Kajian: Hukum Perempuan Menjadi Imam Shalat Bagi Makmum Laki-Laki
Pandangan
hukum
Para ulama
berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya perempuan menjadi imam bagi makmum
laki-laki.[3]
Pertama:
jumhur ulama, di antaraya adalah imam Syafii, imam Malik, imam Ahmad, Ibnu
Hazm, Ibnu Quddamah dan Ibnu Rusyd mengatakan bahwa perempuan tidak boleh
menjadi imam bagi makmum laki-laki.[4] Di antara ulama kontemporer yang
sependapat dengan jumhur adalah Dr. Yusuf al-Qaradhawi dan Syaikh al-Azhar Imam
Akbar prof. Dr. Muhammad Sayyid Thantawi. Adapun argumentasi yang mereka
gunakan berasal dari dalil manqûl dan maqûl.
1. Dalil manqûl.
Sabda
Rasulullah SAW.:
[5]لا
تؤمن امرأة رجلا
Artinya: Janganlah
seorang perempuan mengimami laki-laki.
[6]أخرواهن
حيث أخرهن الله
Artinya: Letakkan
para perempuan dibelakang sebagaimana Allah meletakkan mereka dibelakang.
Wajhu
al-dilâlah:
Hadits pertama secara sharîh
melarang perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki. Sementara hadits kedua secara mafhûm dapat dipahami bahwa jika
dalam shalat perempuan harus berada pada saf belakang setelah laki-laki,
bagaimana mungkin mereka dapat menjadi imam yang berada pada barisan paling
depan.
Dalil
maqûl:
· Jika benar
bahwa perempuan dapat menjadi imam shalat tentu dapat diketahui dari riwayat
para sahabat dan dilaksanakan oleh para pendahulu. Kenyataannya hal ini tidak
pernah terjadi.[7]
· Shalat
dalam Islam bukan hanya doa seperti dalam sembahyangnya agama Kristen, tapi
dalam shalat terdapat gerakan-gerakan, duduk, rukuk dan sujud. Dan
gerakan-gerakan itu tak etis dilakukan seorang perempuan di depan laki-laki.
Apalagi berkaitan dengan shalat yang merupakan ibadah yang dituntut adanya
khusyuk hati, ketenangan jiwa dan konsentrasi dalam bermunajat kepada Allah.
Sedangkan tubuh perempuan tercipta berbeda dengan tubuh laki-laki, di mana
seorang perempuan memiliki tubuh yang dapat merangsang laki-laki.[8]
·
Karena itu,
untuk menghindari fitnah dan upaya preventif, maka syariat menjadikan masalah
imam, azan dan iqamat untuk laki-laki. Posisi saf shalat perempuan di belakang
saf laki-laki dan menjadikan saf paling utama laki-laki di depan dan bagi
perempuan paling belakang.[9]
· Walhasil,
selain akan menambah gharâbah (asing) dan nakarah (ketidakpastian), juga akan
menambah sulit pemahaman fikih Hadits . Landasan mereka mengenai dibolehkannya
imam perempuan adalah Hadits riwayat
Ummi Waraqah yang berbunyi:
عن أم ورقة بنت عبد الله بن نوفل الأنصارية أن النبي صلى الله عليه وسلم لما غزا بدرا قالت قلت له يا رسول الله ائذن لي في الغزو معك أمرض مرضاكم لعل الله أن يرزقني شهادة قال قري في بيتك فإن الله تعالى يرزقك الشهادة قال فكانت تسمى الشهيدة قال وكانت قد قرأت القرآن فاستأذنت النبي صلى الله عليه وسلم أن تتخذ في دارها مؤذنا فأذن لها قال وكانت قد دبرت غلاما لها وجارية[10]
Artinya:
Dari Ummi Waraqah binti Abdillah bin Naufal al-Anshari bahwa Nabi SAW ketika
terjadi perang Badar, ia (Ummi Waraqah) berkata, “Saya bertanya kepada
Rasulullah, Wahai Rasulullah, ijinkan aku ikut berperang bersamamu untuk
mengobati orang-orang sakit di antara kalian semua, semoga Allah memberikan
rezeki kepadaku dengan mati syahid. Bersabda (Rasulullah), Tinggallah engkau
dirumahmu. Sesungguhnya Allah akan memberikan rezeki syahid kepadamu. Kemudian
ia (Ummi Waraqah) dijuluki dengan al-Syahîdah. Ia telah hafal al-Quran, maka ia
meminta ijin kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengambil seorang muazin di
rumahnya, maka Rasulullah memberikan izin kepadanya. Dan yang berada dibelakangnya
(makmum) adalah seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan.
وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزورها في بيتها
وجعل لها مؤذنا يؤذن لها وأمرها أن تؤم أهل دارها قال عبد الرحمن فأنا رأيت مؤذنها
شيخا كبيرا11
Artinya: Rasulullah
SAW. mengunjunginya di rumahnya dan menjadikan seorang muazin untuk melantunkan
azan dan beliau memerintahkan (Ummi Waraqah) untuk menjadi imam (shalat) ahli
keluarganya. Abdurrahman berkata, Saya melihat tukang azannya seseorang yang
sudah lanjut usia.
Artinya,
siapakah yang menjadi makmumnya Ummu Waraqah? Apalah laki-laki yang sudah masuk
usia tamyiz di antara mereka atau hanya perempuan? Jika jawabannya adalah ada ghulâm
(budak laki-laki), maka tidak ada masalah fikih yang sekarang diperselisihkan.
Perempuan boleh mengimami budak laki-laki.[12]
· Kata Muazin
di sini, apakah berarti tukang azan, atau pemberi izin (seperti satpam)
sebagaimana dimaksud dalam cerita Nabi Yusuf di al-Quran (QS: Yûsuf: 70). Jika
berati tukang azan (bilal), untuk keperluan apa bilal? Toh shalat yang
diizinkan diimami Ummu Waraqah hanya sebatas lingkungan rumahnya. Jika
diartikan pemberi izin (satpam), maka apakah waktu shalat beliau ikut shalat
berjamaah atau tidak? Bukankah suatu yang mungkin, ketika shalat dia tidak ikut
karena bertugas menjaga pintu?[13]
·
Semua
kemungkinan tersebut tetap ada, meski ada lemahnya. Artinya, menggunakan dalil
pembolehan dan tidaknya dengan menggunakan kedua hadits ini, sama-sama lemah. Lantas, adakah dalil
yang lebih kuat? Jawabannya ada dan banyak, yaitu Amaliah Rasulullah SAW dan
Khulafaurasyidin.
· Sejarah
Rasulullah SAW. dan Khulafaurasyidin tidak mencatat sama sekali berdirinya
Aisyah sebagai salah satu perempuan terpantas untuk dijadikan imam sebagai imam
di masjid dengan makmum laki-laki, apalagi menjadi khatib shalat Jumat.
Padahal, jika mau dibandingkan dengan taraf kedudukan Aisyah, maka seharusnya
beliau sudah menjadi imam dan khatib di salah satu masjid kota Madinah pada
masa-masa setelah Ali bin Abu Talib pindah ke Kufah, atau sekitar tahun 38
sampai tahun 57 H (tahun wafat Aisyah). Sebab, pada masa itu, Aisyah merupakan
tokoh utama, kedudukan sebagai Ummul Muminin dan kepakarannya yang memang
dikenal cerdas, layak dan patut dijadikan sebagai khatib dan imam shalat jumat.
Kenyataannya, al-Sunnah, al-Sirah dan buku-buku rujukan mutamad lainnya tidak
menggoreskan catatan tentang kejadian ini.[14]
·
Menurut
kaidah ilmu fikih Hadits, hadits fi’liy
lebih kuat dibanding hadits qauliy.
Riwayat ke-imam-an laki-laki yang terus menerus dalam shalat, begitu juga tidak
ada riwayat fi’liy perempuan pernah menjadi imam di Masjid Nabawi atau Masjid
al-Haram, serta Masjid-masjid lainnya di seputar kota Makkah dan Madinah,
menunjukkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam jika mamumnya laki-laki.
Kedua: Imam Thabari, Dawud, Abu Tsaur, Ibnu Arabi dan al-Muzanni mengatakan
bahwa perempuan boleh menjadi imam secara mutlak.[16] Di antara ulama
kontemporer yang membolehkan perempuan menjadi imam laki-laki adalah Dr. Ali
Jumah[17] dan Prof Dr. Thaha Jabir al-Alwani. Mereka juga menggunakan dalil manqûl
dan maqûl:
Dalil
manqûl:
Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan olah Ummi Waraqah
binti Abdillah:
عن أم ورقة بنت عبد الله بن نوفل الأنصارية أن النبي
صلى الله عليه وسلم لما غزا بدرا قالت قلت له يا رسول الله ائذن لي في الغزو معك
أمرض مرضاكم لعل الله أن يرزقني شهادة قال قري في بيتك فإن الله تعالى يرزقك
الشهادة قال فكانت تسمى الشهيدة قال وكانت قد قرأت القرآن فاستأذنت النبي صلى الله
عليه وسلم أن تتخذ في دارها مؤذنا فأذن لها قال وكانت قد دبرت غلاما لها وجارية[18]
Artinya:
Dari Ummi Waraqah binti Abdillah bin Naufal al-Anshari bahwa Nabi SAW ketika
terjadi perang Badar, ia (Ummi Waraqah) berkata, “Saya bertanya kepada
Rasulullah, Wahai Rasulullah, izinkan aku ikut berperang bersamamu untuk
mengobati orang-orang sakit di antara kalian semua, semoga Allah memberikan
rezeki kepadaku dengan mati syahid. Bersabda (Rasulullah), Tinggallah engkau
dirumahmu. Sesungguhnya Allah akan memberikan rezeki syahid kepadamu. Kemudian
ia (Ummi Waraqah) dijuluki dengan al-Syahîdah. Ia telah hafal al-Quran, maka ia
meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengambil seorang muazin di
rumahnya, maka Rasulullah memberikan izin kepadanya. Dan yang berada
dibelakangnya (makmum) adalah seorang budak laki-laki dan seorang budak
perempuan.
وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزورها في بيتها
وجعل لها مؤذنا يؤذن لها وأمرها أن تؤم أهل دارها قال عبد الرحمن فأنا رأيت مؤذنها
شيخا كبيرا19
Artinya: Rasulullah
SAW. mengunjunginya di rumahnya dan menjadikan seorang muazin untuk melantunkan
azan dan beliau memerintahkan (Ummi Waraqah) untuk menjadi imam (shalat) ahli
keluarganya. Abdurrahman berkata, Saya melihat tukang azannya seseorang yang
sudah lanjut usia.
bersambung
![Kajian: Hukum Perempuan Menjadi Imam Shalat Bagi Makmum Laki-Laki (1)](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8-n6OZbMsL2CNCo3yd0XX-gOADt-PTwq7LsVrwhGGqHFulSlikydRQrmg_liH6_uiGwBKGiVCDVKPEe-pclhc4Fq5W_BWgu3ALquo3gsZXm7-iiMGZwIDVk5cTx6smiWX9BqkWydaxUmFjNmYUq4TcZrNsl0iUQrRBTfAZjOUa6uYly77L2-VUsbj/s72-c/232742.png)
Tidak ada komentar: