Akhir-akhir ini beredar tentang hukum alat musik di tengah-tengah para
netizen dalam dunia maya. Dan tidak
sedikit dari para kalangan kaum muslimin yang memberika komentar tentang
masalah ini, ada Sebagian dari mereka
menghukumi haram bermain musik secara mutlak dengan mebawakan hadits riwayat
Imam Bukhari 5590, dimana Rasulullah SAW bersabda:
لَيَكونَنَّ مِن أُمَّتي أقْوامٌ يَسْتَحِلُّونَ
الحِرَ والحَرِيرَ، والخَمْرَ والمَعازِفَ
"akan ada pada umatku kaum-kaum yang menghalalkan kemaluan,
khamr, kain sutra, dan alat-alat musik".
Untuk mengetahui dan memahami sebuah hadits tidak cukup
hanya sekedar siapa yang meriwatkan, matan teksnya dan bagaimana hadits itu
memberikan penjelasan sehingga menjadi suatu keputusan hukum. Karena itu maka
diperlukan beberapa tinjauan secara menyeluruh dan tidak dipahami secara
parsial, apalagi secara tektual, lalu melahirkan produk hukum yang menuai
perselisihan dan perdebatan karena hanya perbedaan kaca mata yang berbeda, dan
kita harus jujur dalam memutusan suatu hukum, bukan karena suatu kepentingan
duniawi, bukan karena kepentingan kelompok dan lainnya. Seharusnya hal ini
tidak akan terjadi di kalangan kaum muslimin, jika dipahami secara
konprehenshif dan poporsional.
Untuk menjawab permasalahan di atas, Mari kita mulai
dari beberapa sudut pandang keilmuan dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Secara Sanad hadits di atas, dianggap
paling shahih (mengharamkan musik). Karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari, maka
perlu kita ketahui bahwa tidak semua hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari
sanad nya steril, bersih dari pembicaraan. Padahal Imam Bukhari sendiri
menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara Muallaq artinya
terputus sanadnya. Karnanya Ibnu Hazm
dalam Al Muhalla menolak hadist ini akan kemutlakan hukum. Di samping itu semua
sanad dari hadis ini hanya bersumber dari satu perawi, yaitu Hisyam bin Ammar.
Dan ia diperselisihkan oleh para ahli
hadits tentang riwayat-riwayatnya.
Secara Matan hadits di atas, jika benar
keshahihannya, apakah sudah dibuktikan secara ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan keshahihannya?
Dari beberapa hasil penelitian terhadap hadits di atas,
maka ditemukan jawaban bahwa tidak semuanya, berhukum haram mutlak, mengapa
demikian? Coba perhatikan matannya satu persatu; yaitu. Sutera hanya
diharamkan buat laki-laki, sedangkan perempuan dibolehkan memakainya. Sedangan Dalam
redaksi hadist tersebut adalah alhira artinya adalah kemaluan atau farj,
akan tetapi kebanyakan diartikan sebagai zina, dari beberapa keterjemahan yang beredar.
Sebagai analisanya, Jika kita mengartikan pada arti aslinya,
yaitu menghalalkan kemaluan, maka hukumnya tidak mutlak haram. karena
menghalalkan kemaluan bisa dengan cara yang benar, misalnya melalui pernikahan
atau budak (masa lampau). Dan kemaluan
bisa haram jika digunakan untuk berzina tanpa pernikahan yang sah.
Demikian juga dalam memahami alat musik, tidak mutlak
haram sebagaimana halnya memahami kemaluan dan sutera, kecuali jika alat-alat musik itu digunakan untuk
kemaksiatan maka hukumnya haram akan tetapi jika tidak ada kemaksiatan atau
melanggar syariat maka hukumnya boleh-boleh saja. Karena setiap produk hukum
harus disertai adanya nash yang memperjelas akan status hukumnya. Misalnya;
Khamr dalam hadits di atas, hukunya haram secara mutlak, karena adanya dalil
nash yang menyertainya yaitu; Dari Ibnu ‘Umar rama, Raulullah saw bersabda,
“Allah melaknat
khamar, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya,
pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang
yang mengantarnya dan orang yang meminta diantarkan.” (HR. Abu Dawud: 3674; Ibnu Majah: 3380). Demikian
juga dengan Sutera yang hanya dibatasi pada laki-laki saja.
Emas dan Sutera dihalalkan bagi kaum wanita dari umatku
dan diharamkanbagi kaum laki-laki (HR. An-Nasa’i) akan tetapi
laki-laki diperbolehkan jika sutera itu kadarnya seukuran 2 jari, 3 atau 4....(HR.
Muslim)
Begitu juga dengan yang mengharamkan alat musik secara
mutlak, maka harus mendatangkan nash yang menguatkan seperti ketentuan dalam
hadits di atas jadi kongkritnya, jika mengharamkan musik secara mutlak, maka
kemaluan juga berstatus hukum yang sama (dari arti asalnya)
Sebagai jalan tengahnya. musik terlarang dan berhukum
haram, jika mengundang atau menterlenakan diri seseorang, yang mengakibatkan
orang itu bermaksiat. Karena setiap yang melalaikan dilarang untuk di
lakukan.Hadits iini dapat kita pahami sebagai “illat” dalam ilmu ushul fiqh,
sebagaimana illat pengharaman musik, sebagaimana kaidah sebagai berikut:
الحكم يدور مع
العلة وجودا وعدما
"Hukum itu berputar pada illatnya. Ada illat ada
hukum, tidak ada illat tidak ada hukum" selama illat itu mengiringinya, maka hukumnya tetap ada,
dan jika illat itu sudah tidak ada maka hukumnya kembali ke asalnya, yaitu
mubah. Dan illat musik yaitu kelalaian dan kemaksiataan atau pelanggaran
syariat.
Bahkan Rasullah SAW bersama dengan ummul mu’mini ra,
dalam kisah hadits di bawah in;
Telah menceritakan kepada kami Abu Yahya bin Abi Masarrah yang berkata
telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad yang berkata telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul Jabbaar bin Wardi yang berkata aku mendengar
Ibnu Abi Mulaikah mengatakan Aisyah ra berkata “suatu ketika aku dan
Rasulullah SAW duduk berdua di rumah, maka seorang wanita yang sering bernyanyi
meminta izin kepada kami, tidak henti-hentinya Aisyah bersama dengannya sampai
akhirnya ia menyanyi. Ketika ia bernyanyi Umar bin Khaththab ra datang meminta
izin. Ketika Umar meminta izin maka penyanyi itu melemparkan apa yang ada di
tangannya (alat musik) dan keluar, Aisyah pun ikut keluar dari sana. Rasulullah
SAW memberikan izin kepadanya (Umar) dan tertawa. (Umar) berkata “demi Ayah dan
Ibuku, mengapa anda tertawa?”. Maka Beliau memberitahunya apa yang dilakukan
penyanyi itu dan Aisyah ra. Umar ra berkata “Demi Allah tidak (begitu), hanya
Allah dan Rasul-nya yang lebih berhak untuk ditakuti wahai Aisyah”
(Akhbaaru Makkah Al Fakihiy 3/32: 1740) dan Hadis Aisyah di atas sanadnya
jayyid para perawinya tsiqah dan shaduq.
Dalam riwayat lain, Dari Anas bin Malik berkata;
Rasulullah SAW melewati sebagian kota Madinah dan menemukan gadis-gadis yang
sedang menabuh rebana sambil bernyanyi dan bersenandung, ‘Kami gadis-gadis Bani
Najjar, alangkah indahnya punya tetangga Muhammad’.” Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Allah mengetahui, sungguh aku mencintai mereka.” (HR.
Ibnu Majah:.1889)
Dari As-Saa’ib bin Yaziid bahwa seorang wanita datang
kepada Rasulullah SAW , maka beliau berkata “Wahai Aisyah apakah engkau
mengenal wanita ini?”. (Aisyah) berkata, “Tidak wahai Nabi Allah”. Beliau
berkata “Wanita ini adalah penyanyi dari Bani Fulan, sukakah engkau jika ia
menyanyi untukmu” maka ia menyanyi (HR. Nasa’i 8/184: 8911 Sunan Al
Kubra). Hadits dengan sanad yang shahih, para perawinya tsiqat.
Atsar dari Shahabat Rasulullah saw;
Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata: Dari Ibnu Sirin, katanya: Ada
seorang laki-laki datang ke Madinah bersama tetangganya, mereka berhenti di
tempatnya Abdullah bin Umar, pada mereka terdapat jariyah yang sedang main
rebana, lalu datang laki-laki yang menawarkannya dan dia sedikitpun tidak
tertarik kepadanya. Beliau (Ibnu Umar) berkata: “Pergilah ke laki-laki yang
bisa membeli dengan harga lebih dibanding seperti kepunyaanmu dan jual-lah.”
Laki-laki itu bertanya: “Siapa dia?” Beliau menjawab: “Abdullah bin Ja’far.
Lalu mereka membawanya kepadanya (Abdullah bin Ja’far), lalu salah satu jariyah
itu diperintahkan: “Ambil-lah ‘Uud (kecapi).” Lalu dia mengambilnya lalu
bernyanyi. Maka laki-laki itu menjualnya. Kemudian dia datang lagi ke Ibnu Umar
sampai akhir kisah ini. Dalam kitab Al ‘Iqdu, Al ‘Allamah Abu Umar Al
Andalusi, meriwayatkan: “Bahwa Abdullah bin Umar masuk ke rumah Abdullah bin
Ja’far rama. Dia dapati di rumahnya, ada seorang jariyah yang dikamarnya
terdapat ‘Uud (kecapi). Lalu Beliau bertanya kepada Ibnu Umar: “Apakah
pendapatmu ini boleh-boleh saja?” Beliau menjawab: “Tidak apa-apa.” (Nailul
Authar, 8/179.)
Sementara mengutip penjelasan Syaikh Sayyid Sabiq
Rahimahullah menceritakan bahwa banyak para sahabat nabi dan tabiin pernah
mendengarkan nyanyian dan memainkan musik. Berikut ini keterangannya:
Telah shahih dari segolongan banyak dari sahabat nabi dan tabi’in, bahwa
mereka mendengarkan nyanyian dan memainkan musik. Di antara sahabat contohnya
Abdulah bin Az-Zubeir, Abdullah bin Ja’far, dan selain mereka berdua. Dari
generasi tabi’in contohnya: Umar bin Abdul ‘Aziz, Syuraih Al-Qadhi, Abdul ‘Aziz
bin Maslamah mufti Madinah, dan selain mereka. (Fiqhus Sunnah, 3/57-58)
Pandangan para ulama’
Imam Abu Hanifah. Dalam madzhab Hanafi pengharaman musik
dikenal sangat keras.. Sebagaimana penjelasan Imam Al Kasani Al Hanafiy: Dibolehkan menjual
alat-alat musik seperti Al Barbath, gendang, seruling, rebana, dan lainnya,
menurut Imam Abu Hanifah. (Bada’i Ash Shana’i, 5/144)
Sementara madzhab
Imam Malik Rahimahullah, Beliau membolehkan mendengarkan nyanyian walau dengan
iringan musik. Bahkan juga segolongan sahabat Nabi ﷺ.Imam Asy
Syaukani Rahimahullah mengatakan: Ar Ruyani meriwayatkan dari Al Qaffal, bahwa
madzhab-nya Imam Malik bin Anas membolehkan bernyanyi dengan menggunakan alat
musik (Al Ma’azif). Al Ustadz Abu Manshur Al Furani menceritakan bahwa Imam
Malik membolehkan kecapi (Al ‘Uud). (Nailul Authar, 8/113)
Dari semua hadits hadits shahih terkait tema musik ini
dapat ditarik benang kusutnya bahwa
musik yang haram adalah yang mengandung pelanggaran syariat berupa kelalaian
atau kemaksiatan. Inilah diantara illat pengharaman musik tersebut, bila illat
pengharaman ini tiada maka hukumnya kembali ke asal yakni mubah. Sebagaimana
dipraktekkan oleh Nabi dan sahabatnya dalam banyak riwayat. Wallaahu a’lam
bis Shawab
Tidak ada komentar: