MEMBANGUN AKHLAQ MULIA (Refleksi dari Ibadah Shiyam Ramadhan)

 MEMBANGUN AKHLAQ MULIA
(Refleksi dari Ibadah Shiyam Ramadhan)
Oleh: Ust. Drs. H. Radix Mursenoaji
(Ketua Majelis Tabligh PDM Kota Malang)

 


Baru saja kita menyelesaikan ibadah Shiyam Ramadhan tahun ini, dan kita sempurnakan dengan ibadah shalat ‘idul fitri, semoga ibadah shiyam kita dapat memperbaiki prilaku menuju kehidupan yang berkualitas.

 

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini bisa berdampak negative terhadap perilaku seseorang, yakni semakin menjadikan manusia lebih condong  mendewa-dewakan materi dari pada menjaga kemuliaan budi pekerti. Ungkapan “hukum rimba” yang mengatakan: Si pandai memperdaya si bodoh; si kaya memakan si miskin; si kuat menggilas si lemah; si besar melabrak si kecil; si nekat menyikat semuanya” telah tampak terjadi dalam kehidupan di masyarakat kitasaat ini. Akhlaq terhadap pribadi, keluarga, masyarakat dan negara, terlebih terhadap Allah dan RasulNya sudah semakin terabaikan. Artinya Sikap saling menghargai dan menghormati serta malu berbuat keburukan yang dilarang oleh agama sudah semakin luntur dan terkikis oleh rapuhnya generasi.

 

Tuntunan Agama Islam yang dijamin oleh Allah SWT dan Rasul-Nya mampu menjadi rambu-rambu kehidupan untuk  mencapai ketentraman dan kebaikan hidup di dunia dan akhirat, harus diwujudkan pada perilaku sehari-hari dalam masyarakat. Sepanjang sejarah Agama Islam dan agama lainnya di dunia ini tidak pernah mengajarkan kebencian terhadap pemeluk agama lain bahkan dilarang menghina Tuhannya agama lain. Agama Islam antara lain menuntut pemeluknya untuk menjadi pribadi yang jujur, bisa dipercaya, konsisten, rendah hati, sabar dan pemaaf. Agama Islam mengajarkan untuk selalu berbuat baik kepada orang tuanya, cinta-kasih antara suami dengan istrinya; kasih-sayang orang tua terhadap anak dan sebaliknya. Bagaimana hubungan dalam kehidupan bermasyarakat?, Agama Islam juga memberi tuntunan kepada kita untuk berbuat baik terhadap tetangga dan masyarakat, menjaga ukhuwah Islamiyah, membangun masyarakat rukun dan damai. Kemudian dalam berbangsa dan bernegara, Agama Islam mengajarkan untuk suka bermusyawarah, amar ma’ruf nahi mungkar, menegakkan keadilan, kemakumuran dan sebagainya.


Apa yang masih Rancu?

Menurut Imam al Ghazali, difinisi akhlaq:  “adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia dan menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Ini berarti akhlaq itu hasil pendidikan atau pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi perilaku spontan, dan bisa muncul disaat menghadapi sesuatu yang harus direspon atau dilakukan.

Dalam literasi kebahasaan, Kata “akhlaq” berasal dari bahasa arab yang artinya tidak sama persis dengan yang kita kenal sebagai budi pekerti atau sopan santun. Secara etimologis “akhlaq”  adalah bentuk jamak dari kata khuluq dari akar kata khalaqa, seakar dengan kata Khaliq dan makhluq. Dari pengertian etimologis ini tampak hubungan erat antara makhluq sebagai yang diciptakan oleh Khaliq – Sang Pencipta. Hubungan erat ini mensyaratkan bahwa terpadunya kehendak Sang Khaliq terhadap perilaku makhluq-Nya. Dengan demikian, maka akhlaq tidak hanya berdimensi dalam urusan keduniaan yang mengatur perilaku pribadi, perilaku hubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan sumberdaya alam saja,  akan tetapi juga berdimensi akhirat, mencakup aturan antara manusia dengan Allah SWTsebagai sang Khaliq, mengilmui dan melaksanakan perintah serta menjauhi larangan-larangan-Nya.

Terminology baik-buruk dalam pemahaman akhlaq adalah bersumber dari tuntunan Agama Islam yakni Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana budi pekerti dan sopan santun, etika maupun moral. Dalam akhlaq, konsep baik dan buruk, perbuatan terpuji ataupun tercela, parameternya syara’ (Al Qur’an dan Sunnah). Syara’ menjadi ukuran perilaku yang bersifat obyektif dan komprehensif dan tidak spekulatif. Misalnya; pemain sinetron, yang berperan sebagai orang baik, belum tentu ia itu baik, sebaliknya yang berperan sebagai orang jelek, belum tentu ia iu jelek.

Adanya kerancuan dalam pemahaman antara pengertian akhlaq dengan nilai-nilai kebaikan lainnya maka akan terjadi ketimpangan untuk membangun akhlaq mulia pada pribadi manusia. Bisa jadi seseorang dianggap sebagai berakhlaq mulia karena sudah berperilaku baik, sopan dan santun kepada tetangga, namun ternyata kepada Allah Sang Khaliq masih nihil ketaatannya. Bisa jadi pula sebaliknya, orang yang aktif beribadah rajin ke masjid dianggap sudah berakhlaq mulia sementara itu dia tidak menjaga hubungan baik dengan tetangganya dan masyarakat yang ada di sekitarnya, parahnya mereka kadang bersikap acuh tak acuh. Subhanallah!

 

Lalu apa saja Cakupannya?

Membangun akhlaq mulia pada pribadi manusia harus mencakup hubungan horizontal dan vertikal – hubungan antar manusia dan lingkungannya maupun hubungan antara manusia dengan Allah Sang Pencipta. Ini tuntunan syara’. Allah SWT berfirman : 


ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ اَيْنَ مَا ثُقِفُوْٓا اِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ اللّٰهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَاۤءُوْ بِغَضَبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ الْاَنْبِۢيَاۤءَ بِغَيْرِ حَقٍّۗ ذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ 


“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas(QS Ali Imran;3:112). 


Kafir kepada ayat-ayat Allah SWT adalah mengindikasikan tertutupnya hati manusia dari petunjuk Allah SWT sehingga tidak melaksanakan perintah-Nya dan tidak menjauhi larangan-Nya. Sedangkan membunuh Nabi SAW adalah berupa perilaku yang mengabaikan tuntunan, perintah ataupun contoh yang sudah diberikan para utusan Allah SWT atau mencampakkannya. Perilaku kafir maupun membunuh Nabi ini terwujud dalam ucapan maupun perbuatan manusia yang terlepas dari pedoman kebaikan haqiqi sehingga dengan mudah dapat kita lihat pada perilaku masyarakat sehari-hari terutama yang terjadi pada fasilitas umum seperti pelanggaran aturan berlalu-lintas, pengotoran dengan corat – coret bahkan dengan kata-kata jorok pada tempat tertentu, berperilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya.

Pada bagian lain, QS Al Baqarah 83 Allah SWT berfirman


وَاِذْ اَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ لَا تَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَّاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَۗ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْكُمْ وَاَنْتُمْ مُّعْرِضُوْنَ 


“Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” Pada ayat ini Allah memberi gambaran terinci kepada siapa kita harus berbuat baik itu namun hanya sedikit manusia yang mau mematuhinya, atau barang kali seseorang tidak tahu apa dan bagaimana perbuatan baik itu karena selama ini kehidupannya jauh dari tuntunan agama lantaran waktunya tersita untuk urusan materi - dunia.

 

Bagaimana Kedudukan Akhlaq?

Kedudukan akhlaq didalam kehidupan beragama Islam adalah sangat mendasar dan sangat penting bagi dirinya kelak di akherat. Dalam hadits riwayat Ahmad dikabarkan kepada kita “ Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “maukah kalian aku beri tahukan siapa diantara kalian yang paling aku cintai dan paling dekat tempatnya denganku dihari kiamat?. Beliau mengulangi petanyaan itu dua-tiga kali. Lalu sahabat menjawab; “tentu ya Rasulullah”. Nabi bersabda: “ yaitu yang paling baik akhlaqnya diantara kalian”. Setiap kita umat Islam pasti ingin di akhirat kelak bersama dengan kekasih yang kita cintai yaitu Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Berakhlaq paling baik, berarti seseorang itu tidak akan larut terseret arus perbuatan buruk disekitarnya. Demikian pula Rasulullah SAW mengabarkan bahwa akhlaq itu memiliki bobot timbangan kebaikan yang berat dalam timbangan amal manusia kelak saat hari perhitungan: “tidak ada satupun yang akan lebih memberatkan timbangan(kebaikan) seorang hamba mukmin nanti pada hari kiamat selain dari akhlaq yang baik” (HR Tirmidzi).

 

Jadi mengukur kualitas keimanan seseorang dapat dilihat dari akhlaqnya. Akhlaq yang telah terbangun akan melahirkan tutur kata dan tingkah laku yang elok dan pantas, Seseorang yang berakhlaq mulia itu tidak condong untuk dilihat oleh manusia lain tetapi lebih disebabkan karena kesadaran dari dalam untuk menjaga amal shalihnya. Perilaku yang demikian sebagai bentuk membangun kesempurnaan imannya dengan mengikuti sabda Rasulullah SAW bahwa “ Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya”. Karena beliau di utus untuk memperbaiki Akhlaq “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR Baihaqi)

 

Buah Ibadah terhadap Prilaku

Allah SWTberfirman; 


اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ 


“Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” ( QS Al Ankabut ;29:45)

 

Dari Firman Allah SWT ini, dijelaskan bahwa apabila orang melaksanakan shalat dengan benar maka akan tercegah dari perbuatan keji dan munkar atau orang itu akan memiliki akhlaq yang mulia. Do’a dan ucapan dalam shalat adalah kebaikan untuk dunia dan akhirat yang harus diwujudkan dalam ucapan dan tingkah laku keseharian diluar shalat. Dengan demikian, shalat itu dapat menjadi sarana utama untuk membangun akhlaq yang mulia; dengan catatan shalat yang benar menurut kaifiyat dan fungsinya. Wallahu a’lam bi shawab.



 

MEMBANGUN AKHLAQ MULIA (Refleksi dari Ibadah Shiyam Ramadhan)  MEMBANGUN AKHLAQ MULIA (Refleksi dari Ibadah Shiyam Ramadhan) Reviewed by sangpencerah on April 25, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar: