Oleh. Ust. Dr.
Tamhid Masyhudi, M.Si
(Sekjen PWM Jawa Timur)
Seorang muslim seharusnya selalu
bersandar dan berkomitmen dengan keimannya, karena pengaruh dan konsekuensi
dari keimanan itu cukup luar biasa, jika kita mau mengambil hikmah dari setiap
kejadian dalam kehidupannya (kejadian itu bisa berupa mushibah, ujian maupun teguran). Karena dibalik kejadian
(menyenangkan atau tidak menyenangkan) ada suatu rencana Allah SWT yang lebiih
berharga, lebih mulia dan lebih membahagiakan dalam hidup seseorang. Namun
ironisnya kebanyakan dari manusia tidak mengetahuai apa rahasia yang akan Allah
SWT berikan kepada hambaNya. Sebagaimana firman Allah SWT:
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ
الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ
(yaitu) orang-orang yang
beriman pada yang ghaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka,(QS.al-Baqarah;2:3)
Dalam ayat di atas perintah
pertama beriman kepada yang ghaib. Sebagai konsekuensi dari
keimanan dalam hati, termasuk juga di dalamnya beriman kepada Allah SWT dengan
sesungguhnya, yaitu dengan menundukkan diri serta menyerahkannya sesuai dengan
yang diharuskan oleh iman itu. Tanda keimanan seseorang ialah melaksanakan semua yang diperintahkan
oleh imannya itu, khususnya beriman kepada
sesuatu yang ghaib. Dimana kita belum mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi dalam
hidupnya. Apa yang ghaib yaitu sesuatu yang tidak dapat
dicapai oleh panca indra. Pengetahuan tentang yang ghaib itu semata-mata berdasar kepada petunjuk-petunjuk
Allah SWT. Karena kita telah beriman kepada Allah SWT, maka
kita beriman pula kepada firman-firman dan petunjuk-petunjuk-Nya. Diantaranya yang ghaib yakni: Allah SWT, para malaikat,
hari kiamat, surga, neraka, mahsyar dan sebagainya. Jadi Pangkal iman kepada yang ghaib ialah iman kepada Allah SWT. Iman kepada Allah SWT adalah dasar dari pembentukan watak dan
sifat-sifat seseorang manusia agar dia menjadi manusia yang sebenarnya, sesuai
dengan awal maksud Allah SWT menciptakan manusia ke dunia nyata ini yaitu menyembah seutuhnya,
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ
وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku ciptakan Jin dan Manusia supaya mereka
menyembah kepadaKu” (QS. Adz-dzariyah;51:56) dan untuk memperoleh "sibghah Allah."
وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ صِبْغَةً ۖ وَنَحْنُ لَهُۥ عَٰبِدُونَ
Siapa yang lebih baik sibgah-nya daripada
Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah. (QS. al-Baqarah/2: 138)
Karena itu Iman membentuk
manusia menjadi makhluk individu dan makhluk yang menjadi anggota
masyarakatnya, suka memberi, menolong, berkorban, berjihad dan sebagainya:
itulah satu satu fungsinya, sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur’an,
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟
بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang
mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta
dan jiwanya di jalan Allah SWT. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. al-Hujurat;49:15)
Bagaimana berkomitmen dengan
keimanannya? Untuk mencari arti iman
yang benar-benarnya hendaklah kita mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. hal itu
kita perlu mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad SAW, merenungkan ciptaan
Allah SWT, menggunakan akal pikiran dan mempelajari ajaran-ajaran yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW. Iman dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Iman akan rusak bila amal
seseorang rusak dan akan bertambah jika nilai dan jumlah amal
ditingkatkan dengan menjalankan ketaatan
dengan segala potensi yang ada pada diri kita, tidak hanya beriman secara
fisik, tapi juga mental, pikiran, hati dan segenap jiwanya.
Kisah berikut cukup menjadi
inspirasi bagi kita yang sudah beriman dan yang akan memulai untuk beriman
dimana seorang shahabat Rasulullah SAW yang menderita penyakit ayan (epilepsi).
Dari kisah ini maka tidak
menutup kemungkinan kita saat ini sedang diuji dengan cobaan dapat
meneladaninya, karena kuatnya komitmen keimanan wanita ini. Ia berusaha menjaga hak-hak Allah SWT dalam
dirinya. Meski ditimpa penyakit, ia tidak putus asa akan rahmat Allah SWT dan
bersabar terhadap musibah yang menimpanya. Sebab ia mengetahui itu adalah
sesuatu yang diwajibkan oleh Allah SWT. Bahwasanya tidak ada suatu musibah apapun yang diberikan kepada hamba mukmin yang sabar kecuali akan menjadi timbangan kebaikan bagi dirinya di dunia dan juga pada hari kiamat kelak. Kondisi ini sangat berbalik arah dengan pola
kehidupan saat ini bahkan bisa kehidupan orang ke depan, faktanya; orang-orang
sekarang jika diuji dengan sebuah penyakit, bukan tambah mendekat kepada Allah
SWT, malah sebaliknya yaitu banyak menggeruto yang tidak bermanfaat, dan
menambah dosa, ujung-ujungnya putus asa, padahal putus asa sebuah larangan bagi
orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah S WT.
Sehingga tidak boleh
seorang hamba berputus asa dari rahmat Allah walau begitu banyak dosanya. “Dan
kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang
adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong
(lagi).” (QS. Az Zumar;39: 53-54).. Disamping itu ada segudang hikmah dari sebuah ujian atau cobaan yang
diiringi dengan sabar, bahkan hikmahnya tanpa batas menurut pandangan Allah SWT.
Sebagaima firmanya; dalam surat az-Zumar ayat 10,
إِنَّمَا
يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“ Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang akan diberi pahala tanpa batas.” Hanya dengan berbekal iman manusia akan benar-benar mendapatkan
tempat mulia.
Karena itu maka tujuan hidup seseorang ditentukan oleh cara
pandang memaknai hidupnya. Jika hanya berorientasikan hidup di dunia, maka
pasti akan mendapatkan hidup tersebut. Allah SWT berfirman; Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia
(dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. (QS. Hud;11:15) bahkan mereka sangat merugi kelak di akhirat
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka,
dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan
terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan. (QS.Hud;11:16)
Hal ini bisa kita ilhami dari kisah
seorang sahabat nabi yang mengidap ayan, namun sabar menghadapi cobaan yang dideritanya.
Kembali pada hal
ujian dan cobaan hidup seseorang di dunia ini, tidak akan berlalu dengan
sia-sia, selama kita dapat menyikapi dengan baik dan benar. Karena itu semua
akan ada hikmah dan faedah yang lebih baik untuk kehidupan manusia. Sebagai
faedah dari kisah wanita ini diantaranya;
Mengambil hikmah dari setiap kisah baik dari
dirinya atau orang lain, bahkan boleh menceritakan ujiannya untuk meminta
support dan do’a, seperti dialog dalam hadits di atas. Bahwa penyakit ayan
(epilepsi) merupakan salah satu cobaan dan ujian yang menimpa manusia; lebi
memperhatikan rasa malu ang harus dimiliki khususnya wanita yang sudah menjadi
barang langka pada wanita zaman sekarang ini; misal; terbukanya aurat tanpa
sengaja karena udzur syar’i termasuk salah satu hal yang dimaafkan dari seorang
hamba; dan sangat berbeda dimasa sekarang dan yang akan datang, bahwa rasa malu
sudah bukan lagi tabu, tapi berganti hura-huru, buka aurat bukan lagi hargadiri
tapi kebanggan diri, bahkan dipamerkan dimana-mana, Subhanallah. Dan sifat
orang di zaman ini sangat rendah sifat sabarnya saat mendapat sedikit ujian,
terbukti banyak sambat di postingan status hp, dengan melupakan Allah SWT, dan
menjauh dariNya.
Karen itu jadilah orang cerdas dalam hidup ini
sperti wanita dalam hadits di atas, yang
mana dia lebih memilih untuk bersabar dan mendapatkan jaminan Surga daripada
didoakan kesembuhan dari Rasulullah SAW, karena do’a beliau Mustajab untuk
umatnya. Dan kita bisa minta do’a kepada orang shaleh (baik), bukan pada orang
thaleh (salah). Semoga bermafaat.
Tidak ada komentar: