Dewasa ini, kita sering mendapati
berbagai istilah pakaian muslimah di masyarakat, mulai dari jilbab syar’i,
hijab halal, hingga pakaian hijrah/niqab bahkan cadar. Kesemuanya mengarah pada
model, ukuran, dan bentuk tertentu. Sebagian kalangan berpandangan bahwa ukuran
keshalehan perempuan pertama kali dilihat dari pakaiannya; semakin lebar,
panjang, dan tertutup pakaian yang digunakan untuk menutup tubuhnya menandakan
bahwa si pemakai adalah muslimah sejati dan paripurna/kaffah keimanannya.
Sehingga memenuhi syarat hijrah, “hijrah” dianggap tidak cukup memakai hijab
yang segi empat dan ukuran sedang atau yang biasa digunakan sehari-hari.
Kewajiban Menutup Aurat
Setiap muslim berkewajiban menutup aurat
didasarkan pada QS. an-Nur [24]: 30-31 dan QS. al-Ahzab [33]: 59. QS.an-Nur
[24]: 30- 31 merupakan ayat yang berkaitan dengan mahram. Adapun QS.al-Ahzab
[33]: 59 adalah ayat berkaitan dengan pemakaian busana muslimah.
Dari asbabun nuzul, turunnya QS. an-Nur
[24]: 30 diawali oleh adanya riwayat dari Ali bin Abi Thalib yang mengatakan
bahwa pada masa Rasulullah SAW., ada seorang laki-laki yang berjalan di
Madinah, kemudian ia melihat seorang perempuan, dan perempuan itupun
melihatnya. Lalu setan pun menggoda keduanya sehingga keduanya saling pandang
karena terpikat. Maka ketika laki-laki tersebut mendekati suatu tembok untuk
melihat perempuan tersebut, hidungnya tersentuh tembok hingga luka. Lalu ia
bersumpah, “demi Allah saya tidak akan membasuh darah ini hingga bertemu
Rasulullah SAW. dan memberi tahu kepadanya tentang masalahku”. Laki-laki
itu kemudian datang kepada Rasulullah SAW dan menceritakan peristiwa yang
dialaminya. Lalu bersabdalah beliau SAW: “Itu adalah balasan dosamu”,
lalu turunlah QS. anNur [24]: 30. Riwayat ini ditakhrijkan oleh Ibnu Mirdawaih.
Adapun asbabun nuzul, QS an-Nur [24]: 31
ialah sebagai berikut: ketika Asma’ binti Marsad berada di kebun kurmanya, ia
didatangi oleh beberapa perempuan dengan tidak memakai izar (kain), sehingga
tampaklah gelang kaki dan dada mereka. Maka berkatalah Asma’ binti Marsad, “Itu
tidak baik.”. Riwayat ini di-takhrijkan oleh Ibnu Katsir dari Muqatil Ibnu
Hibban dari Jabir ibnu Abdillah al-Ansariy yang mendengar Jabir ibnu Abdillah
al-Ansariy menceritakan riwayat tersebut. Adapun sabab diturunkannya QS.
al-Ahzab [33]: 59 yaitu ketika istri Rasulullah SAW. dan para perempuan muslimah
keluar malam untuk suatu keperluan, mereka sering diganggu oleh para laki-laki
yang duduk di pinggir jalan. Peristiwa tersebut kemudian dilaporkan kepada
Rasulullah SAW. Namun ayat ini berlaku untuk seluruh kaum mukmin. Pada QS.
an-Nur [24]: 30-31, Perempuan muslimah tidak diperbolehkan untuk menampakkan
perhiasannya kecuali yang biasa tampak, selain kepada mahramnya. Jika perhiasan
tersebut nampak tanpa sengaja, maka tidak mengapa, Allah Maha Pengampun. Hal
ini berkaitan dengan kebiasaan perempuan berpakaian di masa jahiliyah yang suka
membuka bagian leher, dada, dan lengannya, bahkan sebagian tubuhnya hanya
sekadar menyenangkan laki-laki hidung belang.
Penafsiran yang berbeda dari para
madzhab. as-Syafi`iyyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa seluruh tubuh
perempuan adalah aurat, dengan alasan bahwa QS. an-Nur [24]: 31 tegas melarang
memperlihatkan perhiasannya. Mereka membagi zinah (perhiasan) menjadi
dua macam, yaitu: (a) zinah khalqiyyah (perhiasan yang berasal dari
penciptaan Allah SWT), seperti wajah. Ia adalah asal keindahan dan menjadi
sumber fitnah, dan; (b) zinah muktasabah (perhiasan yang dibuat
manusia), seperti baju, gelang, dan bedak.
Ayat tersebut mengharamkan kepada
perempuan menampakkan perhiasan secara mutlak, baik zinah khalqiyyah
maupun zinah muktasabah. Perempuan haram menampakkan sebagian anggota
badannya atau perhiasaannya di hadapan laki-laki. Illa ma dzahara minha
(kecuali apa yang biasa tampak daripadanya) mereka takwilkan dengan menampakkan
tanpa sengaja, seperti tersingkap karena angin, baik wajah atau anggota badan
lainnya, sehingga makna ayat tersebut menjadi “janganlah mereka menampakkan
perhiasannya selama-lamanya”.
Hadis riwayat Ibnu Abbas ra, ia
menceritakan bahwa Nabi SAW. memboncengkan al-Fadl Ibnu Abbas di belakangnya
pada hari Nahr, dia adalah orang yang bagus rambutnya dan berkulit putih.
Ketika itu datanglah seorang perempuan meminta fatwa kepada beliau, kemudian
al-Fadl melihatnya dan perempuan itupun melihat al-Fadl. Lalu Rasulullah SAW.,
memalingkan wajah al-Fadl ke arah lain… (ditakhrijkan oleh Bukhari, dari Ibnu
Abbas, Bab Haji Wada’).
Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat
bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat kecuali wajah dan dua tapak tangan
dengan alasan QS. an-Nur [24]: 31 mengecualikan apa yang biasa tampak, wajah
dan dua telapak tangan. Pendapat tersebut dinukil dari sebagian sahabat dan
tabi’in. Sa’id bin Jabir bahwa yang dimaksud dengan apa yang biasa tampak
adalah wajah dan dua telapak tangan, juga hadis yang ditakhrijkan oleh Abu
Dawud dari ‘Aisyah ra. ketika Asma’ binti Abi Bakar menghadap Rasulullah SAW.
dengan pakaian yang tipis. Kemudian Rasulullah SAW berpaling daripadanya dan
bersabda, “Hai Asma’, sesungguhnya apabila perempuan itu sudah sampai masa
haid, tidaklah boleh dilihat sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini”, dan beliau
menunjuk kepada muka dan kedua tapak tangannya.
Dalil yang memperkuat pendapat bahwa
wajah dan dua telapak tangan adalah bukan aurat, ialah bahwa dalam melakukan
shalat dan ihram, perempuan harus membuka wajah dan dua telapak tangannya.
Seandainya kedua anggota badan tersebut termasuk aurat, pasti tidak
diperbolehkan membuka keduanya pada waktu mengerjakan salat dan ihram, sebab
menutup aurat adalah wajib, tidaklah sah salat atau ihram seseorang jika
terbuka auratnya.
Dua pandangan dan penafsiran yang
berbeda ini menandakan tafsir tentang batasan aurat perempuan yang harus
ditutup tidaklah satu atau tunggal. Jika demikian, bagaimana sebenarnya
ketentuan berbusana muslimah sesuai ajaran Islam dan tentu sudah termasuk
memenuhi ketentuan syar’i, sedangkan bentuk dan model busana juga sangat
dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan tertentu? Dalam Adabul Mar’ah fil Islam,
Keputusan Muktamar Lajnah Tarjih tahun 1972 yang ditanfidz pada tahun 1976,
dinyatakan bahwa sebagai makhluk terhormat dan mulia, manusia memiliki rasa
kehormatan, rasa malu, dan mengerti bagian tubuh yang tidak pantas
diperlihatkan, dan ini merupakan anugerah Allah Swt.
Bagian tubuh perempuan muslimah yang
boleh terlihat adalah wajah dan kedua telapak tangan (punggung dan tapak
tangan), salah satunya adalah hadis riwayat Abu Dawud. Rasulullah SAW.
bersabda: “Wahai Asma, sesungguhnya seorang perempuan itu jika sudah haid
(sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau
menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya (HR. Abu Dawud).
Hadis lain adalah hadis riwayat Ibnu
Jarir At-Thabrani dari Abu Qatadah, hadis riwayat Abu Dawud, dan hadis riwayat
At-Thabrani dan ‘Aisyah ra. Tuntunan berpakaian adalah kesopanan dan menurut
kebutuhan dalam pergaulan. Patut atau tidak patutnya adalah sangat tergantung
kepada keadaan yang memakainya.
Bagaimana dengan Cadar
Bagaimana dengan pemakaian niqab/cadar
dituangkan dalam tiga fatwa Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada
fatwa pertama Masalah Wanita, Majelis Tarjih memberikan tanggapan pada
pertanyaan bagaimanakah hukumnya perempuan memakai cadar dan apakah ada
tuntunannya dalam al-Qur’an dan hadis, dengan mengemukakan QS.an-Nur [24]: 31,
QS. al-Ahzab [33]: 59, dan hadis riwayat Abu Dawud dari ‘Aisyah ra., tentang
batas aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan,
sebagai dasar. Dari ketiga dalil/nash tersebut tidak mengisyarakatkan perintah
pemakaian cadar.
Pada fatwa kedua, ditanyakan tentang
kewajiban menutup aurat bagi perempuan muslimah di Indonesia serta batas-batas
aurat yang harus ditutupi, dan apakah derajat wajibnya itu seperti wajibnya
shalat lima waktu. Si penanya adalah seorang laki-laki bermukim di Makkah al-Mukarramah.
dalil yang dijadikan sumber sama dengan fatwa pertama. Yaitu bahwa pendapat
aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah
lebih kuat, dan pendapat tersebut lebih sesuai bagi muslimah di Indonesia.
Sekalipun demikian, menutup wajah dan telapak tangan tidaklah terlarang,
Pada fatwa ketiga, adalah hukumnya cadar
dan jenggot menurut al-Qur’an dan hadis, apakah semua istri Nabi Muhammad
memakai cadar, dan apakah orang yang tidak memakai cadar dan jenggot itu ingkar
sunnah. Menjawab pertanyaan pertama, Majelis Tarjih merujuk pada fatwa pertama,
yang dituntunkan syariat Islam bagi perempuan adalah memakai jilbab, bukan
cadar. Menjawab pertanyaan kedua, Majelis Tarjih mengemukakan bahwa banyak para
sahabat perempuan (shahabiyaat) tidak bercadar atau menutupi wajah dan kedua
telapak tangan.
Salah satu riwayat menceritakan tentang
kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi SAW. yang diceritakan
bahwa pipi perempuan tersebut merah kehitam-hitaman. Ini artinya Bilal dapat
melihat wajah perempuan tersebut. Pertanyaan ketiga dijawab oleh Majelis Tarjih
bahwa tidak bercadar dan berjenggot tidaklah tergolong ingkar sunnah, karena
yang dimaksud dengan ingkar sunnah adalah orang-orang yang tidak mempercayai
sunnah Nabi SAW dan hanya mengamalkan apa yang termaktub dalam al-Qur’an saja.
Dari berbagai pandangan termasuk
Muhammadiyah atas dalil pemakaian busana muslimah, jelaslah bahwa muslimah
memakai kerudung hingga menutup dada itu sudah memenuhi ketentuan menutup
aurat, dengan model pakaian yang sesuai. Dengan prinsip wasathiyah, tidak
kurang tetapi juga tidak berlebih-lebihan sehingga tidak terjebak pada ghuluw
(sikap berlebihan) dalam memahami dan mengamalkan agama yang akhirnya justru
tidak sesuai dengan prinsip Islam itu sendiri. Model dan warna busana (pakaian
dan kerudung) dapat beragam tergantung dari kenyamanan dan kebiasaan si pemakai
sepanjang masih memenuhi ketentuan agama.
Tidak ada komentar: