KONTROVERSI ALAT MUSIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

 KONTROVERSI ALAT MUSIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh. Ust. Hafidz, S.Pd., M.PdI
(Anggota CMM and MPI PDm Kota Malang)



Akhir-akhir ini beredar tentang hukum alat musik di tengah-tengah para netizen dalam dunia maya.  Dan tidak sedikit dari para kalangan kaum muslimin yang memberika komentar tentang masalah ini, ada  Sebagian dari mereka menghukumi haram bermain musik secara mutlak dengan mebawakan hadits riwayat Imam Bukhari 5590, dimana Rasulullah SAW bersabda:

 

لَيَكونَنَّ مِن أُمَّتي أقْوامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحَرِيرَ، والخَمْرَ والمَعازِفَ

 

"akan ada pada umatku kaum-kaum yang menghalalkan kemaluan, khamr, kain sutra, dan alat-alat musik".

 

Untuk mengetahui dan memahami sebuah hadits tidak cukup hanya sekedar siapa yang meriwatkan, matan teksnya dan bagaimana hadits itu memberikan penjelasan sehingga menjadi suatu keputusan hukum. Karena itu maka diperlukan beberapa tinjauan secara menyeluruh dan tidak dipahami secara parsial, apalagi secara tektual, lalu melahirkan produk hukum yang menuai perselisihan dan perdebatan karena hanya perbedaan kaca mata yang berbeda, dan kita harus jujur dalam memutusan suatu hukum, bukan karena suatu kepentingan duniawi, bukan karena kepentingan kelompok dan lainnya. Seharusnya hal ini tidak akan terjadi di kalangan kaum muslimin, jika dipahami secara konprehenshif dan poporsional.

Untuk menjawab permasalahan di atas, Mari kita mulai dari  beberapa sudut pandang keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Secara Sanad hadits di atas, dianggap paling shahih (mengharamkan musik). Karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari, maka perlu kita ketahui bahwa tidak semua hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari sanad nya steril, bersih dari pembicaraan. Padahal Imam Bukhari sendiri menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara Muallaq artinya terputus sanadnya. Karnanya  Ibnu Hazm dalam Al Muhalla menolak hadist ini akan kemutlakan hukum. Di samping itu semua sanad dari hadis ini hanya bersumber dari satu perawi, yaitu Hisyam bin Ammar. Dan  ia diperselisihkan oleh para ahli hadits tentang riwayat-riwayatnya.

Secara Matan hadits di atas, jika benar keshahihannya, apakah sudah dibuktikan secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya?

Dari beberapa hasil penelitian terhadap hadits di atas, maka ditemukan jawaban bahwa tidak semuanya, berhukum haram mutlak, mengapa demikian? Coba perhatikan matannya satu persatu; yaitu. Sutera hanya diharamkan buat laki-laki, sedangkan perempuan dibolehkan memakainya. Sedangan Dalam redaksi hadist tersebut adalah alhira artinya adalah kemaluan atau farj, akan tetapi kebanyakan diartikan sebagai  zina, dari beberapa keterjemahan yang beredar.

Sebagai analisanya, Jika kita mengartikan pada arti aslinya, yaitu menghalalkan kemaluan, maka hukumnya tidak mutlak haram. karena menghalalkan kemaluan bisa dengan cara yang benar, misalnya melalui pernikahan atau budak (masa lampau). Dan  kemaluan bisa haram jika digunakan untuk berzina tanpa pernikahan yang sah.

Demikian juga dalam memahami alat musik, tidak mutlak haram sebagaimana halnya memahami kemaluan dan sutera, kecuali jika  alat-alat musik itu digunakan untuk kemaksiatan maka hukumnya haram akan tetapi jika tidak ada kemaksiatan atau melanggar syariat maka hukumnya boleh-boleh saja. Karena setiap produk hukum harus disertai adanya nash yang memperjelas akan status hukumnya. Misalnya; Khamr dalam hadits di atas, hukunya haram secara mutlak, karena adanya dalil nash yang menyertainya yaitu; Dari Ibnu ‘Umar rama, Raulullah saw bersabda,

 “Allah melaknat khamar, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya dan orang yang meminta diantarkan.” (HR. Abu Dawud: 3674; Ibnu Majah: 3380). Demikian juga dengan Sutera yang hanya dibatasi pada laki-laki saja.

Emas dan Sutera dihalalkan bagi kaum wanita dari umatku dan diharamkanbagi kaum laki-laki (HR. An-Nasa’i) akan tetapi laki-laki diperbolehkan jika sutera itu kadarnya seukuran 2 jari, 3 atau 4....(HR. Muslim)

Begitu juga dengan yang mengharamkan alat musik secara mutlak, maka harus mendatangkan nash yang menguatkan seperti ketentuan dalam hadits di atas jadi kongkritnya, jika mengharamkan musik secara mutlak, maka kemaluan juga berstatus hukum yang sama (dari arti asalnya)

Sebagai jalan tengahnya. musik terlarang dan berhukum haram, jika mengundang atau menterlenakan diri seseorang, yang mengakibatkan orang itu bermaksiat. Karena setiap yang melalaikan dilarang untuk di lakukan.Hadits iini dapat kita pahami sebagai “illat” dalam ilmu ushul fiqh, sebagaimana illat pengharaman musik, sebagaimana kaidah sebagai berikut:

 

الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما

 

"Hukum itu berputar pada illatnya. Ada illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum" selama illat itu mengiringinya, maka hukumnya tetap ada, dan jika illat itu sudah tidak ada maka hukumnya kembali ke asalnya, yaitu mubah. Dan illat musik yaitu kelalaian dan kemaksiataan atau pelanggaran syariat.

Bahkan Rasullah SAW bersama dengan ummul mu’mini ra, dalam kisah hadits di bawah in;

Telah menceritakan kepada kami Abu Yahya bin Abi Masarrah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Jabbaar bin Wardi yang berkata aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah mengatakan Aisyah ra berkata “suatu ketika aku dan Rasulullah SAW duduk berdua di rumah, maka seorang wanita yang sering bernyanyi meminta izin kepada kami, tidak henti-hentinya Aisyah bersama dengannya sampai akhirnya ia menyanyi. Ketika ia bernyanyi Umar bin Khaththab ra datang meminta izin. Ketika Umar meminta izin maka penyanyi itu melemparkan apa yang ada di tangannya (alat musik) dan keluar, Aisyah pun ikut keluar dari sana. Rasulullah SAW memberikan izin kepadanya (Umar) dan tertawa. (Umar) berkata “demi Ayah dan Ibuku, mengapa anda tertawa?”. Maka Beliau memberitahunya apa yang dilakukan penyanyi itu dan Aisyah ra. Umar ra berkata “Demi Allah tidak (begitu), hanya Allah dan Rasul-nya yang lebih berhak untuk ditakuti wahai Aisyah” (Akhbaaru Makkah Al Fakihiy 3/32: 1740) dan Hadis Aisyah di atas sanadnya jayyid para perawinya tsiqah dan shaduq.

Dalam riwayat lain, Dari Anas bin Malik berkata; Rasulullah SAW melewati sebagian kota Madinah dan menemukan gadis-gadis yang sedang menabuh rebana sambil bernyanyi dan bersenandung, ‘Kami gadis-gadis Bani Najjar, alangkah indahnya punya tetangga Muhammad’.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah mengetahui, sungguh aku mencintai mereka.” (HR. Ibnu Majah:.1889)

Dari As-Saa’ib bin Yaziid bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW , maka beliau berkata “Wahai Aisyah apakah engkau mengenal wanita ini?”. (Aisyah) berkata, “Tidak wahai Nabi Allah”. Beliau berkata “Wanita ini adalah penyanyi dari Bani Fulan, sukakah engkau jika ia menyanyi untukmu” maka ia menyanyi (HR. Nasa’i 8/184: 8911 Sunan Al Kubra). Hadits dengan sanad yang shahih, para perawinya tsiqat.

 

Atsar dari Shahabat Rasulullah saw;

Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata: Dari Ibnu Sirin, katanya: Ada seorang laki-laki datang ke Madinah bersama tetangganya, mereka berhenti di tempatnya Abdullah bin Umar, pada mereka terdapat jariyah yang sedang main rebana, lalu datang laki-laki yang menawarkannya dan dia sedikitpun tidak tertarik kepadanya. Beliau (Ibnu Umar) berkata: “Pergilah ke laki-laki yang bisa membeli dengan harga lebih dibanding seperti kepunyaanmu dan jual-lah.” Laki-laki itu bertanya: “Siapa dia?” Beliau menjawab: “Abdullah bin Ja’far. Lalu mereka membawanya kepadanya (Abdullah bin Ja’far), lalu salah satu jariyah itu diperintahkan: “Ambil-lah ‘Uud (kecapi).” Lalu dia mengambilnya lalu bernyanyi. Maka laki-laki itu menjualnya. Kemudian dia datang lagi ke Ibnu Umar sampai akhir kisah ini. Dalam kitab Al ‘Iqdu, Al ‘Allamah Abu Umar Al Andalusi, meriwayatkan: “Bahwa Abdullah bin Umar masuk ke rumah Abdullah bin Ja’far rama. Dia dapati di rumahnya, ada seorang jariyah yang dikamarnya terdapat ‘Uud (kecapi). Lalu Beliau bertanya kepada Ibnu Umar: “Apakah pendapatmu ini boleh-boleh saja?” Beliau menjawab: “Tidak apa-apa.” (Nailul Authar, 8/179.)

 

Sementara mengutip penjelasan Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan bahwa banyak para sahabat nabi dan tabiin pernah mendengarkan nyanyian dan memainkan musik. Berikut ini keterangannya:

Telah shahih dari segolongan banyak dari sahabat nabi dan tabi’in, bahwa mereka mendengarkan nyanyian dan memainkan musik. Di antara sahabat contohnya Abdulah bin Az-Zubeir, Abdullah bin Ja’far, dan selain mereka berdua. Dari generasi tabi’in contohnya: Umar bin Abdul ‘Aziz, Syuraih Al-Qadhi, Abdul ‘Aziz bin Maslamah mufti Madinah, dan selain mereka. (Fiqhus Sunnah, 3/57-58)

 

Pandangan para ulama’

Imam Abu Hanifah. Dalam madzhab Hanafi pengharaman musik dikenal sangat keras.. Sebagaimana penjelasan  Imam Al Kasani Al Hanafiy: Dibolehkan menjual alat-alat musik seperti Al Barbath, gendang, seruling, rebana, dan lainnya, menurut Imam Abu Hanifah. (Bada’i Ash Shana’i, 5/144)

Sementara  madzhab Imam Malik Rahimahullah, Beliau membolehkan mendengarkan nyanyian walau dengan iringan musik. Bahkan juga segolongan sahabat Nabi .Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan: Ar Ruyani meriwayatkan dari Al Qaffal, bahwa madzhab-nya Imam Malik bin Anas membolehkan bernyanyi dengan menggunakan alat musik (Al Ma’azif). Al Ustadz Abu Manshur Al Furani menceritakan bahwa Imam Malik membolehkan kecapi (Al ‘Uud). (Nailul Authar, 8/113)

 

Dari semua hadits hadits shahih terkait tema musik ini dapat ditarik benang kusutnya  bahwa musik yang haram adalah yang mengandung pelanggaran syariat berupa kelalaian atau kemaksiatan. Inilah diantara illat pengharaman musik tersebut, bila illat pengharaman ini tiada maka hukumnya kembali ke asal yakni mubah. Sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi dan sahabatnya dalam banyak riwayat. Wallaahu a’lam bis Shawab

KONTROVERSI ALAT MUSIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM  KONTROVERSI ALAT MUSIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM Reviewed by sangpencerah on Mei 23, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar: