Pergantian tahun merupakan salah satu tolok ukur pergantian waktu yang tidak dapat dielakkan. Waktu yang sudah bergerak tidak dapat ditahan dan diundurkan lagi. Setiap ruang waktu memilki kejadian tersendiri. Di dalam waktu terkandung jejak perjalanan manusia yang akan diputar ulang kelak di hadapan sang pencipta yakni Allah SWT
Pergantian tahun baru Islam tiga hari yang lalu (1 Muharram 1445 H/19 Juni 2023 M) telah mengingatkan kita semua untuk selalu mengevaluasi diri, perjalanan hidup kita selama satu tahun yang lalu, apakah perjalan hidup itu sudah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya? Atau masih perlu diperbaiki lagi ke depannya? Mari kita lihat jejak perjalanan hidup kita. Di samping itu penting untuk kita pahami tentang sejarah peradaban Islam 15 abab yang lalu.
Sejarah Tahun Baru.
Perayaan tahun baru adalah hari libur tertua sepanjang sejarah. Tahun baru pertama dirayakan di Babilonia kuno (sekarang di wilayah Irak) sekitar 4000 tahun yang lalu atau sekitar tahun 2000 SM. Awal musim semi adalah saat yang tepat merayakan tahun baru. Disamping semua itu, saat itu merupakan saatnya “kelahiran kembali”, saat tumbuhnya pepohonan dan tanaman. Tahun baru babilonia berlangsung selama 11 hari. Tiap hari memiliki jenis perayaan yang berbeda dan unik. Adapun tanggal 1 Januari, di lain sisi, tidak memiliki arti astronomi maupun pertanian. Jadi bagi mereka tidaklah masuk akal untuk merayakan tahun baru pada hari itu.
Setelah bangsa Babilonia, kemudian bangsa Romawi menetapkan tahun baru pada bulan Maret, tapi kemudian perhitungan kalender mereka menjadi bercampur aduk dengan kelender dari kerajaan-kerajaan lain, sehingga kemudian kalender tersebut tidak sejalan.
Hikmah Tahun Baru Islam
Allah SWT mengingatkan kepada kita akan pentingnya memperhatikan waktu, dan berapa banyak ayat-ayat yang kita di minta untuk memperhatikan betapa berharganya waktu, sampai-sampai Allah SWT pun bersumpah karenanya, seperti : Wal Fajr, wad-dhuha, wal Asr, wal laili, wan nahari, dlsb.
Dengan mengingat hakekat waktu, seorang muslim diharapkan semakin berhati-hati memanfaatkan waktu yang kita miliki saat ini. Tahun baru merupakan bagian dari waktu itu perlu direnungi untuk mendapatkan ibrah (pelajaran) dalam rangka meningkatkan pemahaman dan amal.
Diantara hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa pergantian tahun hijriyah sebagai berikut :
1.Mengingatkan Kita Akan Pentingnya Waktu.
Imam Syahid Hasan Al-Banna berkata, ”Siapa yang mengetahui arti waktu, berarti mengetahui arti kehidupan. Sebab, waktu adalah kehidupan itu sendiri.”
Dengan demikian, orang-orang yang selalu menyia-nyiakan waktu dan umurnya, adalah orang yang tidak memahami arti sebuah sehidupan.
Seorang ulama kharismatik, Dr. Yusuf Qardhawi, dalam kitabnya “Al-Waqtu fi Hayatil Muslim” menjelaskan bahwa “Ada tiga ciri di dalam waktu itu sendiri : Pertama, waktu itu cepat berlalunya. Kedua, jika waktu telah berlalu, maka tidak akan mungkin kembali lagi. Dan ketiga, waktu itu adalah harta yang paling mahal bagi orang yang beriman”.
2. Momentum Evaluasi Diri
Khalifah Umar bin Khathab menyatakan : ”Hitung-hitunglah diri kalian sebelum kalian dihitung. Timbang-timbanglah amal perbuatan kalian, sebelum kalian ditimbang. Bersiap-siaplah untuk menghadapi hari yang amat dahsyat, dimana pada hari itu segala sesuatu yang ada pada diri kalian menjadi jelas, tidak ada yang tersembunyi.”
Rasulullah SAW juga mengingatkan kepada kita bahwa semuanya kelak akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana sabda beliau :
”Tidaklah melangkah kaki seorang anak Adam di hari kiamat sebelum ditanyakan kepadanya empat perkara : (1) tentang umurnya untuk apa dihabiskan, (2) tentang masa mudanya untuk apa digunakan, (3) tentang hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan, dan (4) tentang ilmunya untuk apa dimanfaatkan.” (HR. Tirmidzi).
3. Mengantisipasi Penyesalan Dikemudian Hari
Orang yang sukses senantiasa mengingat dan memperhitungkan apakah hari ini telah dilewati dengan mendapatkan prestasi yang lebih baik dari kemarin atau tidak. Dengan demikian seorang muslim akan terus meningkatkan diri, menggunakan waktu sebaik mungkin, untuk terus menambah keberuntungan hidupnya agar tidak tertipu waktu, apalagi celaka.
Dari Ibnu ‘Abbas ‘Abbas rama, Rasulullah SAW pernah menasehati seseorang sahabat,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkanlah lima waktu sebelum lima waktu :
(1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
(2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
(3) Waktu kayamu sebelum datang waktu kefakiranmu,
(4) Waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu,
(5) Waktu Hidupmu sebelum datang waktu kematianmu.”
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadraknya 4: 341).
4. Momentum Hijrah
Hijrah berarti berpindah atau meninggalkan. Dalam makna ini, hijrah memiliki dua bentuk. Hijrah Makaniyah (fisik) dan Hijrah Ma’nawiyah. Hijrah makaniyah adalah berpindah secara fisik, dari satu tempat ke tempat lain. Adapun hijrah secara ma’nawiyah ditegaskan dalam firman Allah SWT :
“Dan berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku senantiasa berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Ankabut 26).
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
“Dan perbuatan dosa, maka dosa tinggalkanlah.” (QS. Al-Muddatsir 5)
Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang berhijrah untuk Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang berhijrah untuk dunia (untuk memperoleh keuntungan duniawi) dan untuk menikahi Wanita, maka hijrah itu untuk apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari 1)
5. Kemuliaan Bulan Muharam Setelah Ramadhan
Hasan Al-Bashri mengatakan:
Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (dzulhijah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharam. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini, sehingga tidak boleh ada sedikitpun friksi dan konflik di bulan ini. (Kitab : Lathaiful Ma’arif, Hal. 34)
6. Meninggalkan Tradisi
Menurut tradisi Jawa, Bulan Muharam (Suro) dan Dzulqa’dah (selo) adalah “bulan sial”, bulan yang tidak baik untuk mengadakan kegiatan-kegiatan sosial, misal : menikah, khitanan, selamatan, dll). Padahal menurut Islam, bulan Muharam adalah bulan yang terbaik setelah Ramadan.
7. Hikmah Kalender Hijriyah Lebih
Satu tahun Hijriyah terhitung 354 atau 355 hari, hal inilah yang menyebabkan 1 tahun kalender Hijriyah lebih pendek, dibanding dengan 1 tahun kalender Masehi yang terdiri dari 365 hingga 366 hari. Sistem penanggalan kalender Hijriyah ini lebih menguntungkan bagi kaum buruh, karena upah/ gajian perbulan yang mereka dapatkan lebih dulu dan lebih menguntungkan 11 hari kerja dari pada menggunakan tahun Masehi. Rotasi bulan ini digambarkan dalam surah Yunus ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui."
8.Mensosialisasikan tahun hijriyah
Misal :
- Dalam kegiatan undangan dicantumkan bukan hanya kalender Masehi juga kalender kalender Islami contoh : Hari Rabu, 1 Muharam 1445 H/19 Juli 2023 M
- Sosialisasi pengucapan hari Minggu dengan sebutan hari Ahad.
Selama ini Kalender Islam masih menjadi pelengkap dalam kelaender masehi, misal;memposisikan tanggal hijriyah ada di pojok kanan kecil atau dibawah Angka Kalender umum. Mestinya angka pada kalender yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan memposisikan angka hijriyah lebih besar daripada angka kalender masehi /umum.
Disamping dalam kehidupan masyarakat muslim, masih dilestarikan aktifitas jahiliyah yang seharusnya sudah tidak boleh terjadi lagi kini, dan yang akan datang, misal;
antara lain dengan merobek-robek baju dan melukai tubuh dengan pisau dan cemeti, serta mencakar-cakar wajah, sebagai bukti simpati terhadap “Tragedi Karbala”. Ini adalah tradisi lama, dimana kaum syiah memperingati Husain cucu Nabi Muhammad SAW yang di penggal kepalanya oleh suatu kaum di daerah karbala Iran.

Tidak ada komentar: