Umat Islam seluruh dunia, khususnya di Indonesia
memperingati Tahun Baru Hijriyah pada 1 Muharram 1446 H yang bertepatan dengan
7 Juli 2024 yang lalu, Setiap peringatan Tahun Baru Hijriyah dapat dijadikan
titik pijakan melakukan transformasi dalam segala aspek menuju perbaikan
perilaku kehidupan.
Peristiwa hijrah, meskipun atas skenario
Allah SWT, ia sebuah proses manusiawi yang
penuh dengan semangat perjuangan Rasulullah SAW untuk diteladani generasi berikutnya. Melihat kondisi Makkah masa itu yang
tidak lagi kondusif bagi perkembangan dakwah Islam, Rasulullah SAW lalu keluar
menuju Madinah sebagai basis gerakan yang siap dihuni oleh kaum muslim.
Hijrah yang dilakukan
Rasulullah SAW dan para sahabatnya bukanlah pengorbanan yang ringan. Banyak di antara mereka menghadapi siksaan di tanah kelahirannya harus berpindah ke kota lain yang tidak dikenal dan masih samar akan masa depan mereka. Di saat yang sama, mereka harus meninggalkan rumah dan harta benda yang tidak mungkin dibawa. Dengan
kekuatan iman, mereka menempuh perjuangan yang amat melelahkan.
Saat ini, umat Islam tidak perlu
berjalan jauh sejauh lebih kurang 500 KM dari Makkah menuju Madinah. Umat Islam sekarang
senyatanya bisa beribadah dengan tenang dan berdakwah dengan leluasa tanpa
gangguan yang berarti. Namun sayangnya, kemudahan yang telah diberikan Allah
yang Maha Pemurah kurang disyukuri. Banyak yang mengaku sebagai muslim tetapi
malas beribadah. Sementara kaum mudanya banyak yang terlena dalam gaya hidup
hedonis dan kenikmatan sesaat.
Bagi umat Islam di Indonesia, sudah tidak relevan lagi
berhijrah berbondong-bondong seperti hijrahnya Rasululullah SAW dan para sahabat, mengingat negeri ini adalah tempat yang aman, negeri yang menjamin kebebasan untuk menjalankan agama. Hijrah yang perlu
dilakukan ialah hijrah dalam makna “hijratun nafsiah” dan “hijratun amaliyah” yaitu perpindahan secara spiritual dan
intelektual, perpindahan dari kekufuran kepada keimanan dengan meningkatkan
semangat dan kesungguhan dalam beribadah, perpindahan dari kebodohan kepada
peningkatan ilmu pengetahuan
dengan mendatangi
majelis-majelis ilmu, perpindahan dari
kemiskinan kepada kecukupan secara ekonomi dengan kerja keras dan tawakal.
Makna Kontekstual Hijrah
Jamak dimaklumi, ada perbedaan yang
sangat mencolok antara perayaan Tahun Baru Hijriyah dan penyambutan Tahun Baru
Masehi. Tahun baru Islam tersebut umumnya dirayakan biasa-biasa saja,
jauh dari suasana meriah. Adapun Tahun Baru Masehi disambut begitu semarak,
termasuk oleh masyarakat muslim sendiri. Di awal tahun baru Masehi, hal yang ditonjolkan hanya pada aspek keduniawian saja. Banyak orang yang terlena oleh gebyar pergantian Tahun Baru Masehi. Mereka berhura-hura semalam suntuk hingga terbit matahari.
Dalam merayakan Tahun Baru Hijriyah,
umat Islam cukup melakukannya dengan penyadaran diri sembari merenungkan apa
yang telah dilakukan dalam kurun waktu setahun yang telah berlalu. Tahun Baru Hiriyah dimaknai bukan sebatas “warisan” keagamaan leluhur. Arti
hakiki dari peringatan itu lebih ditekankan pada pembenahan kualitas diri. Ajaran moral,
spiritual, dan sosial sebagaimana Rasulullah SAW contohkan mestinya menjadi guide-lines
bagi kaum muslim agar
praktik keberagamaan yang dijalankan tidak melenceng dari garis besar panduan
agama. Keteladanan beliau tidak akan terserap jika hanya dijadikan
kegiatan-kegiatan perayaan, sedangkan sunnah-sunnah beliau diabaikan.
Hijrah secara maknawi selalu kontekstual sampai kapan pun. Hijrah bukan sekadar aktivitas fisik, namun bagaimana
memperjuangkan nilai-nilai luhur sehingga terwujud suatu masyarakat beradab dan
sejahtera lahir maupun batin. Nilai dan semangat hijrah menghendaki perubahan dari kejahiliyahan menuju pencerahan. Hijrah
dari kekufuran menuju keimanan. Hijrah
dari kesyirikan menuju ketauhidan. Hijrah
dari kamaksiatan menuju ketaatan. Hijrah dari jalan setan menuju jalan Tuhan.
Mengutip
pendapat pakar leksikografi Al-Quran, Raghib
al-Isfahani (w 502 H/1108 M), istilah hijrah menurutnya mengandung tiga
pengertian. Pertama, meninggalkan negeri
yang penduduknya sangat tidak bersahabat, bahkan cenderung memusuhi menuju
negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan
dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS. Al-Ankabût:
26).
Ketiga, meninggalkan
semua bentuk narsisme dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara
menundukkan hawa nafsu (mujahadat an-nafs). Sungguh tepat ketika Nabi
Muhammad SAW menyatakan, “Orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan
segala yang dibenci Allah.” (HR. Al-Bukhari). Intinya, hijrah adalah
meninggalkan semua kebiasaan buruk yang mencederai kenyamanan sesama manusia
dan kelestarian lingkungan sekitar.
Dengan
kata lain, Tahun Baru Hijriyah merupakan tahun transformasi atau perubahan. Tak
terbayangkan andai bukan karena jasa besar Nabi Muhammad SAW yang mengawali
karier kemasyarakatannya di Madinah, sangat boleh jadi masyarakat madani atau civil
society belum mewujud seperti yang dikenal saat ini. Hal itu diakui ilmuwan
Barat seperti Marshall GS Hodgson dalam karya monumentalnya, “The Venture of
Islam, Concience and History in a World Civilization.”
Hijrah dan Transformasi Kehidupan
Tahun
Baru Hijriyah sejatinya melecut spirit kebersamaan melakukan transformasi di
berbagai lini kehidupan. Sebagai khalifah di muka bumi, kaum muslim dituntut
mewujudkan nilai-nilai transformatif yang terkandung dalam semangat hijrah
sehingga fungsi agama Islam tidak terkesan “mati gaya” ketika berhadapan dengan
tantangan zaman. Di tengah kesemrawutan hidup, peran agama diperlukan sebagai
kekuatan yang dapat menawarkan solusi.
Sebuah
fakta ilustratif, andaikan perjalanan bangsa-bangsa dalam sejarah peradaban
manusia sebagai rangkaian gerbong kereta api yang sedang melaju, umat Islam
sedang berada di gerbong paling belakang dan lokomotif yang ada di depannya
adalah negara-negara maju di bidang sains dan teknologi. Umat Islam yang ada
pada gerbong belakang tidak tahu akan dibawa ke mana, bahkan tidak mengetahui
rute yang akan dilalui selanjutnya.
Dalam
konteks pergantian Tahun Baru Hijriyah, momentum ini dapat dijadikan bahan evaluasi transendental guna melakukan
transformasi diri dalam setiap langkah kehidupan. Jika Tahun Baru Hijriyah hanya dijadikan ritual
seremonial belaka, fungsi Islam sebagai problem solver, seolah jauh
panggang dari api.
Nilai-nilai
keislaman diharapkan dapat menciptakan kondisi sosial yang terhormat dan
sejahtera sesuai dengan semangat hijrah. Pergantian tahun baru dalam Islam
hendaknya melahirkan kesadaran publik, terutama di kalangan pemimpin, agar
krisis multidimensi yang mendera bangsa ini terkikis habis. Semangat hijrah
kekinian hendaknya mendorong kesadaran transformatif demi membebaskan masyarakat
yang semakin terlilit dalam berbagai kesulitan hidup.
Persoalannya, mengapa
umat Islam saat ini masih terjerat dalam berbagai problem
sosial walaupun peringatan hijrah selalu
dikaitkan dengan perbaikan dan perubahan? Salah satu jawabannya adalah tahapan transformasi sosial dalam umat ini
belum berjalan secara optimal. Seremoni peringatan Tahun Baru Hijriyah masih dalam tataran
wacana pelengkap sambutan, pidato atau ceramah di mimbar-mimbar dakwah,
sehingga kehilangan konteksnya.
Melalui peringatan Tahun Baru
Hijriyah, umat Islam perlu meningkatkan kualitas diri dengan
penyegaran-penyegaran rohani, melakukan hijrah kepada otentisitas ajaran Islam
serta membumikannya dalam kehidupan sosial. Semoga perayaan Tahun Baru Hijriyah
pada tahun ini dapat dijadikan media kontemplatif yang dapat menggugah
kesadaran kaum muslim untuk menggenapi syarat sebagai umat yang bermartabat dan
berkemajuan.
Momentum
Tahun Baru 1446 Hijriyah semestinya menjadi tonggak perubahan. Saatnya setiap
elemen bangsa negeri ini mengubah diri dari pemalas menjadi pejuang, dari
pecundang menjadi pemenang, dari mental korup menjadi bermental amanah dan
ujur. Perubahan yang esensial dalam setiap diri niscaya memberikan dampak
positif bagi pribadi yang bersangkutan serta akan berpengaruh luas dalam
tatanan kehidupan sosial.
Tidak ada komentar: