Kajian: Hukum Perempuan Menjadi Imam Shalat Bagi Makmum Laki-Laki (1)

Kajian: Hukum Perempuan Menjadi Imam Shalat Bagi Makmum Laki-Laki



Pandangan hukum

Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki.[3]

Pertama: jumhur ulama, di antaraya adalah imam Syafii, imam Malik, imam Ahmad, Ibnu Hazm, Ibnu Quddamah dan Ibnu Rusyd mengatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam bagi makmum laki-laki.[4] Di antara ulama kontemporer yang sependapat dengan jumhur adalah Dr. Yusuf al-Qaradhawi dan Syaikh al-Azhar Imam Akbar prof. Dr. Muhammad Sayyid Thantawi. Adapun argumentasi yang mereka gunakan berasal dari dalil manqûl dan maqûl.

1.      Dalil manqûl.

Sabda Rasulullah SAW.:

[5]لا تؤمن امرأة رجلا

Artinya: Janganlah seorang perempuan mengimami laki-laki.

[6]أخرواهن حيث أخرهن الله

Artinya: Letakkan para perempuan dibelakang sebagaimana Allah meletakkan mereka dibelakang.

 

Wajhu al-dilâlah:

Hadits  pertama secara sharîh melarang perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki. Sementara hadits  kedua secara mafhûm dapat dipahami bahwa jika dalam shalat perempuan harus berada pada saf belakang setelah laki-laki, bagaimana mungkin mereka dapat menjadi imam yang berada pada barisan paling depan.

Dalil maqûl:

·      Jika benar bahwa perempuan dapat menjadi imam shalat tentu dapat diketahui dari riwayat para sahabat dan dilaksanakan oleh para pendahulu. Kenyataannya hal ini tidak pernah terjadi.[7]

·     Shalat dalam Islam bukan hanya doa seperti dalam sembahyangnya agama Kristen, tapi dalam shalat terdapat gerakan-gerakan, duduk, rukuk dan sujud. Dan gerakan-gerakan itu tak etis dilakukan seorang perempuan di depan laki-laki. Apalagi berkaitan dengan shalat yang merupakan ibadah yang dituntut adanya khusyuk hati, ketenangan jiwa dan konsentrasi dalam bermunajat kepada Allah. Sedangkan tubuh perempuan tercipta berbeda dengan tubuh laki-laki, di mana seorang perempuan memiliki tubuh yang dapat merangsang laki-laki.[8]

·         Karena itu, untuk menghindari fitnah dan upaya preventif, maka syariat menjadikan masalah imam, azan dan iqamat untuk laki-laki. Posisi saf shalat perempuan di belakang saf laki-laki dan menjadikan saf paling utama laki-laki di depan dan bagi perempuan paling belakang.[9]

·     Walhasil, selain akan menambah gharâbah (asing) dan nakarah (ketidakpastian), juga akan menambah sulit pemahaman fikih Hadits . Landasan mereka mengenai dibolehkannya imam perempuan adalah Hadits  riwayat Ummi Waraqah yang berbunyi:

 

عن أم ورقة بنت عبد الله بن نوفل الأنصارية أن النبي صلى الله عليه وسلم لما غزا بدرا قالت قلت له يا رسول الله ائذن لي في الغزو معك أمرض مرضاكم لعل الله أن يرزقني شهادة قال قري في بيتك فإن الله تعالى يرزقك الشهادة قال فكانت تسمى الشهيدة قال وكانت قد قرأت القرآن فاستأذنت النبي صلى الله عليه وسلم أن تتخذ في دارها مؤذنا فأذن لها قال وكانت قد دبرت غلاما لها وجارية[10]


Artinya: Dari Ummi Waraqah binti Abdillah bin Naufal al-Anshari bahwa Nabi SAW ketika terjadi perang Badar, ia (Ummi Waraqah) berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah, Wahai Rasulullah, ijinkan aku ikut berperang bersamamu untuk mengobati orang-orang sakit di antara kalian semua, semoga Allah memberikan rezeki kepadaku dengan mati syahid. Bersabda (Rasulullah), Tinggallah engkau dirumahmu. Sesungguhnya Allah akan memberikan rezeki syahid kepadamu. Kemudian ia (Ummi Waraqah) dijuluki dengan al-Syahîdah. Ia telah hafal al-Quran, maka ia meminta ijin kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengambil seorang muazin di rumahnya, maka Rasulullah memberikan izin kepadanya. Dan yang berada dibelakangnya (makmum) adalah seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan.

 

وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزورها في بيتها وجعل لها مؤذنا يؤذن لها وأمرها أن تؤم أهل دارها قال عبد الرحمن فأنا رأيت مؤذنها شيخا كبيرا11

 

Artinya: Rasulullah SAW. mengunjunginya di rumahnya dan menjadikan seorang muazin untuk melantunkan azan dan beliau memerintahkan (Ummi Waraqah) untuk menjadi imam (shalat) ahli keluarganya. Abdurrahman berkata, Saya melihat tukang azannya seseorang yang sudah lanjut usia.

 

Artinya, siapakah yang menjadi makmumnya Ummu Waraqah? Apalah laki-laki yang sudah masuk usia tamyiz di antara mereka atau hanya perempuan? Jika jawabannya adalah ada ghulâm (budak laki-laki), maka tidak ada masalah fikih yang sekarang diperselisihkan. Perempuan boleh mengimami budak laki-laki.[12]

·    Kata Muazin di sini, apakah berarti tukang azan, atau pemberi izin (seperti satpam) sebagaimana dimaksud dalam cerita Nabi Yusuf di al-Quran (QS: Yûsuf: 70). Jika berati tukang azan (bilal), untuk keperluan apa bilal? Toh shalat yang diizinkan diimami Ummu Waraqah hanya sebatas lingkungan rumahnya. Jika diartikan pemberi izin (satpam), maka apakah waktu shalat beliau ikut shalat berjamaah atau tidak? Bukankah suatu yang mungkin, ketika shalat dia tidak ikut karena bertugas menjaga pintu?[13]

·         Semua kemungkinan tersebut tetap ada, meski ada lemahnya. Artinya, menggunakan dalil pembolehan dan tidaknya dengan menggunakan kedua hadits  ini, sama-sama lemah. Lantas, adakah dalil yang lebih kuat? Jawabannya ada dan banyak, yaitu Amaliah Rasulullah SAW dan Khulafaurasyidin.

·      Sejarah Rasulullah SAW. dan Khulafaurasyidin tidak mencatat sama sekali berdirinya Aisyah sebagai salah satu perempuan terpantas untuk dijadikan imam sebagai imam di masjid dengan makmum laki-laki, apalagi menjadi khatib shalat Jumat. Padahal, jika mau dibandingkan dengan taraf kedudukan Aisyah, maka seharusnya beliau sudah menjadi imam dan khatib di salah satu masjid kota Madinah pada masa-masa setelah Ali bin Abu Talib pindah ke Kufah, atau sekitar tahun 38 sampai tahun 57 H (tahun wafat Aisyah). Sebab, pada masa itu, Aisyah merupakan tokoh utama, kedudukan sebagai Ummul Muminin dan kepakarannya yang memang dikenal cerdas, layak dan patut dijadikan sebagai khatib dan imam shalat jumat. Kenyataannya, al-Sunnah, al-Sirah dan buku-buku rujukan mutamad lainnya tidak menggoreskan catatan tentang kejadian ini.[14]

·         Menurut kaidah ilmu fikih Hadits, hadits  fi’liy lebih kuat dibanding hadits  qauliy. Riwayat ke-imam-an laki-laki yang terus menerus dalam shalat, begitu juga tidak ada riwayat fi’liy perempuan pernah menjadi imam di Masjid Nabawi atau Masjid al-Haram, serta Masjid-masjid lainnya di seputar kota Makkah dan Madinah, menunjukkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam jika mamumnya laki-laki.

 

Kedua: Imam Thabari, Dawud, Abu Tsaur, Ibnu Arabi dan al-Muzanni mengatakan bahwa perempuan boleh menjadi imam secara mutlak.[16] Di antara ulama kontemporer yang membolehkan perempuan menjadi imam laki-laki adalah Dr. Ali Jumah[17] dan Prof Dr. Thaha Jabir al-Alwani. Mereka juga menggunakan dalil manqûl dan maqûl:

Dalil manqûl:

Hadits  Nabi SAW yang diriwayatkan olah Ummi Waraqah binti Abdillah:


عن أم ورقة بنت عبد الله بن نوفل الأنصارية أن النبي صلى الله عليه وسلم لما غزا بدرا قالت قلت له يا رسول الله ائذن لي في الغزو معك أمرض مرضاكم لعل الله أن يرزقني شهادة قال قري في بيتك فإن الله تعالى يرزقك الشهادة قال فكانت تسمى الشهيدة قال وكانت قد قرأت القرآن فاستأذنت النبي صلى الله عليه وسلم أن تتخذ في دارها مؤذنا فأذن لها قال وكانت قد دبرت غلاما لها وجارية[18]

Artinya: Dari Ummi Waraqah binti Abdillah bin Naufal al-Anshari bahwa Nabi SAW ketika terjadi perang Badar, ia (Ummi Waraqah) berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah, Wahai Rasulullah, izinkan aku ikut berperang bersamamu untuk mengobati orang-orang sakit di antara kalian semua, semoga Allah memberikan rezeki kepadaku dengan mati syahid. Bersabda (Rasulullah), Tinggallah engkau dirumahmu. Sesungguhnya Allah akan memberikan rezeki syahid kepadamu. Kemudian ia (Ummi Waraqah) dijuluki dengan al-Syahîdah. Ia telah hafal al-Quran, maka ia meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengambil seorang muazin di rumahnya, maka Rasulullah memberikan izin kepadanya. Dan yang berada dibelakangnya (makmum) adalah seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan.

 

وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزورها في بيتها وجعل لها مؤذنا يؤذن لها وأمرها أن تؤم أهل دارها قال عبد الرحمن فأنا رأيت مؤذنها شيخا كبيرا19

 

Artinya: Rasulullah SAW. mengunjunginya di rumahnya dan menjadikan seorang muazin untuk melantunkan azan dan beliau memerintahkan (Ummi Waraqah) untuk menjadi imam (shalat) ahli keluarganya. Abdurrahman berkata, Saya melihat tukang azannya seseorang yang sudah lanjut usia.

bersambung

Kajian: Hukum Perempuan Menjadi Imam Shalat Bagi Makmum Laki-Laki (1) Kajian: Hukum Perempuan Menjadi Imam Shalat Bagi Makmum Laki-Laki (1) Reviewed by sangpencerah on Mei 09, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar: