TIPOLOGI REALISASI ZAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

 TIPOLOGI REALISASI ZAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

Oleh. Ilham Ibrahim
(Editor Suara Muhammadiyah Pusat)


Prolog

Memperhatikan firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7, dalam potongan ayat

ÙƒَÙ‰ْ Ù„َا ÙŠَÙƒُونَ دُولَØ©ًۢ بَÙŠْÙ†َ ٱلْØ£َغْÙ†ِÙŠَآØ¡ِ Ù…ِنكُÙ…ْ ۚ

......Jangan sampai harta itu beredar di kalangan orang kaya diantara mereka....”

Dari firman Allah  SWT di atas sangat jelas bahwa Zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam. Perintah menunaikan zakat biasanya sering disebut di dalam al-Qur’an bergandengan dengan perintah shalat,  aqiimu al-shalaata wa aatu al-zakaata (dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat). Pelaksanaan shalat melambangkan hubungan baik seseorang dengan Tuhan, sedangkan zakat adalah lambang harmonisnya hubungan sesama manusia. Bahkan zakat dipandang sebagai realitas kebajikan sosial sekaligus keshalehan personal.

 

Sebagai konsekuensi logis dari  keislaman dan keimanan seseorang dapat dikatakan sia-sia tanpa diiringi dengan praktek berzakat. Bahkan Abu Bakar ra, pernah memerangi para pembangkang yang enggan menunaikan zakat, dan Umar bin Khatthab ra, pernah memerintahkan untuk membakar rumah orang Islam yang menolak perintah zakat. Makanya, di dalam kitab-kitab klasik, zakat dibahas begitu panjang lebar, dari syarat-syaratnya, subyek yang berzakat, sampai pihak-pihak yang dizakati. Maka ulama fiqih, menyebut zakat menduduki posisi urgen dalam pembahasan khazanah Islam.

 

Oleh sebab itulah, maka jarang sekali para ilmuwan/cendekiawan muslim yang menyelami aspek filosofis dari diperintahkannya zakat. Akibatnya, pelaksanaan zakat hanya sekadar ritus tahunan dan penggugur kewajiban semata. Padahal para ulama klasik maupun kontemporer tidak hanya mengupas aspek-aspek praktis, melainkan juga aspek filosofisnya. Dengan adanya pemahaman filosofis ini diharapkan timbul perenungan terhadap harta kekayaan yang dimiliki, sehingga keyakinan terhadap zakat sebagai satu ritual sosial begitu mengakar dalam diri seorang muslim yang memiliki sikap sosial berbagi kepda sesama.

Sebagai tambahan wawasan dan kekayaan intelektual, maka perlu kita memahami  dari sisi lain sebagaimana umunya, yaitu tipologi realisasi pokok zakat, diantaranya:

 

Aspek Teologis

Penciptaan alam semesta berawal dari ketiadaan menjadi ada” ....  Apabila Dia menetapkan dan menghendaki sesuatu, Dia cukup berfirman kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu sesuai dengan apa yang Allah kehendaki.....(QS. Al-Baqarah;2:117). Allah SWT menciptakan alam semesta ini dengan susunan yang teratur  ...... pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; Dialah pemelihara segala sesuatu. (QS. Al-An’am;6:102). Karena Allah Sang Pencipta, maka Dialah yang memiliki seluruh alam ini, .... milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, ... (QS. Al-Nisa’;4:131). Hanya saja sebagai Pemilik Alam, Allah SWT menciptakan manusia yang difungsikan sebagai khalifah di muka bumi, Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” ...... (QS. Al-Baqarah;2:30). Dalam kapasitas sebagai khalifah, manusia diberi tugas memakmurkan alam semesta ini..... Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya..... (Q.S. Hud;11:61).

 

Dalam misi memakmurkan alam dan seisinya, Allah menyediakan fasilitas yang dibutuhkan manusia untuk menjaga eksistansinya dalam kehidupan, seperti oksigen, air, ataupun tumbuh-tumbuhan  (QS. Qaf;50:7-11). Bahkan manusia diperbolehkan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada..... Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai ..... (QS. an-Nahl;16:14). Allah SWT juga memberikan karunia hujan untuk kesuburan tanah  (QS. As-Sajdah;32:27), sehingga dapat menumbuhkan buah-buahan yang dapat dimanfaatkan kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. (QS. Al-Nahl;16:69).

Manusia tidak memiliki kekuatan untuk menciptakan air, menggerakkan awan, dan membuat pohon. Manusia hanya mampu mengolah, memperdayakan, dan memanfaatkan segala fasilitas kehidupan yang telah diciptakan Allah SWT. Semua harta kekayaan yang ada di bumi merupakan milik Allah SWT, sementara kepemilikan manusia hanya bersifat nisbi (QS. Almaidah;5:120). Jadi, kepemilkan manusia dalam batas-batas menikmati dan memperdayakan harta kekayaan yang ada, bukan sebagai pemilik mutlak.

Dengan kepemilikan manusia yang hanya sebatas melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuannya (Q.S. Al-Hadid;57:7), maka konsekuensi yuridisnya adalah tidak semua harta yang dimiliki adalah miliknya secara mutlak, melainkan di dalamnya terdapat hak orang lain (QS. Al-Dzariyat;51:19). Seseorang yang mempunyai harta berlebih dalam tempo tertentu diperintahkan untuk mendermakan hartanya kepada yang berhak yaitu kaum dhuafa dan lain-lain (QS. At-Taubah;9:60). Praktek ini kemudian dikenal dengan zakat—di samping infaq dan shadaqah

Karenanya zakat (al-zakat) ditinjau dari sudut bahasa mengandung arti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji; semua digunakan dalam al-Qur’an dan Hadis. Makna tumbuh dan suci ini tidak hanya diasumsikan pada harta kekayan, lebih dari itu, juga untuk jiwa orang yang menzakatkannya. Dalam Fiqih Zakat Kontemporer yang disusun Majelis Tarjih, secara syar’i zakat berarti nama suatu ibadah wajib yang dilaksanakan dengan memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta milik sendiri kepada orang yang berhak menerimanya menurut yang ditentukan oleh syariat Islam.

 

Aspek Kemanusiaan

Zakat merupakan salah satu bentuk ibadah sosial yang berusaha mengentaskan kemiskinan umat. Dengan zakat, Islam telah menunjukkan semangat sosial dan perlindungan antara mereka yang kaya untuk memperhatikan mereka yang miskin sehingga tidak adanya ketimpangan sosial. Hal ini juga mengisyaratkan agar umat Islam menjadi manusia kaya dalam sebuah ekuilibrium yang proporsional. Tidak sampai tenggelam dalam bianglala kehidupan yang penuh pesona duniawi, sebab ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral-etis bagi si kaya kepada si miskin.

Hal tersebut secara tidak langsung merupakan kritik terhadap paham kapitalisme yang menciptakan ketimpangan yang sangat jauh antara si kaya dan si miskin. Orang kaya semakin bertambah kekayaannya. Sementara rakyat miskin semakin jauh dari sekadar memenuhi standar hidup layak. Kita mesti bersyukur dengan adanya kewajiban menunaikan zakat, sebab di dalamnya terdapat usaha penataan struktur sosial yang secara bertahap namun masif dilakukan oleh Islam.

 

Aspek Perubahan Sosial

Zakat dalam Islam tidak memandang kemiskinan sebagai sebuah sunnatullah yang berlaku pada manusia, namun juga menawarkan solusi pengentasannya. Meskipun kemiskinan sebagai realitas sosial yang tidak dapat dihilangkan secara mutlak, tetapi dengan adanya zakat dapat diatasi dan diperbaiki kualitasnya sehingga tidak menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan.

Dengan demikian, zakat dipahami sebagai bentuk keadilan distributif. Pemaknaaan dari Majelis Tarjih ini ingin meluruskan anggapan bahwa siapapun yang tidak memiliki tanggungjawab, tidak mendapatkan apa-apa. Dengan kata lain, tidak ada keadilan bagi yang tidak berkontribusi. Misalnya, kaum difabel, orang-orang lansia, atau golongan miskin yang dilemahkan oleh sistem. Teori keadilan distributif ini kemudian direvisi oleh al-Qur’an, sehingga istilah keadilan dalam Islam yang tepat adalah keadilan distributif-terkoreksi.

 

Lalu seperti apa koreksinya, hal tersebut dijelaskan dalam QS. Adz-Dzariyat;51:19, ... Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu..(QS. Al-Baqarah;2:267), QS. At-Taubah;9:34-35, dan dari beberapa hadits Nabi menerangkan bahwa dalam harta kekayaan yang kita miliki—atau tepatnya yang dititipkan Allah SWT kepada kita— ada hak kaum mustadh’afin sebesar 2,5%. Mustadh’afin adalah mereka yang bukan hanya fakir miskin alamiah, tetapi juga mereka yang menjadi korban struktural. 

Dari pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menjalani kehidupan ini tidak murni memikirkan diri sendiri, akan tetapi harus berbagi dengan yang lainya, bagaimanapun juga keberhasilan kita sesungguhnya karena adanya orang lain, wajar jika Islam menjadikan dalam hakkita ada hak orang lain sesuai ketentuan syari’at, baik ketentuan wajib berupa zakat, sunnah berupa infaq dan mubah berupa shadaqah, secara materi maupun non materi. Karna itu maka tidak ada alasan bai kaum muslimin untuk tidak ber-shadaqah dalam kehidupan  sehari-hari. Fastabiqul Khairat.



TIPOLOGI REALISASI ZAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL  TIPOLOGI REALISASI ZAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL Reviewed by sangpencerah on September 14, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar: