Kehadiran anak-anak dalam keluarga memiliki banyak makna. Mereka
bisa menjadi perhiasan bagi kedua orangtuanya atau sebaliknya menjadi cobaan.
Mengutip MUI, di dalam Al-Quran disebutkan terdapat tiga fase umum
kehidupan yang akan dilewati manusia. Fase pertama, manusia berada dalam
keadaan lemah, yaitu pada masa bayi dan anak-anak.
Fase kedua, manusia berada dalam keadaan kuat atau dewasa.
Terakhir, fase ketiga yaitu dimana manusia lemah dan beruban. Fase ini
menunjukan bahwa seseorang telah memasuki usia tua atau lansia.
Namun tidak semua manusia dapat mencapai ketiga fase yang telah
disebutkan sebelumnya. Sebagian ada yang hanya mencapai pada fase pertama
ataupun kedua.
Hal ini sebagaimana rman Allah dalam surat Ar Rum ayat 54:
ٱللَّهُ ٱلَّذِي
خَلَقَكُم مِّن ضَعۡفٖ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعۡدِ ضَعۡفٖ قُوَّةٗ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ
بَعۡدِ قُوَّةٖ ضَعۡفٗا وَشَيۡبَةٗۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ وَهُوَ ٱلۡعَلِيمُ
ٱلۡقَدِيرُ
“Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian
Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan
apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Mahamengetahui, Mahakuasa.”
Allah SWT menjelaskan dalam Al-Quran terdapat empat kedudukan anak
terhadap orang tua. Kedudukan tersebut disebutkan-Nya pada empat surat yang
berbeda, yaitu:
Pertama, kedudukan anak sebagai kesenangan
hidup (perhiasan) di dunia. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14,
yaitu:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمَئَابِ
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa
yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik.”
Merujuk pada penjelasan dari tafsir ringkas Kementerian Agama RI
terdapat beberapa hal dari kesenangan hidup yang Allah SWT berikan yaitu dengan kehadiran anak dalam
keluarga.
Adapun kedudukan anak sebagai kesenangan hidup dapat dipahami bahwa
manusia secara naluriah memiliki kecenderungan untuk senang terhadap anak. Ayat
di atas senada pula dengan rman-Nya di surat Al-Kah ayat 46.
Kedua, kedudukan anak sebagai cobaan atau
tnah. Firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Anfal ayat 28:
وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ
وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ
“Dan
ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.”
Mengutip dari kitab Al-Mufradat Gharib Al-Quran karya ar-Ragib
al-Isfahani, lafaz fitnah berasal dari kata fatana yang memiliki makna dasar ‘membakar
logam emas atau perak untuk mengetahui kemurniannya’.
Sebagaimana yang dijelaskan Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir
Al-Misbah, kedudukan anak anak sebagai tnah tak hanya ketika orang tua memiliki
dorongan atas dasar cinta kepadanya sehingga melanggar ketetapan Allah SWT,
akan tetapi hal tersebur berlaku dalam kedudukan anak sebagai amanah Allah SWT.
Allah SWT menguji hamba-Nya melalui anak yang dikaruniai oleh-Nya
adalah untuk melihat apakah hamba tersebut mampu merawatnya dengan baik. Tak
hanya memberi sandang, pangan, dan papan yang cukup tapi juga mendidik dan
mengembangkan potensi pada anak.
Potensi tersebutlah yang kelak menjadikan manusia sebagaimana yang
dikehendaki Allah SWT , yaitu sebagai hamba-Nya sekaligus khalifah di dunia.
Ketiga, kedudukan anak sebagai musuh.
Firman Allah SWT dalam surat At-Taghabun
ayat 14:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ
وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ
وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara
istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni
serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan mengenai sebab turun
ayat di atas, salah satunya yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Dalam kitab tafsir
Al-Quran al-Adhim, Ibnu Katsir mengutip ayat di atas berkaitan dengan persoalan
sebagian dari penduduk Makkah yang ingin berhijrah namun dihalangi istri dan
anak-anak mereka.
Setelah berhijrah, mereka menemukan teman-teman yang telah lebih
dahulu hijrah serta memiliki pengetahuan mendalam mengenai Islam.
Pada saat itu, penyesalan timbul dan mereka bermaksud untuk
menghukum istri dan anak-anak mereka yang menjadi penyebab ketertinggalan
tersebut. Karenanya turunlah ayat ini untuk menjawab persoalan mereka.
Keempat, kedudukan anak sebagai penyenang
hati. Firman Allah SWT dalam surat Al-Furqan ayat 74:
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا
وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah
kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Mengutip dari Tafsir Departemen Agama RI ayat di atas menjelaskan
mengenai doa yang selalu dipanjatkan hamba-hamba yang dikasihi Allah SWT agar
diberikan pasangan dan anak-anak yang mampu menjadi penenang hati dan
menyejukkan perasaan.
Dengan demikian akan bertambah pula di bumi ini hamba-hamba Allah
SWT yang bertakwa lagi menyucikan zat-Nya Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: https://www.muslimobsession.com/4-kedudukan-anak-menurut-al-quran
Tidak ada komentar: