Membahas
persoalan zakat di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, sedikit menyedihkan
dan prihatin, karena selama ini belum rasio antara jumlah wajib zakat dengan
perolehan yang direncanakan, dan seperti diperlukan edukasi dan kesadaran diri bahwa dalam harta kita terdapat hak orang
lain yang harus diberikan. QS. Adz-Dzariyat;51:19. Secara umum hal ini menjadi
tanggungjawab kaum muslimin untuk mengedukasi saudara-saudara kita akan
kewajiban sebagai muslim beriman dan setia serta loyal terhadap keberagamaan
kita. Lalu bagaimana dengan lembaga atau organisasi yang ada di Indonesia?
Misalnya NU dan Muhammadiyah dimana Muhammadiyah dengan jargonnya RIB (Risalah
Islam Berkemajuan), kita akan segera melihat fokus dari rumusan ini adalah
bahwa Muhammadiyah perlu kembali meneguhkan posisinya sebagai gerakan Islam
yang berwatak tajdid.
Jika kita mau
jujur bahwa RIB dalam konteks gerakan filantropi, seharusnya memiliki konsep
dasar dan alam pikiran yang perlu diadopsi oleh warga Persyarikatan adalah
memperkuat paradigma model gerakan dakwah, gerakan tajdid, gerakan ilmu, dan
gerakan amal.
Gerakan filantropi yang selama ini
dilakukan oleh Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dan merupakan bagian dari
kiprah dakwah yang memerlukan tajdid. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas kita
untuk menerjemahkan konsep-konsep keislaman yang mampu mendorong dan
memfasilitasi umat Islam, warga Persyarikatan, dan masyarakat umum untuk dapat
menunaikan kewajiban-kewajiban mereka khususnya dalam berzakat, berinfaq dan bershadaqah.
Selanjutnya, dalam upaya untuk
melakukan tajdid di bidang dakwah-filantropi ini, maka persyarikatan perlu mempertajam apa saja yang
menjadi prioritasnya dan metode penyelenggaraan yang fresh sesuai perkembangan
zaman.
Maka kita perlu bertanya, apakah
dalam 100 tahun lebih ini gerakan dakwah yang dilakukan
Muhammadiyah sudah mengalami lompatan-lompatan baru menuju abad kedua atau
belum? Contoh yang paling sederhana dan sering
dipertanyakan adalah terkait dengan penguasaan teknologi. seberapa jauh kita
memanfaatkan teknologi untuk mempercanggih gerakan dakwah kita?
Lompatan-lompatan yang baru dalam
bidang dakwah tentu diikuti oleh pertanyaan mendasar: siapa entitas yang
menjadi prioritas dalam gerakan dakwah Persyarikatan? Apa kita akan mendakwahi
warga sendiri, ataukah kita sudah harus keluar, mendiseminasi gerakan bukan
hanya pada orang dalam, bukan hanya mendakwahi orang Persyarikatan (internal), tapi juga bagaimana kita bisa diterima di luar, dan bahkan
secara internasional.
Kita perlu menguji apakah
pandangan-pandangan keislaman yang kita gaungkan ini bisa diterima oleh
kalangan luar atau tidak. Apakah konsep-konsep seperti Tasamuh (keluasan
pemikiran dan wawasan) dan Tawasuth (moderat) bisa diterima oleh orang
lain atau belum tersampaikan dengan optimal. Maka, perlu adanya rumusan strategis pemikiran keislaman apa yang akan
disampaikan oleh Persyarikatan ke publik secara luas. Apa
narasinya, bagaimana metode menyampaikan narasi itu, dan siapa yang melakukan
serta merasakan dampaknya.
Salah satu
lahan dakwah persyarikatan adalah Lazismu dan Tantangannya, karena
banyak orang di kalangan persyarikatan
perlu menyadari bahwa tanpa adanya tajdid di bidang fiqih, maka gerakan filantropi tidak akan bisa berkembang. Lazismu dengan segala program-program
filantropi kita tidak akan bisa bertransformasi tanpa diimbangi oleh tajdid
dalam pemikiran keislaman. terutama yang akan melandasi dan memperkuat misi
gerakan filantropi Muhammadiyah.
Persoalan kita hari ini dan yang akan datang sudah jelas adalah tajdid dalam
pemikiran keislaman. Pimpinan, kader, aktivis, dan jamaah serta warga persyarikatan tidak boleh berpuas diri atas pencapaian-pencapaian tajdid
di masa lalu. Maisalnya kita dulu berjaya dalam tajdid dan tata cara shalat
dan ibadah, maka hari ini kita seharusnya bisa melakukan lompatan baru yang mencerahkan.
Sudah sering kita lakukan dalam kehidupan ini bahwa tajdid dalam pemikiran keislaman yang
diharapkan dapat memperkuat posisi lazismu, akan tetapi masih sangat kurang maksimal,
Lebih-lebih kalau kita berbicara tentang waqaf dan haji, lebih sedikit lagi produk-produk pemikiran
keislaman yang dapat kita gunakan untuk mengulas dan menjawab tantangan di
sektor ini. Mungkin banyak orang di persyarikatan yang tidak menyadari bahwa
dampak kurangnya produk-produk pemikiran keislaman dalam bidang filantropi
tidak sepele, dan sangat terkait dengan masa depan eksistensi organisasi selama abad kedua ini
Tajdid yang dimaksud di sini tidak hanya mencakup
fiqih untuk menjawab persoalan ibadah,
tapi juga berkaitan dengan kemaslahatan dan kebutuhan publik. Misalnya terkait
dengan perbaikan infrastruktur sosial, budaya, dan tentu juga infrastruktur
fisik. Apakah pemikiran keislaman dan fiqih
di persyarikatan sudah menyentuh tantangan dalam
optimalisasi Lazismu? Jika belum, maka di mana letak
watak tajdid yang sering kita gaungkan itu? Sederhananya, apakah sudah ada
perintah eksplisit berupa fatwa dari Majelis Tarjih bahwa warga Persyarikatan wajib berzakat melalui Lazismu?
Jika kita mencermati perkembangan
pemikiran keislaman yang sudah ada di persyarikatan
mulai dari Al-Amwal fil Islam tahun 1976, kemudian juga hasil Munas Tarjih yang
terbaru, sangat sedikit isu filantropi dan isu kesejahteraan. Lebih langka lagi
adalah tentang haji. Kenyataan ini perlu kita sadari bersama, apalagi
elemen-elemen Islam lainnya tengah berbenah dengan semangat tajdid tentunya. Misal;
wahabi Saudi yang berupaya melakukan lompatan-lompatan baru.
Kenyataan ini juga mencerminkan
bahwa kita sebagai penggerak persyarikatan di
abad kedua ini kurang akseleratif. Kita butuh produk ketarjihan yang
artikulatif dalam bidang sosial, kesejahteraan, dan filantropi. Tugas kita hari
ini adalah merumuskan produk regulasi, peraturan, dan pedoman yang relevan
untuk mendorong optimalisasi warga Persyarikatan wajib berzakat melalui Lazismu.
Jika kita ingin
mengadopsi watak tajdid untuk meneguhkan Risalah Islam Berkemajuan (RIB) ke
dalam Lazismu, maka kita membutuhkan satu kekuatan yang akseleratif di dalam
memproduksi panduan-panduan dan konsep-konsep tentang filantropi di
persyarikatan. Kekuatan
akseleratif itu dibutuhkan karena produk-produk hukum keagamaan bersifat
dinamis. contoh mengakselerasi tajdid. Kita membutuhkan keberanian dalam
mengeksekusi ide-ide yang telah kita ukur dan pertimbangkan menjadi sangat
penting bagi keberlangsungan lembaga. Selain ada kekurangan dalam perkembangan pemikiran keislaman, Lazismu harus
berkiprah di ranah internasional sebagai wujud mengakselerasi filantropi yang
berwatak tajdid.
Bagaimana
memulai bidang ini, tentunya dengan keilmuan yang mumpuni, maka perlu melakukan akselerasi tajdid
untuk mengatasi tantangan yang ada. Prospek dan keberhasilan akselerasi ini
sangat bergantung pada proses pengilmuan gerakan. keyakinan semacam ini sebenarnya ada sejak dulu,
bahwa gerakan filantropi tidak bisa dilepaskan
dari gerakan keilmuan.
Pengilmuan gerakan dilakukan selain
dengan memperkuat basis pemikiran keislaman, tapi juga dengan konsep dan isu-isu
lain. Kemudian ada krisis lingkungan hidup, air bersih, pendidikan inklusif,
dan kesehatan. Muhammadiyah sebetulnya sudah menjadi pionir dalam beberapa isu
ini.
Namun pertanyaannya, apakah
kepioniran itu sudah menjadi bagian dari filantropinya atau belum. Kita belum
bisa membuat rumusan yang membedakan antara usaha-bisnis dan filantropi. Apakah
rumah sakit kita misalnya adalah wujud bisnis atau filantropi? Saya tidak
mengatakan bahwa filantropi lebih mulia daripada bisnis, atau sebaliknya.
Pertanyaan utama saya adalah di bagian mana kita filantropi?
Jawaban atas pertanyaan ini
berimplikasi sangat besar pada bentuk dan dampak pengilmuan gerakan filantropi.
Sebagai contoh, dalam isu kesehatan, pengilmuan gerakan ini tidak hanya akan
menghasilkan infrastruktur bangunan rumah sakit yang bekerja untuk menyembuhkan
pasien. Tapi, dapat menjadi pusat pengembangan kesehatan masyarakat dan
pencegahan penyakit, serta program pemberdayaan sosial yang bertujuan untuk
meningkatkan taraf kehidupan higienis masyarakat. Maka, pengilmuan gerakan
ini akan menggeser fokus, bentuk, dan dampak yang diharapkan. tanggung jawab
pengilmuan gerakan ini menjadi tanggung jawab Persyarikatan, termasuk Majelis-majelis dan Lembaga-lembaganya.
Bagaimana kita
bisa mengelolanya, tentu dengan kecermatan dalam melakukan sebuah pengelolaan,
karena ujung dan pangkal dari semua tantangan yang telah diterangkan di atas
adalah manajemen, mencakup rumusan-rumusan manajerial, sistem, dan ekosistem
yang hendak dibangun, metode, strategi, dan inovasi. Semuanya saling terkait. kekuatan-kekuatan yang dimiliki persyarikatan berupa aset wakaf misalnya, tidak akan optimal tanpa sistem
tata kelola yang baik sejalan dengan watak zaman.
Bisakah kita mengarahkan gerakan
filantropi kita untuk menjawab masalah ketahanan dan keamanan pangan (food
security), pemanasan global, pemberdayaan berbasis kawasan, dan lain
sebagainya? Sekali lagi, jawaban-jawaban atas masalah ini bergantung pada sikap
terhadap agenda pengilmuan gerakan dan mendukungnya dengan sistem tata kelola
yang baik.
Letak penting kajian ini adalah
menguak satu dari sekian kemungkinan dalam mengimplementasikan RIB dalam
kerangka tata kelola modern. Memang sudah saatnya kita mentransformasikan
doktrin-doktrin keagamaan dan rumusan pemikiran ideologis-organisatoris ke dalam
paradigma, pendekatan, strategi, dan isu yang lebih fresh. Di sini pulalah
watak tajdid yang berkemajuan itu dapat kita rasakan.
Referensi: Tulisan ini disarikan dari lazismujatim
![ZAKAT: DIMENSI ISLAM BERKEMAJUAN](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0iQX-C9Ym-WAh2M6G9F3stitNZ5VWQjBQxqIX11KJQVCXD05WmRrzlOfUtJ3ZnWVo9OyByk2RmzicFt9irGhhN-0i3SkgGc-OsSFjHsXYFNGjimtOF9FsRqqF5oMqrz_51L0dqrOmzILYpHKKr-HWVBEGsF2tkc96SCAmD6uyYmCz0ANavxETP5KTNV4/s72-c/221932.png)
Tidak ada komentar: