KONTEKSTUALITAS HIJRAH DALAM TRANSFORMASI KEHIDUPAN

 Kontekstualitas Hijrah dalam Transformasi Kehidupan
Oleh. Ust. Ahmad Fatoni, Lc., M.Ag.
Dosen BA-UMM dan CMM:88

 



Umat Islam seluruh dunia, khususnya di Indonesia memperingati Tahun Baru Hijriyah pada 1 Muharram 1446 H yang bertepatan dengan 7 Juli 2024 yang lalu, Setiap peringatan Tahun Baru Hijriyah dapat dijadikan titik pijakan melakukan transformasi dalam segala aspek menuju perbaikan perilaku kehidupan.

Peristiwa hijrah, meskipun atas skenario Allah SWT, ia sebuah proses manusiawi yang penuh dengan semangat perjuangan Rasulullah SAW untuk diteladani generasi berikutnya. Melihat kondisi Makkah masa itu yang tidak lagi kondusif bagi perkembangan dakwah Islam, Rasulullah SAW lalu keluar menuju Madinah sebagai basis gerakan yang siap dihuni oleh kaum muslim.

Hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabatnya bukanlah pengorbanan yang ringan. Banyak di antara mereka menghadapi siksaan di tanah kelahirannya harus berpindah ke kota lain yang tidak dikenal dan masih samar akan masa depan mereka. Di saat yang sama, mereka harus meninggalkan rumah dan harta benda yang tidak mungkin dibawa. Dengan kekuatan iman, mereka menempuh perjuangan yang amat melelahkan.

Saat ini, umat Islam tidak perlu berjalan jauh sejauh lebih kurang 500 KM dari Makkah menuju Madinah. Umat Islam sekarang senyatanya bisa beribadah dengan tenang dan berdakwah dengan leluasa tanpa gangguan yang berarti. Namun sayangnya, kemudahan yang telah diberikan Allah yang Maha Pemurah kurang disyukuri. Banyak yang mengaku sebagai muslim tetapi malas beribadah. Sementara kaum mudanya banyak yang terlena dalam gaya hidup hedonis dan kenikmatan sesaat.

Bagi umat Islam di Indonesia, sudah tidak relevan lagi berhijrah berbondong-bondong seperti hijrahnya Rasululullah SAW dan para sahabat, mengingat negeri ini adalah tempat yang aman, negeri yang menjamin kebebasan untuk menjalankan agama. Hijrah yang perlu dilakukan ialah hijrah dalam makna “hijratun nafsiah” dan “hijratun amaliyah” yaitu perpindahan secara spiritual dan intelektual, perpindahan dari kekufuran kepada keimanan dengan meningkatkan semangat dan kesungguhan dalam beribadah, perpindahan dari kebodohan kepada peningkatan ilmu pengetahuan dengan mendatangi majelis-majelis ilmu, perpindahan dari kemiskinan kepada kecukupan secara ekonomi dengan kerja keras dan tawakal.

 

Makna Kontekstual Hijrah

Jamak dimaklumi, ada perbedaan yang sangat mencolok antara perayaan Tahun Baru Hijriyah dan penyambutan Tahun Baru Masehi. Tahun baru Islam tersebut umumnya dirayakan biasa-biasa saja, jauh dari suasana meriah. Adapun Tahun Baru Masehi disambut begitu semarak, termasuk oleh masyarakat muslim sendiri. Di awal tahun baru Masehi, hal yang ditonjolkan hanya pada aspek keduniawian saja. Banyak orang yang terlena oleh gebyar pergantian Tahun Baru Masehi. Mereka berhura-hura semalam suntuk hingga terbit matahari.

Dalam merayakan Tahun Baru Hijriyah, umat Islam cukup melakukannya dengan penyadaran diri sembari merenungkan apa yang telah dilakukan dalam kurun waktu setahun yang telah berlalu. Tahun Baru Hiriyah dimaknai bukan sebatas “warisan” keagamaan leluhur. Arti hakiki dari peringatan itu lebih ditekankan pada pembenahan kualitas diri. Ajaran moral, spiritual, dan sosial sebagaimana Rasulullah SAW contohkan mestinya menjadi guide-lines bagi kaum muslim agar praktik keberagamaan yang dijalankan tidak melenceng dari garis besar panduan agama. Keteladanan beliau tidak akan terserap jika hanya dijadikan kegiatan-kegiatan perayaan, sedangkan sunnah-sunnah beliau diabaikan. 

Hijrah secara maknawi selalu kontekstual sampai kapan pun. Hijrah bukan sekadar aktivitas fisik, namun bagaimana memperjuangkan nilai-nilai luhur sehingga terwujud suatu masyarakat beradab dan sejahtera lahir maupun batin. Nilai dan semangat hijrah menghendaki perubahan dari kejahiliyahan menuju pencerahan. Hijrah dari kekufuran menuju keimanan. Hijrah dari kesyirikan menuju ketauhidan. Hijrah dari kamaksiatan menuju ketaatan. Hijrah dari jalan setan menuju jalan Tuhan.

Mengutip pendapat pakar leksikografi Al-Quran, Raghib al-Isfahani (w 502 H/1108 M), istilah hijrah menurutnya mengandung tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri yang penduduknya sangat tidak bersahabat, bahkan cenderung memusuhi menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS. Al-Ankabût: 26).

Ketiga, meninggalkan semua bentuk narsisme dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara menundukkan hawa nafsu (mujahadat an-nafs). Sungguh tepat ketika Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan segala yang dibenci Allah.” (HR. Al-Bukhari). Intinya, hijrah adalah meninggalkan semua kebiasaan buruk yang mencederai kenyamanan sesama manusia dan kelestarian lingkungan sekitar.

Dengan kata lain, Tahun Baru Hijriyah merupakan tahun transformasi atau perubahan. Tak terbayangkan andai bukan karena jasa besar Nabi Muhammad SAW yang mengawali karier kemasyarakatannya di Madinah, sangat boleh jadi masyarakat madani atau civil society belum mewujud seperti yang dikenal saat ini. Hal itu diakui ilmuwan Barat seperti Marshall GS Hodgson dalam karya monumentalnya, “The Venture of Islam, Concience and History in a World Civilization.”

 

Hijrah dan Transformasi Kehidupan

Tahun Baru Hijriyah sejatinya melecut spirit kebersamaan melakukan transformasi di berbagai lini kehidupan. Sebagai khalifah di muka bumi, kaum muslim dituntut mewujudkan nilai-nilai transformatif yang terkandung dalam semangat hijrah sehingga fungsi agama Islam tidak terkesan “mati gaya” ketika berhadapan dengan tantangan zaman. Di tengah kesemrawutan hidup, peran agama diperlukan sebagai kekuatan yang dapat menawarkan solusi.

Sebuah fakta ilustratif, andaikan perjalanan bangsa-bangsa dalam sejarah peradaban manusia sebagai rangkaian gerbong kereta api yang sedang melaju, umat Islam sedang berada di gerbong paling belakang dan lokomotif yang ada di depannya adalah negara-negara maju di bidang sains dan teknologi. Umat Islam yang ada pada gerbong belakang tidak tahu akan dibawa ke mana, bahkan tidak mengetahui rute yang akan dilalui selanjutnya.

Dalam konteks pergantian Tahun Baru Hijriyah, momentum ini dapat dijadikan bahan evaluasi transendental guna melakukan transformasi diri dalam setiap langkah kehidupan. Jika Tahun Baru Hijriyah hanya dijadikan ritual seremonial belaka, fungsi Islam sebagai problem solver, seolah jauh panggang dari api.

Nilai-nilai keislaman diharapkan dapat menciptakan kondisi sosial yang terhormat dan sejahtera sesuai dengan semangat hijrah. Pergantian tahun baru dalam Islam hendaknya melahirkan kesadaran publik, terutama di kalangan pemimpin, agar krisis multidimensi yang mendera bangsa ini terkikis habis. Semangat hijrah kekinian hendaknya mendorong kesadaran transformatif demi membebaskan masyarakat yang semakin terlilit dalam berbagai kesulitan hidup.

Persoalannya, mengapa umat Islam saat ini masih terjerat dalam berbagai problem sosial walaupun peringatan hijrah selalu dikaitkan dengan perbaikan dan perubahan? Salah satu jawabannya adalah tahapan transformasi sosial dalam umat ini belum berjalan secara optimal. Seremoni peringatan Tahun Baru Hijriyah masih dalam tataran wacana pelengkap sambutan, pidato atau ceramah di mimbar-mimbar dakwah, sehingga kehilangan konteksnya.

Melalui peringatan Tahun Baru Hijriyah, umat Islam perlu meningkatkan kualitas diri dengan penyegaran-penyegaran rohani, melakukan hijrah kepada otentisitas ajaran Islam serta membumikannya dalam kehidupan sosial. Semoga perayaan Tahun Baru Hijriyah pada tahun ini dapat dijadikan media kontemplatif yang dapat menggugah kesadaran kaum muslim untuk menggenapi syarat sebagai umat yang bermartabat dan berkemajuan.

Momentum Tahun Baru 1446 Hijriyah semestinya menjadi tonggak perubahan. Saatnya setiap elemen bangsa negeri ini mengubah diri dari pemalas menjadi pejuang, dari pecundang menjadi pemenang, dari mental korup menjadi bermental amanah dan ujur. Perubahan yang esensial dalam setiap diri niscaya memberikan dampak positif bagi pribadi yang bersangkutan serta akan berpengaruh luas dalam tatanan kehidupan sosial.  


KONTEKSTUALITAS HIJRAH DALAM TRANSFORMASI KEHIDUPAN  KONTEKSTUALITAS HIJRAH DALAM TRANSFORMASI KEHIDUPAN Reviewed by sangpencerah on Juli 17, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar: