mengkhususkan hari tertentu untuk beribadah dan berziarah ke masjid Quba’, seperti diriwayatkan oleh Abdullan bin Umar, “bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu dengan berjalan kaki atau dengan kendaraan untuk melaksanakan shalat dua rakaat di masjid itu” (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar al-Asqalani mengomentari hadits ini (dengan) mengatakan: “Bahwa hadits ini disertai banyak riwayatnya yang menunjukan diperbolehkannya untuk mengkhususkan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal shalih dan boleh dilakukan secara terus-menerus”. (lihat: Fathul Bâri, III/84).


Imam an-Nawawi juga berkata dalam kitab Syarah Shahîh Muslim. Para sahabat Anshar juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul dan bersama-sama mengingat nikmat Allah SWT, (yaitu datangnya Nabi Muhammad SAW pada hari Jum’at atau mereka menyebutnya dengan sebutan “Yaumul ‘Urûbah” dan direstui oleh Nabi Muhammad SAW)


Dari beberapa pandangan di atas dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Peringatan Maulid, dan (juga) yang lainnya hanyalah untuk ‘penertiban acara-acara’ dengan memanfaatkan momentum yang sesuai, tanpa ada keyakinan apa pun; hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, pengkhususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tetapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.


Dengan argumen di atas, maka penjadwalan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabi’ul Awwal hanyalah ‘murni’ acara yang terkait ‘budaya’ masyarakat muslim, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan persoalan ibadah (baca: syari’at Islam); dan barangsiapa yang meyakini bahwa acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tidak boleh diadakan oleh ‘Syariat (Islam) selain bulan pada Rabi’ul Awwal, maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid’ah dhalâlah.


Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi SAW atau Sahabat – yang dalam terms ulama Ushul Fiqih disebut dengan sebutan: “at-Tark” dan tidak ada keterangan ‘apakah’ hal tersebut diperintahkan atau dilarang, maka menurut Ulama Ushul Fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.


Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunnah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-Tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi SAW atau sahabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan (disimpulkan) bahwa hal itu adalah “haram atau wajib”, dengan tanpa analisa yang tepat.


Di bawah ini akan di sebutkan argument-argumen mengapa Nabi Muhammad SAW meninggalkan sesuatu:


1. Nabi Muhammad SAW meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadits yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat:

 “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS al-Hajj’22: 77). Kebajikan yang terdapat di dalam ayat tersebut maknanya adalah ’umum’ dan Nabi SAW tidak menjelaskan semuanya secara rinci.


2. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut jika hal itu dikira oleh umatnya suatu yang wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi SAW meninggalkan shalat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira shalat tarawih adalah wajib.


3. Nabi SAW. meninggalkan sesuatu karena takut akan mengubah (mengusik) perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada ’Aisyah r.a.: “Seandainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka’bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim a.s.. Sungguh (orang-orang) Quraiys telah membuat bangunan ka’bah menjadi pendek.” (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi SAW meninggalkan untuk merekonstrusi Ka’bah karena menjaga hati (perasaan) para mualaf Makkah, agar perasaan mereka tidak terganggu.


4. Nabi SAW meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadits: Nabi SAW disuguhi daging dhab panggang (sejenis biawak tapi bukan biawak), kemudian beliau mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: “itu dhab!”, maka Nabi SAW menarik tangannya kembali, lalu beliau ditanya: “apakah dhab itu haram? Nabi menjawab: “Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!” (HR Bukhari dan Muslim) hadits ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi SAW setelah sebelumnya beliu terima hal itu bukan berarti haram atau dilarang.


5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhal (utama). Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhûl) adalah haram. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas, baca: Syekh Abdullah al-Ghamariy. Husnu Tafâhum wad Dark li Masalatit Tark)


Dan Allah SWT berfirman:


 وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا


[Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.] (QS al-Hasyr/: 7) dan Allah SWT tidak berfirman dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.


Dari keseluruhan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa “at-Tark” – seperti penyelengaraan kegiatan peringan maulid Nabi” tidak selamanya (mengisyaratkan) hukum haram. Dan alasan pengharaman ’peringatan maulid’, dengan alasan karena tidak pernah dialakukan oleh Nabi SAW dan para sahabat, dan juga tidak ada perintahnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil. Karena ’kegiatan semacam ini’ masuk dalam kategori mashlahah mursalah (asas kemanfaatan)


Dan jika peringatan “Maulid Nabi Muhammad SAW” yang diselenggarakan itu ditengarai bisa berdampak negatif, dengan meminjam prinsip (pertimbangan) Saddudz Dzarî’ah, bisa berubah hukumnya menjadi ’makruh’, bahkan ’haram’. Wallahu A’lam bish Shawaab.




MAULID NABI SAW dalam perspektif ilmu usul fiqh MAULID NABI SAW dalam perspektif ilmu usul fiqh Reviewed by sangpencerah on Oktober 13, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar: