Murur di Musdalifah dan Tanazul ke Hotel Ketika di Mina

Murur di Musdalifah dan Tanazul ke Hotel Ketika di Mina
Oleh. MTT PPM
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah



Menyikapi kondisi kepadatan jama’ah haji.  Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menggelar sidang fatwa di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, Jalan KH Ahmad Dahlan pada Jumat (7/6/2024). Sidang yang dipimpin Ketua Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ruslan Fariadi, membahas masalah Murur di Muzdalifah.

Murur didefinisikan sebagai salah satu cara melintasi dan berhenti sebentar di Muzdalifah tanpa mabit atau bermalam.


Istilah murur diserap dari matan hadits yang diriwayatkan oleh Anas Bin Malik ra, yang tujukan kepada para shahabat akan pentingnya menghadiri majelis ta’lim,


إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ


Jika kamu melewati taman-taman syurga, maka singgahlah dengan rasa cinta. Para sahabat bertanya: Apakah taman-taman syurga itu? Nabi menjawab: Halaqah-halaqah atau kelompok majelis dzikir. (HR. Tirmdizi, 3510).


Para sahabat penasaran, apa yang dimaksud dengan taman surga dan singgah di dalamnya. Menurut beberapa penelusuran hadits, seperti Tirmidzi, Thabrani dan lainnya, ada tiga yang disebut sebagai taman surga, yaitu: masjid, majelis dzikir dan majelis ilmu. Implementasinya adalah singgah/mampir di masjid untuk berdzikir, bermajelis ta’lim, akan bernilai seperti berada di taman surga. Sebuah tamsil atau analogi yang indah. Dalam hadits lain riwayat Abu Dawud, majelis seperti ini akan didoakan oleh makhluk Allah SWT di langit dan di bumi. Mereka memintakan ampunan bagi orang yang berada di majelis ini. Bahkan, ikan-ikan di lautan juga berdo’a untuk kebaikan orang yang berada dalam majelis tersebut.


Majelis ilmu adalah tempat untuk menempuh jalan yang diridhai Allah SWT dalam mencapai surga. Allah SWT hanya memilih orang-orang tertentu yang mau duduk di majelis ilmu dan mendengarkan dengan seksama apa yang diajarkan para ustadz, kyai atau ulama’, niscaya akan memperoleh kunci-kunci untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, artinya hal ini merupakan petunjuk bagi kaum yang beriman. Menuntut ilmu merupakan kewajiban semua umat manusia baik laki-laki maupun perempuan dimanapun mereka berada. Karena menuntut ilmu pengetahuan secara umum baik agama atau lainnya yang membuat bertambah dekat kepada Allah SWT, dan InsyaAllah ilmu tersebut akan bermanfaat untuk memperbaiki ibadah dan amaliyah sehari-hari.


Jadi bagi penggiat majelis ilmu tidak hanya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, tapi juga memperoleh keumataan dan kemuliaan dalam hidup di dunia dimana aat ini kita berada, diantaranya;

1. Selalu hidup dengan rasa tenang, karena rahmat Allah SWT yang turun dalam dirinya, dan juga dimulaikan oleh para Malaikat, sebagaimana nasehat Rasulullah SAW dalam haditsnya;

Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) membaca Kitabullah dan saling mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), mereka akan dinaungi rahmat, mereka akan dilingkupi para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi para makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya” (HR. Muslim;2699).


2. Bernilai Jihad Fi Sabilillah

Sebagaimana pesan Rasululah SAW “Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) untuk mempelajari kebaikan atau untuk mengajarinya, maka ia seperti mujahid fi sabilillah. Dan barangsiapa yang memasukinya bukan dengan tujuan tersebut, maka ia seperti orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya” (HR. Ibnu Hibban;87, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Mawarid, 69).


3. Mudahnya seseorang berjalan menuju syurga yang selalu didamba-dambakan oleh Setiap muslim beriman, bahagia di dunia dan juga di akhirat, maka caranya hadiri majelis ta’lim. Rasulullah SAW bersabda:


مَن سلَك طريقًا يطلُبُ فيه عِلْمًا، سلَك اللهُ به طريقًا مِن طُرُقِ الجَنَّةِ


Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya untuk menuju surga” (HR. Tirmidzi’2682, Abu Dawud;3641, dishahihkan Al Albani).

Hadits ini sering dinasehatkan oleh para ustadz yang mengawali kajiannya, akan tetapi tidak cukup hanya dengan membacakan hadits ini, jika tidak diikuti dengan perubahan prilaku dan usaha-usaha untuk memperbaiki diri.


4. Memiliki Investasi Amal Di illiyyin

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:


صلاةٌ في إثرِ صلاةٍ لا لغوَ بينَهما كتابٌ في علِّيِّينَ


“Seorang yang setelah selesai shalat (di masjid) kemudian menetap di sana hingga shalat berikutnya, tanpa melakukan laghwun (kesia-siaan) di antara keduanya, akan dicatat amalan tersebut di ‘illiyyin” (HR. Abu Dawud;1288, dihasankan Al Albani).


5. Kehadirannya dinilai seperti amalan shalat sampai pulang ke rumahnya.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

“Jika seseorang berwudhu di rumah, kemudian mendatangi masjid, maka ia terus dicatat sebagai orang yang shalat hingga ia kembali. Maka janganlah ia melakukan seperti ini.. (kemudian beliau mencontohkan tasybik dengan jari-jarinya)” (HR. Al Hakim;744, Ibnu Khuzaimah;437, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil, 2/101).


Karena itu, Mabit di Muzdalifah dengan cara Murur adalah mabit yang dilakukan dengan cara melintas di Muzdalifah, setelah menjalani wuquf di Arafah. Artinya bahwa Jama’ah saat melewati kawasan Muzdalifah tetap berada di atas bus (tidak turun dari kendaraan), lalu bus langsung membawa mereka menuju tenda Mina. Pemerintah akan menerapkan skema Murur ini bagi jama’ah yang berisiko tinggi (risti), misalnya; lansia, disabilitas, jama’ah dengan kursi roda, serta para pendampingnya.

Dikutip dari siaran pers Majelis Tarjih Muhammadiyah, disebutkan bahwa mengingat kepadatan jama’ah haji yang semakin meningkat tiap tahunnya dan menjadi problem musiman dalam pelaksanaan ibadah haji. Pada tahun 2024, permasalahan ini kian kompleks karena 21% jama’ah haji dari Indonesia terdiri dari kelompok lanjut usia (lansia), rentan sakit, dan difabel. Kepadatan jama’ah yang dibarengi dengan sempitnya ruang gerak meningkatkan potensi masalah kesehatan bagi jama’ah lansia, rentan sakit, dan difabel.


Salah satu solusi yang diusulkan untuk mengatasi masalah kepadatan tersebut adalah skema Murur di Muzdalifah. Skema ini dirancang untuk meminimalisir potensi risiko bagi jama’ah yang rentan. Setelah wuquf di Arafah, jama’ah akan melakukan murur di Muzdalifah dengan cara melintasi lokasi tersebut saja tanpa turun dari bus.

Maksudnya mereka tetap berada di dalam bus selama perjalanan ke Muzdalifah, dan kemudian bus akan membawa mereka langsung ke Mina. “Rincian skema ini adalah: Jama’ah haji yang melintasi Muzdalifah setelah tengah malam, meskipun hanya sebentar, telah memenuhi kriteria dan syarat mabit, sehingga mabitnya sah dan tidak terkena dam isa’ah. Pandangan ini didasarkan pada prinsip taisir atau kemudahan.

Dalam kaidah hukum dikatakan: “Jika sesuatu itu dirasakan sulit maka beralih kepada yang mudah”,” demikian dikutip dari siaran pers Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.“Jika terjadi udzur syar'i, seperti kemacetan atau kondisi darurat yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan mabit, maka murur menjadi rukhshah (keringanan) tanpa membedakan waktu awal atau tengah malam, dan jama’ah tidak terkena dam isa’ah. 

Hal ini berdasarkan kaidah: ‘Apabila hukum asal sulit untuk direalisasikan, maka bisa beralih kepada pengganti’,”. ini juga didukung pula dengan kaidah kedaruratan: ‘Keadaan yang perlu penanganan khusus sama dengan kedaruratan’," 


Selain membahas murur di Muzdalifah, sidang Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga mengkaji hukum Tanazul ke hotel saat di Mina.


Tanazul ke Hotel Ketika di Mina

Jika Murur boleh dilakukan dengan ketentuan di atas, hal ini berlaku juga untuk tanazul di Mina. Dengan kata lain, setelah melontar Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijah, jama’ah haji meninggalkan tenda dan menuju hotel mereka di Makkah.

Bagi jama’ah yang memiliki udzur syar’i seperti jama’ah haji risiko tinggi, mereka dapat melaksanakan tanazul sesuai skema yang telah ditetapkan. Hal ini berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah tentang kedaruratan serta pertimbangan Maqashid Syari’ah (hifdzun nafs), yang menekankan pentingnya menjaga keselamatan dan kesehatan jiwa. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, jamaah tidak terkena dam

.

Prinsip kedaruratan yang diangkat dalam fatwa ini mencakup situasi di mana upaya memenuhi syarat-syarat ibadah secara normal dapat menimbulkan bahaya atau kesulitan yang signifikan bagi jama’ah





Murur di Musdalifah dan Tanazul ke Hotel Ketika di Mina Murur di Musdalifah dan Tanazul ke Hotel Ketika di Mina Reviewed by sangpencerah on Juni 25, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar: