ZAKAT: DIMENSI ISLAM BERKEMAJUAN

 ZAKAT: DIMENSI ISLAM BERKEMAJUAN
Oleh. Prof. Hilman Latief, PhD
Dirjen PHU Kemenag RI

 

Membahas persoalan zakat di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, sedikit menyedihkan dan prihatin, karena selama ini belum rasio antara jumlah wajib zakat dengan perolehan yang direncanakan, dan seperti diperlukan edukasi dan kesadaran diri bahwa dalam harta kita terdapat hak orang lain yang harus diberikan. QS. Adz-Dzariyat;51:19. Secara umum hal ini menjadi tanggungjawab kaum muslimin untuk mengedukasi saudara-saudara kita akan kewajiban sebagai muslim beriman dan setia serta loyal terhadap keberagamaan kita. Lalu bagaimana dengan lembaga atau organisasi yang ada di Indonesia? Misalnya NU dan Muhammadiyah dimana Muhammadiyah dengan jargonnya RIB (Risalah Islam Berkemajuan), kita akan segera melihat fokus dari rumusan ini adalah bahwa Muhammadiyah perlu kembali meneguhkan posisinya sebagai gerakan Islam yang berwatak tajdid.

 

Jika kita mau jujur bahwa RIB dalam konteks gerakan filantropi, seharusnya memiliki konsep dasar dan alam pikiran yang perlu diadopsi oleh warga Persyarikatan adalah memperkuat paradigma model gerakan dakwah, gerakan tajdid, gerakan ilmu, dan gerakan amal.

 

Gerakan filantropi yang selama ini dilakukan oleh Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dan merupakan bagian dari kiprah dakwah yang memerlukan tajdid. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas kita untuk menerjemahkan konsep-konsep keislaman yang mampu mendorong dan memfasilitasi umat Islam, warga Persyarikatan, dan masyarakat umum untuk dapat menunaikan kewajiban-kewajiban mereka khususnya dalam berzakat, berinfaq dan bershadaqah.

 

Selanjutnya, dalam upaya untuk melakukan tajdid di bidang dakwah-filantropi ini, maka persyarikatan perlu mempertajam apa saja yang menjadi prioritasnya dan metode penyelenggaraan yang fresh sesuai perkembangan zaman.

 

Maka kita perlu bertanya, apakah dalam 100 tahun lebih ini gerakan dakwah yang dilakukan Muhammadiyah sudah mengalami lompatan-lompatan baru menuju abad kedua atau belum? Contoh yang paling sederhana dan sering dipertanyakan adalah terkait dengan penguasaan teknologi. seberapa jauh kita memanfaatkan teknologi untuk mempercanggih gerakan dakwah kita?

Lompatan-lompatan yang baru dalam bidang dakwah tentu diikuti oleh pertanyaan mendasar: siapa entitas yang menjadi prioritas dalam gerakan dakwah Persyarikatan? Apa kita akan mendakwahi warga sendiri, ataukah kita sudah harus keluar, mendiseminasi gerakan bukan hanya pada orang dalam, bukan hanya mendakwahi orang Persyarikatan (internal), tapi juga bagaimana kita bisa diterima di luar, dan bahkan secara internasional.

 

Kita perlu menguji apakah pandangan-pandangan keislaman yang kita gaungkan ini bisa diterima oleh kalangan luar atau tidak. Apakah konsep-konsep seperti Tasamuh (keluasan pemikiran dan wawasan) dan Tawasuth (moderat) bisa diterima oleh orang lain atau belum tersampaikan dengan optimal. Maka, perlu adanya rumusan strategis pemikiran keislaman apa yang akan disampaikan oleh Persyarikatan ke publik secara luas. Apa narasinya, bagaimana metode menyampaikan narasi itu, dan siapa yang melakukan serta merasakan dampaknya.

Salah satu lahan dakwah persyarikatan adalah Lazismu dan Tantangannya, karena banyak orang di kalangan persyarikatan perlu menyadari bahwa tanpa adanya tajdid di bidang fiqih, maka gerakan filantropi tidak akan bisa berkembang. Lazismu dengan segala program-program filantropi kita tidak akan bisa bertransformasi tanpa diimbangi oleh tajdid dalam pemikiran keislaman. terutama yang akan melandasi dan memperkuat misi gerakan filantropi Muhammadiyah.

 

Persoalan kita hari ini dan yang akan datang sudah jelas adalah tajdid dalam pemikiran keislaman. Pimpinan, kader, aktivis, dan jamaah serta warga persyarikatan tidak boleh berpuas diri atas pencapaian-pencapaian tajdid di masa lalu. Maisalnya kita dulu berjaya dalam tajdid dan tata cara shalat dan ibadah, maka hari ini kita seharusnya bisa melakukan lompatan baru yang mencerahkan.

 

Sudah sering kita lakukan dalam kehidupan ini  bahwa tajdid dalam pemikiran keislaman yang diharapkan dapat memperkuat posisi lazismu, akan tetapi masih sangat kurang maksimal, Lebih-lebih kalau kita berbicara tentang waqaf dan haji, lebih sedikit lagi produk-produk pemikiran keislaman yang dapat kita gunakan untuk mengulas dan menjawab tantangan di sektor ini. Mungkin banyak orang di persyarikatan yang tidak menyadari bahwa dampak kurangnya produk-produk pemikiran keislaman dalam bidang filantropi tidak sepele, dan sangat terkait dengan masa depan eksistensi organisasi selama abad kedua ini

 

Tajdid yang dimaksud di sini tidak hanya mencakup fiqih untuk menjawab persoalan ibadah, tapi juga berkaitan dengan kemaslahatan dan kebutuhan publik. Misalnya terkait dengan perbaikan infrastruktur sosial, budaya, dan tentu juga infrastruktur fisik. Apakah pemikiran keislaman dan fiqih di persyarikatan sudah menyentuh tantangan dalam optimalisasi Lazismu? Jika belum, maka di mana letak watak tajdid yang sering kita gaungkan itu? Sederhananya, apakah sudah ada perintah eksplisit berupa fatwa dari Majelis Tarjih bahwa warga Persyarikatan wajib berzakat melalui Lazismu?

Jika kita mencermati perkembangan pemikiran keislaman yang sudah ada di persyarikatan mulai dari Al-Amwal fil Islam tahun 1976, kemudian juga hasil Munas Tarjih yang terbaru, sangat sedikit isu filantropi dan isu kesejahteraan. Lebih langka lagi adalah tentang haji. Kenyataan ini perlu kita sadari bersama, apalagi elemen-elemen Islam lainnya tengah berbenah dengan semangat tajdid tentunya. Misal; wahabi Saudi yang berupaya melakukan lompatan-lompatan baru.

 

Kenyataan ini juga mencerminkan bahwa kita sebagai penggerak persyarikatan di abad kedua ini kurang akseleratif. Kita butuh produk ketarjihan yang artikulatif dalam bidang sosial, kesejahteraan, dan filantropi. Tugas kita hari ini adalah merumuskan produk regulasi, peraturan, dan pedoman yang relevan untuk mendorong optimalisasi warga Persyarikatan wajib berzakat melalui Lazismu.

 

Jika kita ingin mengadopsi watak tajdid untuk meneguhkan Risalah Islam Berkemajuan (RIB) ke dalam Lazismu, maka kita membutuhkan satu kekuatan yang akseleratif di dalam memproduksi panduan-panduan dan konsep-konsep tentang filantropi di persyarikatan. Kekuatan akseleratif itu dibutuhkan karena produk-produk hukum keagamaan bersifat dinamis. contoh mengakselerasi tajdid. Kita membutuhkan keberanian dalam mengeksekusi ide-ide yang telah kita ukur dan pertimbangkan menjadi sangat penting bagi keberlangsungan lembaga. Selain ada kekurangan dalam perkembangan pemikiran keislaman, Lazismu harus berkiprah di ranah internasional sebagai wujud mengakselerasi filantropi yang berwatak tajdid.

 

Bagaimana memulai bidang ini, tentunya dengan keilmuan yang mumpuni, maka perlu melakukan akselerasi tajdid untuk mengatasi tantangan yang ada. Prospek dan keberhasilan akselerasi ini sangat bergantung pada proses pengilmuan gerakan. keyakinan semacam ini sebenarnya ada sejak dulu, bahwa gerakan filantropi tidak bisa dilepaskan dari gerakan keilmuan.

 

Pengilmuan gerakan dilakukan selain dengan memperkuat basis pemikiran keislaman, tapi juga dengan konsep dan isu-isu lain. Kemudian ada krisis lingkungan hidup, air bersih, pendidikan inklusif, dan kesehatan. Muhammadiyah sebetulnya sudah menjadi pionir dalam beberapa isu ini.

Namun pertanyaannya, apakah kepioniran itu sudah menjadi bagian dari filantropinya atau belum. Kita belum bisa membuat rumusan yang membedakan antara usaha-bisnis dan filantropi. Apakah rumah sakit kita misalnya adalah wujud bisnis atau filantropi? Saya tidak mengatakan bahwa filantropi lebih mulia daripada bisnis, atau sebaliknya. Pertanyaan utama saya adalah di bagian mana kita filantropi?

 

Jawaban atas pertanyaan ini berimplikasi sangat besar pada bentuk dan dampak pengilmuan gerakan filantropi. Sebagai contoh, dalam isu kesehatan, pengilmuan gerakan ini tidak hanya akan menghasilkan infrastruktur bangunan rumah sakit yang bekerja untuk menyembuhkan pasien. Tapi, dapat menjadi pusat pengembangan kesehatan masyarakat dan pencegahan penyakit, serta program pemberdayaan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan higienis masyarakat. Maka, pengilmuan gerakan ini akan menggeser fokus, bentuk, dan dampak yang diharapkan. tanggung jawab pengilmuan gerakan ini menjadi tanggung jawab Persyarikatan, termasuk Majelis-majelis dan Lembaga-lembaganya.

 

Bagaimana kita bisa mengelolanya, tentu dengan kecermatan dalam melakukan sebuah pengelolaan, karena ujung dan pangkal dari semua tantangan yang telah diterangkan di atas adalah manajemen, mencakup rumusan-rumusan manajerial, sistem, dan ekosistem yang hendak dibangun, metode, strategi, dan inovasi. Semuanya saling terkait. kekuatan-kekuatan yang dimiliki persyarikatan berupa aset wakaf misalnya, tidak akan optimal tanpa sistem tata kelola yang baik sejalan dengan watak zaman.

 

Bisakah kita mengarahkan gerakan filantropi kita untuk menjawab masalah ketahanan dan keamanan pangan (food security), pemanasan global, pemberdayaan berbasis kawasan, dan lain sebagainya? Sekali lagi, jawaban-jawaban atas masalah ini bergantung pada sikap terhadap agenda pengilmuan gerakan dan mendukungnya dengan sistem tata kelola yang baik.

Letak penting kajian ini adalah menguak satu dari sekian kemungkinan dalam mengimplementasikan RIB dalam kerangka tata kelola modern. Memang sudah saatnya kita mentransformasikan doktrin-doktrin keagamaan dan rumusan pemikiran ideologis-organisatoris ke dalam paradigma, pendekatan, strategi, dan isu yang lebih fresh. Di sini pulalah watak tajdid yang berkemajuan itu dapat kita rasakan.

Referensi: Tulisan ini disarikan dari lazismujatim



ZAKAT: DIMENSI ISLAM BERKEMAJUAN  ZAKAT: DIMENSI ISLAM BERKEMAJUAN Reviewed by sangpencerah on September 21, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar: