PROLOG
Muhammadiyah merupakan Organisasi keagmaaan yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ketika umat Islam dan masyarakat
Indonesia berada dalam keadaan terhimpit, dimana Islam-hampir di seluruh dunia
berada di bawah belenggu cengkraman penjajah dan kebekuan pemikiran keagamaan
hingga mudah dijumpai keadaan umat Islam di sana-sini seperti kebodohan,
keterbelakangan, dan kemiskinan. Muhammadiyah merupakan gerakan pembaruan yang
bergerak dalam bidang sosial keagamaan. Berdasarkan hal tersebut KH. Ahmad
Dahlan melalui Muhammadiyah telah berjuang untuk membebaskan masyarakat dari keadaan
dan kondisi tersebut dengan menjalankan Muhammadiyah menggunakan konsep teologi
al-Ma’un. Memasuki abad kedua Muhammadiyah, konsep teologi al-Ma’un
tidak kuasa lagi menghadapi perubahan zaman yang modern ini, oleh karena itu
pemaknaan ulang diperlukan dan butuh konsep baru yang dapat membantu konsep
teologi al-Ma’un dan bantuan konsep baru yang digagasnya, yaitu konsep
teologi al-‘Ashr. Kedua konsep teologi tersebut terbentuk berdasarkan
latar belakang pendidikannya ketika beliau pergi haji ke Mekkah, dan kondisi
masyarakat Indonesia. Implementasi konsep teologi al-Ma’un pada masa KH.
Ahmad Dahlan seringkali diterjemahkan melalui tiga pilar kerja yaitu healing
(pelayanan kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan
sosial). Konsep teologi al-Ma’un dan al-’Ashr, agar
maksud dan tujuan berdirinya Muhammadiyah tetap terjaga meskipun banyaknya
tantangan yang harus dihadapi pada era ini dan yang akan datang, terutama
terkait program bidang pemberdayaan anggota
dan kader, program bidang tarjih, tajdid, dan rogram dakwah sebagai investasi amal shaleh.
Memahami Konsep
Teologi al-Ma’un
Konsep teologi Al-Ma’un merupakan hasil pemikiran KH. Ahmad
Dahlan yang terinspirasi dari surah al-Ma’un, surah ke-107 dari
al-Qur’an dan masuk ke dalam surah-surah Makkiyah menurut beberapa riwayat, dan
menurut beberapa riwayat yang lain adalah surah Makkiyah dan Madaniah (yaitu
tiga ayat pertama adalah Makkiyah sedang sisanya adalah Madaniah), dan pendapat
terakhirlah yang lebih kuat. Konsep teologial-Ma’un yang dicetuskan oleh
KH. Ahmad Dahlan memiliki kesamaan kondisi sosial Indonesia ketika al-Qur’an
turun kepada Nabi Muhammad saw. yaitu ketika betapa lebar dan tajamnya
kesenjangan sosial-ekonomi di Mekkah. Dalam surah al-Ma’un, seseorang
yang tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan orang miskin dikategorikan
sebagai pendusta agama sekalipun dia shalat.(2)
Pesan surah al-Ma’un yang diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan
tersebut diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan pada setiap pengajian rutin subuh,
yang mana beliau mengajarkan tafsir surah al-Ma’un berulang-ulang selama
beberapa hari. Salah seorang murid dan peserta pengajian yang bernama Sudjak,
lalu bertanya kepadanya, mengapa bahan pengajian tidak ditambah-tambah dan
hanya mengulang-ulang surah tersebut. Mendengar pertanyaan itu KH. Ahmad Dahlan
balik bertanya kepada para muridnya, apakah mereka sudah benar-benar mengerti
akan maksud surah al-Ma’un, para murid serentak menjawab bahwa mereka
bukan hanya mengerti, tapi sudah hafal. KH. Ahmad Dahlan lalu bertanya, apakah
arti ayat-ayat yang sudah dihafal tersebut sudah pula diamalkan.
Para murid pengajian itu menjawab dengan mengajukan pertanyaan:
“Apanya yang diamalkan, bukankah surah al-Ma’un sudah seringkali dibaca
saat menjalankan shalat?” KH. Ahmad Dahlan menjawab bahwa bukan itu yang ia
maksud diamalkan, tetapi apa yang sudah dipahami itu dipraktikkan dan
dikerjakan. Kemudia KH. Ahmad Dahlan memerintahkan para muridnya untuk mencari
orang miskin dan anak yatim di sekitar tempat tinggal masing-masing, jika sudah menemukan, mereka harus membawa
orang miskin dan anak yatim itu ke rumah masing-masing, dimandikan dengan sabun
dan sikat gigi yang baik, dan diberi pakaian seperti yang biasa mereka pakai.
Orang miskin itu juga diberi makan dan minum serta tempat tidur yang layak.
Pengajian pagi itu kemudian ditutup dan KH. Ahmad Dahlan memerintahkan agar
para murid melakukan apa yang sudah dijelaskan kepada mereka.(3)
Pesan yang disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan yang sangat getol
mengajak murid-muridnya mengamalkan surah al-Ma’un itu, perjuangan
beliau untuk menyampaikan arti surah al-Ma’un juga yang dijadikan
sebagai salah satu langkah teori untuk memperdalam amalan-amalan yang telah
diperbuat oleh Muhammadiyah untuk merubah keadaan masyaraka pada saat itu.
KH. Ahmad Dahlan mengajarkan surah al-Ma’un ini kepada
murid-muridnya secara terus menerus selama tiga bulan hingga muridnya mengerti
apa yang dimaksud dari surah ini, yaitu melakukan tindakan sosial praksis.
Metode pembelajaran KH. Ahmad Dahlan dalam memahami surah ini adalah metode
pembelajaran amaliyah, dengan menekankan semboyan kepada murid-muridnya,
“sedikit bicara banyak bekerja”. Menurut salah seorang muridnya, Haji Bajuri,
apapun yang diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan itu hanya biasa-biasa saja, bedanya
adalah bahwa setelah memperoleh pelajaran dari kyainya, maka para murid
diharuskan memberikan sesuatu kepada orang lain apa yang pernah diajarkan
olehnya. Salah satunya yan terkenal adalah pembelajaran surah al-Ma’un
ini, beliau mengajarkan implementasi dari surah al-Ma’un yang berisikan
tentang ajaran berbuat baik dan beramal kepada orang-orang yang kekurangan:
tahukah anda apa yang dimaksud surah al-Ma’un? Beras, pakaian yang masih
bagus, nanti kita bagikan kepada mereka yang memerlukan dan fakir muskin (4)
Memahami Konsep
Teologi al-‘Ashr
Konsep teologi al-’Ashr KH.
Ahmad Dahlan mulai ramai diperbincangkan setelah perjuangan organisasi
Muhammadiyah memasuki abad ke-2, namun sebenarnya konsep ini muncul jauh
sebelum organisasi ini terbentuk. Konsep ini hadir sebagai pendukung bagi
konsep teologi al-Ma’un menghadapi perubahan zaman. Konsep teologi ini
adalah pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang surah al-’Ashr, yaitu surah ke
103 yang terdiri dari 3 ayat dan diturunkan di Mekkah, sehingga surah ini
disebut surah Makkiyah.
Surah Al-’Ashr diajarkan atas
permintaan Nyai Walidah (5), Kiai Dahlan mengajarkan surah al-’Ashr
kepada para buruh perempuan di Kauman. Pengajiannya dinamakan pengajian wal-’Ashri.
Dalam pengajian ini, surah al-’Ashr diajarkan sekitar 8 bulan, karena
Kiai Dahlan suka mengulang-ulang ketika mengajarkan surah al-’Ashr ini
orang-orang Pekalongan (dulu) memberi julukan Kiai Dahlan dengan julukan Kiai wal-’Ashri.
Maksud Kiai Dahlan mengulang-ulang al-’Ashr adalah agar murid-muridnya
terbiasa memiliki etos disiplin tepat waktu dan selalu mengisi waktu dengan
perbuatan yang bermanfaat (amal shalih). Selain membentuk pengajian al-’Ashr,
Kiai Dahlan juga mempelopori “Sekolah Kader al-’Ashr” yang dipimpin oleh
KRH. Hadjid. Dokter Kery, seorang spesialis kandungan, sekarang tinggal di
Sidoarjo, asal Merauke menjelaskan bahwa gurunya dulu SD Muhammadiyah selalu
memulai pelajaran dengan bacaan al-’Ashr. Malik Fadjar juga menyatakan
ketika sekolah di Standardschool (sekarang SD) Muhammadiyah Suronatan, setiap
akan pulang, mereka tutup dengan membaca surah al-’Ashr.(6)
Menurut Sukriyanto AR, maksud Kiai
Dahlan mengadakan pengajian al-’Ashr, sekolah kader al-’Ashr dan
mengulang-ulang surah al-’Ashr adalah pertama, agar
murid-muridnya memiliki kesadaran akan waktu, menggunakan waktu secara baik,
efektif, dan efesien, serta selalu disiplin tepat waktu. Kedua, agar
murid-muridnya memiliki kesadaran iman, memiliki iman yang kuat sehingga
hidupnya merdeka dan terarah. Ketiga, agar murid-muridnya berlomba-lomba
dalam kebaikan dengan mengisi waktu dengan amal salih. Keempat, agar
murid-muridnya memiliki kepekaan sosial dan tanggung jawab yang tinggi,
sehingga tidak melakukan pembiaran penyimpangan sosial, tetapi memiliki panggilan
hati untuk bertausyiah tentang kebenaran dengan penuh kesabaran sikap
intersubjektif-inklusif. Kelima, Kiai Dahlan mendirikan sekolah wal-’Ashri
dipimpin oleh KRH Hadjid, murid termuda Kiai Dahlan berharap agar
murid-muridnya suka mengisi waktu untuk belajar agar mereka menjadi pandai,
visioner, berpikiran maju serta bekerja keras. Karena waktu selalu bergerak
maju, berjalan kedepan, kalau tidak diisi dengan amal salih, kita akan
kehilangan peluang. Keenam, agar murid-muridnya meninggalkan hal-hal yang
tiada manfaat, tidak suka ngarasani (menggunjing) dan saling mencela. Akan
tetapi, mengisi waktu dengan amal salih, yaitu amalan yang dilandasi dengan
ilmu pengetahuan. Kiai Dahlan memberikan contoh dengan mengamalkan surah al-Ma’un.(7)
Surah al-’Ashr berisi
mengenai peringatan Allah SWT tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya
ia diisi, karena melihat manusia yang menjadikan seluruh aktivitasnya hanya
berupa perlombaan menumpuk-numpuk harta serta menghabiskan waktunya hanya untuk
maksud tersebut, sehingga mereka lalai akan tujuan utama dari kehidupannya di
dunia ini.
Footnote
3.
Leyan Mustapa, Pembaharuan Pendidikan Islam Studi Atas Teologi Sosial Pemikiran KH. Ahmad
Dahlan, jurnal pembaharuan pendidikan Islam (JPPI) Volume 1 No. 1 desember
2014 hal. 136-137

Tidak ada komentar: