TIPOLOGI REALISASI ZAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Prolog
Memperhatikan firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7, dalam
potongan ayat
ÙƒَÙ‰ْ Ù„َا ÙŠَÙƒُونَ دُولَØ©ًۢ بَÙŠْÙ†َ
ٱلْØ£َغْÙ†ِÙŠَآØ¡ِ Ù…ِنكُÙ…ْ ۚ
......Jangan sampai harta itu beredar di kalangan orang kaya diantara
mereka....”
Dari firman Allah SWT di atas sangat jelas bahwa Zakat
merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam. Perintah menunaikan zakat
biasanya sering disebut di dalam al-Qur’an bergandengan dengan perintah shalat,
aqiimu al-shalaata wa aatu al-zakaata (dirikanlah
salat dan tunaikanlah zakat). Pelaksanaan shalat melambangkan hubungan baik
seseorang dengan Tuhan, sedangkan zakat adalah lambang harmonisnya hubungan
sesama manusia. Bahkan zakat dipandang sebagai realitas kebajikan sosial
sekaligus keshalehan personal.
Sebagai konsekuensi logis dari keislaman dan
keimanan seseorang dapat dikatakan sia-sia tanpa diiringi dengan praktek
berzakat. Bahkan Abu Bakar ra, pernah memerangi para pembangkang yang enggan
menunaikan zakat, dan Umar bin Khatthab ra, pernah memerintahkan untuk
membakar rumah orang Islam yang menolak perintah zakat. Makanya, di dalam
kitab-kitab klasik, zakat dibahas begitu panjang lebar, dari syarat-syaratnya,
subyek yang berzakat, sampai pihak-pihak yang dizakati. Maka ulama fiqih, menyebut zakat menduduki posisi urgen dalam pembahasan khazanah Islam.
Oleh sebab itulah, maka jarang
sekali para
ilmuwan/cendekiawan muslim yang
menyelami aspek filosofis dari diperintahkannya zakat. Akibatnya, pelaksanaan
zakat hanya sekadar ritus tahunan dan penggugur kewajiban semata. Padahal para
ulama klasik maupun kontemporer tidak hanya mengupas aspek-aspek praktis,
melainkan juga aspek filosofisnya. Dengan adanya pemahaman filosofis ini
diharapkan timbul perenungan terhadap harta kekayaan yang dimiliki, sehingga
keyakinan terhadap zakat sebagai satu ritual sosial begitu mengakar dalam diri
seorang muslim yang memiliki sikap
sosial berbagi kepda sesama.
Sebagai tambahan wawasan dan
kekayaan intelektual, maka perlu kita memahami
dari sisi lain sebagaimana umunya, yaitu tipologi realisasi pokok zakat,
diantaranya:
Aspek Teologis
Penciptaan alam semesta berawal dari ketiadaan
menjadi ada” .... Apabila
Dia menetapkan dan menghendaki sesuatu, Dia cukup berfirman kepadanya,
“Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu sesuai dengan apa yang Allah kehendaki.....(QS. Al-Baqarah;2:117). Allah SWT menciptakan
alam semesta ini dengan susunan yang teratur ...... pencipta segala sesuatu, maka
sembahlah Dia; Dialah pemelihara segala sesuatu. (QS. Al-An’am;6:102). Karena
Allah Sang Pencipta, maka Dialah yang memiliki seluruh alam ini, .... milik Allah-lah apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi, ... (QS. Al-Nisa’;4:131). Hanya saja
sebagai Pemilik Alam, Allah SWT menciptakan manusia yang difungsikan sebagai
khalifah di muka bumi, Dan (ingatlah)
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah
di bumi.” ...... (QS. Al-Baqarah;2:30). Dalam
kapasitas sebagai khalifah, manusia diberi tugas memakmurkan alam semesta ini..... Dia telah
menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya..... (Q.S. Hud;11:61).
Dalam misi memakmurkan alam dan seisinya, Allah menyediakan
fasilitas yang dibutuhkan manusia untuk menjaga eksistansinya dalam kehidupan,
seperti oksigen, air, ataupun tumbuh-tumbuhan (QS.
Qaf;50:7-11). Bahkan
manusia diperbolehkan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada..... Dan Dialah yang menundukkan lautan
(untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari
lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai ..... (QS. an-Nahl;16:14). Allah SWT
juga memberikan karunia hujan untuk kesuburan tanah (QS.
As-Sajdah;32:27),
sehingga dapat menumbuhkan buah-buahan yang dapat dimanfaatkan kemudian makanlah
dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah
dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi
manusia. (QS. Al-Nahl;16:69).
Manusia tidak memiliki kekuatan untuk menciptakan
air, menggerakkan awan, dan membuat pohon. Manusia hanya mampu mengolah,
memperdayakan, dan memanfaatkan segala fasilitas kehidupan yang telah
diciptakan Allah SWT. Semua harta kekayaan yang ada di bumi merupakan milik
Allah SWT, sementara kepemilikan manusia hanya bersifat nisbi (QS. Almaidah;5:120).
Jadi, kepemilkan manusia dalam batas-batas menikmati dan memperdayakan harta
kekayaan yang ada, bukan sebagai pemilik mutlak.
Dengan kepemilikan manusia yang hanya sebatas
melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuannya (Q.S.
Al-Hadid;57:7), maka
konsekuensi yuridisnya adalah tidak semua harta yang dimiliki adalah miliknya
secara mutlak, melainkan di dalamnya terdapat hak orang lain (QS.
Al-Dzariyat;51:19). Seseorang
yang mempunyai harta berlebih dalam tempo tertentu diperintahkan untuk
mendermakan hartanya kepada yang berhak yaitu kaum dhuafa dan lain-lain (QS.
At-Taubah;9:60). Praktek
ini kemudian dikenal dengan zakat—di samping infaq dan shadaqah
Karenanya zakat (al-zakat) ditinjau dari sudut bahasa
mengandung arti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji; semua digunakan dalam
al-Qur’an dan Hadis. Makna tumbuh dan suci ini tidak hanya diasumsikan pada
harta kekayan, lebih dari itu, juga untuk jiwa orang yang menzakatkannya.
Dalam Fiqih Zakat
Kontemporer yang disusun Majelis Tarjih, secara
syar’i zakat berarti nama suatu ibadah wajib yang
dilaksanakan dengan memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta milik sendiri
kepada orang yang berhak menerimanya menurut yang ditentukan oleh syariat
Islam.
Aspek Kemanusiaan
Zakat merupakan salah satu bentuk ibadah sosial yang berusaha
mengentaskan kemiskinan umat. Dengan zakat, Islam telah menunjukkan semangat
sosial dan perlindungan antara mereka yang kaya untuk memperhatikan mereka yang
miskin sehingga tidak adanya ketimpangan sosial. Hal ini juga mengisyaratkan
agar umat Islam menjadi manusia kaya dalam sebuah ekuilibrium yang proporsional. Tidak
sampai tenggelam dalam bianglala kehidupan yang penuh pesona duniawi, sebab
ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral-etis bagi si kaya kepada si miskin.
Hal tersebut secara tidak langsung merupakan kritik
terhadap paham kapitalisme yang menciptakan ketimpangan yang sangat jauh antara
si kaya dan si miskin. Orang kaya semakin bertambah kekayaannya. Sementara
rakyat miskin semakin jauh dari sekadar memenuhi standar hidup layak. Kita
mesti bersyukur dengan adanya kewajiban menunaikan zakat, sebab di dalamnya
terdapat usaha penataan struktur sosial yang secara bertahap namun masif
dilakukan oleh Islam.
Aspek Perubahan Sosial
Zakat dalam Islam tidak memandang kemiskinan sebagai
sebuah sunnatullah yang berlaku pada manusia, namun juga menawarkan solusi
pengentasannya. Meskipun kemiskinan sebagai realitas sosial yang tidak dapat
dihilangkan secara mutlak, tetapi dengan adanya zakat dapat diatasi dan
diperbaiki kualitasnya sehingga tidak menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan.
Dengan demikian, zakat dipahami sebagai bentuk
keadilan distributif. Pemaknaaan dari Majelis Tarjih ini ingin meluruskan
anggapan bahwa siapapun yang tidak memiliki tanggungjawab, tidak mendapatkan
apa-apa. Dengan kata lain, tidak ada keadilan bagi yang tidak berkontribusi.
Misalnya, kaum difabel, orang-orang lansia, atau golongan miskin yang
dilemahkan oleh sistem. Teori keadilan distributif ini kemudian direvisi oleh
al-Qur’an, sehingga istilah keadilan dalam Islam yang tepat adalah keadilan
distributif-terkoreksi.
Lalu seperti apa koreksinya, hal tersebut dijelaskan
dalam QS. Adz-Dzariyat;51:19, ... Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu..(QS. Al-Baqarah;2:267), QS. At-Taubah;9:34-35, dan dari beberapa hadits Nabi
menerangkan bahwa dalam harta kekayaan yang kita miliki—atau tepatnya yang
dititipkan Allah SWT kepada kita— ada hak kaum mustadh’afin sebesar 2,5%.
Mustadh’afin adalah mereka yang bukan hanya fakir miskin
alamiah, tetapi juga mereka yang menjadi korban struktural.
Dari pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
menjalani kehidupan ini tidak murni memikirkan diri sendiri, akan tetapi harus
berbagi dengan yang lainya, bagaimanapun juga keberhasilan kita sesungguhnya
karena adanya orang lain, wajar jika Islam menjadikan dalam hakkita ada hak
orang lain sesuai ketentuan syari’at, baik ketentuan wajib berupa zakat, sunnah
berupa infaq dan mubah berupa shadaqah, secara materi maupun non materi. Karna
itu maka tidak ada alasan bai kaum muslimin untuk tidak ber-shadaqah dalam
kehidupan sehari-hari. Fastabiqul
Khairat.
![TIPOLOGI REALISASI ZAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghzz0MIpqJAJBHuooQms5xG6r1mQuR4eQvkAfjW5d4JNhX9buQ_lDNNRklGVzUWBp1iOcJHzEqlnXVIfB2Pef0Zw6w5Zl_ZmrYV0DBiSmnOVTGaNMPRfz5_ztX6JOnLGdpcTsqtISQVjx_PO8mOuTztjBprl9Tpr_jER39puKzKN9sNqXhiJt67W7-hJA/s72-c/201942.png)
Tidak ada komentar: