KESETARAAN PEREMPUAN TIDAK TERBATAS

 KESETARAAN PEREMPUAN TIDAK TERBATAS
Oleh. Ustd. Dr. Apt. Salmah Orbayyinah, M. Kes, Apt
Ketua Umum PP Aisyiyah

 



Dalam kesempatan Hari Perempuan Dunia atau Internasional Women Day (IWD), Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah, Salmah Orbayinah mengatakan kesetaraan gender di Muhammadiyah bukan sebatas wacana, tetapi sudah diaktualisasikan dalam gerakan ‘Aisyiyah sebagai ortom Muhammadiyah.

Artinya tidak ada dikotomi dan ketidaksetaraan gender di Persyarikatan Muhammadiyah. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan peran yang sama dalam menggerakkan dan memajukan masyarakat. Hal itu sebagaimana yang telah diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan.

 

Sejak awal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan telah diletakkan oleh Kiai Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah. Dalam bidang dakwah, perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk beramar ma’ruf nahi munkar sekaligus menjadi mujadidah dengan potensi yang mereka miliki. “karena tidak ada diskriminasi dalam Islam.” termasuk dalam pemanfaatan teknologi. Mengingat dunia teknologi informasi saat ini berkembang dengan pesat, serta menjadi elan vital perkembangan umat manusia.

Perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama untuk maju, untuk mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki, artinya keduanya memiliki akses yang sama untuk berinovasi dan berliterasi digital untuk mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi,” Islam, memberi ruang dan kesempatan setara kepada laki-laki dan perempuan yang beriman dan beramal shalih untuk meraih kehidupan yang baik (hayatan thayyiban) melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. ‘Aisyiyah juga terus mendorong adanya pemerataan akses literasi dan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam keterlibatan untuk mengelola teknologi digital.

“Oleh karena itu pemerataan literasi dan membangun lingkungan digital yang aman mutlak diperlukan untuk mewujudkan pemanfaatan teknologi digital bagi semua,

 

Pondasi Peran Perempuan

Perempuan dapat menjadi agen perdamaian dan toleransi, peningkatkan peran perempuan dalam isu peace and security, perdamaian dan keamanan saat ini menjadi salah satu prioritas politik luar negeri Indonesia dan Indonesia sangat aktif dalam isu women, peace, and security. Indonesia juga sangat aktif memperjuangkan hak-hak perempuan termasuk akses pendidikan bagi kaum perempuan.” Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi saat menyampaikan keynote speech-nya dalam kegiatan Tasyakur Milad ke-115 ‘Aisyiyah dan Halal Bihalal.

 

Dalam acara yang diikuti oleh lebih dari seribu undangan tersebut Retno menyampaikan tiga pondasi yang harus dipersiapkan untuk dapat memperkuat posisi perempuan sebagai agen perubahan pembangunan, agen perdamaian, maupun agen toleransi.

Pertama, menguatkan pendidikan. “Dalam hal ini Muhammadiyah ‘Aisyiyah memiliki peran yang sangat penting dalam memajukan pendidikan. Pendidikan tidak hanya memperbaiki kualitas individu melainkan juga kualitas masyarakat, inilah awal terciptanya suatu bangsa yang beradab.” Retno menyampaikan bahwa Ilmu pengetahuan dapat membuka cakrawala perempuan dalam berbagai bidang.

Beberapa data di Indonesia menunjukkan betapa jumlah perempuan yang meraih pendidikan sedikit lebih unggul jika dibandingkan laki-laki. “Data BPS pada tahun 2021 98% perempuan berhasil menyelesaikan pendidikan dasar, sedikit lebih tinggi dari laki-laki yang berjumlah 97%. Kemudian sepuluh dari 100 perempuan juga telah menamatkan perguruan tinggi. Hal ini tidak lepas dari kontribusi dan peran lembaga pendidikan, organisasi masyarakat seperti ‘Aisyiyah dan saya sangat mengapresiasi ‘Aisyiyah yang sejak didirikan lebih dari satu abad yang lalu telah konsisten mendorong akses pendidikan formal dan nonformal bagi masyarakat Indonesia.”

 

Kedua, komitmen. Keterwakilan perempuan di berbagai organisasi serta sektor eksekutif, legislatif, dan yudikatif penting untuk di dorong. setidaknya keterwakilan 30% perempuan untuk dapat mempengaruhi suatu kebijakan. Rendahnya keterwakilan perempuan tentu akan mempengaruhi perannya dalam melahirkan kebijakan yang responsif pada isu gender ini adalah tantangan yang masih dihadapi seluruh dunia.”

 

Ketiga, sosial kemasyarakatan. “Berkaca pada diri sendiri, sulit rasanya sampai pada posisi sekarang ini tanpa dukungan dari keluarga. Mengembangkan sebuah kemitraan yang baik dengan kaum laki-laki penting sekali sehingga dapat tercipta sebuah enabling environmnet yang mampu mendukung kemajuan kaum perempuan,”. Dalam Milad ke-115th ini, Retno berharap ‘Aisyiyah akan semakin terus menguatkan kiprahnya dalam mengemban misi mengangkat harkat dan martabat perempuan Indonesia.

 

Gerakan Perempuan

Kyai Ahmad Dahlan membuat terobosan dengan pemakaian bangku di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Ketika Khutbah Jumat masih menggunakan bahasa Arab, Muhammadiyah berani menganjurkan penggunaan bahasa Indonesia dan tidak jarang menggunakan bahasa setempat agar isi khutbah tersebut bisa dipahami oleh masyarakat. KH. Ahmad Dahlan dikenal sebagai Kyai yang moderat yang  cenderung melawan arus pada zamannya, dan tidak sedikit  masyarakat yang mengkritik pemahaman beliau tentang Islam pada masa itu. Islam sering dituduh telah memberi legitimasi terhadap penyempitan peran perempuan hingga kekerasan terhadap perempuan. Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang cukup mapan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Kiai Ahmad Dahlan dibantu Nyai Walidah menggerakkan perempuan untuk memperoleh ilmu, melakukan aksi sosial di luar rumah yang bisa disebut radikal dan revolusioner saat itu. Kaum perempuan didorong meningkatkan kecerdasan melalui pendidikan informal dan nonformal seperti pengajian dan kursus-kursus.

 

Gerakan perempuan Muhammadiyah yaitu ‘Aisyiyah yang lahir tahun 1917 hadir pada situasi dan kondisi masyarakat dalam keterbelakangan, kemiskinan, tidak terdidik, awam dalam pemahaman keagamaan, dan berada dalam zaman penjajahan Belanda. Kini gerakan perempuan Indonesia menghadapi masalah dan tantangan yang kompleks baik dalam aspek keagamaan, ekonomi, politik, maupun sosial-budaya. Untuk menghadapi tantangan kompleks tersebut, maka gerakan ‘Aisyiyah dituntut untuk melakukan revitalisasi baik dalam pemikiran maupun orientasi praksis yang mana gerakannya mengarah pada pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan menuju kemajuan yang utama, dan ini dinyatakan secara visioner.

 

Sebagai sebuah organisasi pergerakan ‘Aisyiyah telah meletakkan pijakan dasar tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, bahkan sejak didirikan. Hal tersebut mencerminkan bahwa ‘Aisyiyah (Muhammadiyah) telah menempatkan perempuan dan laki-laki dalam peran kemasyarakatan yang setara dan bukan lagi sekedar organisasi perempuan yang melengkapi organisasi induknya yaitu Muhammadiyah. Gerakan ini perlu menyelaraskan dan menegaskan perannya terkait dengan isu-isu perempuan kontemporer seperti; perdagangan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap TKW, sampai soal kepemimpinan perempuan di sektor publik yang masih belum mendapatkan legitimasi penuh baik secara kultural maupun secara teologis. Gerakan pemberdayaan perempuan yang telah banyak dilakukan oleh ‘Aisyiyah seyogyanya tidak dilakukan secara seporadis, tanpa melihat keterkaitan dengan program yang ada lainnya. Pergerakan ‘Aisyiyah haruslah terintegrasi dan komprehensif, dengan mengembangkan orientasi gerakannya bukan sekadar menciptakan kader-kader perempuan yang shalihah secara ritual (fiqhiyyah), namun tidak bisa menganalisa ketertinggalan perempuan ataupun hegemoni tradisi dan tafsir agama yang tekstual (skripturalis) sehingga mengungkung cara berpikir dan bertindak sebagian besar perempuan Islam. ‘Aisyiyah perlu melakukan reorientasi organisasi yang selanjutnya dikuti dengan penguatan dan optimalisasi praksis sosial, dengan dilandasi teologi al-Ma’un, sebagai inspirasi dasar gerakan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Reorientasi ini harus diikuti dengan menciptakan kader-kader yang mampu menciptakan perempuan-perempuan yang shalihah sebagai ulama perempuan yang memahami Al-Qur’an yang mampu mensinergikannya dengan kondisi kekinian.

 

Masalah perempuan merupakan masalah yang sangat kompleks karena itu membutuhkan kerjasama yang baik agar kehidupan perempuan menjadi lebih baik. Didirikannya organisasi gerakan perempuan tentulah dimaksudkan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi kaum perempuan sebagaimana dikemukakan Syafiq Hasyim dalam buku “Bebas dari Patriarkisme Islam” bahwa gerakan perempuan baik di Barat ataupun di dunia Islam memiliki tujuan yang sama, yaitu membebaskan perempuan dari kedudukan yang tersubordinasi, terepresi dan termarginalisasi menuju kedudukan yang seimbang dengan kaum laki-laki. ‘Aisyiyah sebagai organisasi Islam dengan paham keagamaan yang moderat telah mencontohkan bagaimana seharusnya perempuan berkiprah di ruang publik, yang menempatkan perempuan sebagaimana nilai-nilai Islam yang memuliakan dan menjunjung tinggi martabat perempuan. Bahwa perempuan tidak sepantasnya hanya mengurusi rumah tangga, namun perempuan memiliki tanggung jawab yang sama dalam tugas-tugas sosial untuk pencerahan dan kesejahteraan ummat manusia dan membawa pandangan bahwa perempuan Islam tidak hanya berada di ranah domestik tetapi juga ke ranah publik, yang sejalan dengan prinsip dan misi Islam sebagai agama yang membawa risalah rahmatan lil-‘alamin.

 

Dalam kondisi kini, gerakan perempuan ‘Aisyiyah masih sangat dibutuhkan dan dikembangkan keberadaanya khususnya di Indonesia, dengan tantangan dan kondisi sosial politik yang ada saat ini. Berbagai problema yang dialami saat ini dan dihadapi perempuan Indonesia juga semakin multiaspek seperti ketidakadilan gender, kekerasan, perdagangan perempuan dan anak, kualitas kesehatan perempuan dan anak yang masih memprihatinkan, kemiskinan, dan berbagai permasalahan sosial lainnya. Selain itu, berbagai pandangan keagamaan yang bias gender masih dihadapi dalam realitas


Karenanya maka  ‘Aisyiyah perlu melakukan revitalisasi yang bertujuan untuk  mewujudkan terbentuknya Keluarga Sakinah dan Qaryah Thayyibah (masyarakat utama), yang telah dikenalkan sebagai praksis sosial, dengan strategi community development. Dalam konteks Muhammadiyah penguatan gerakan perempuan dalam Persyarikatan melekat dengan misi dan dinamika gerakan Muhammadiyah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Revitalisasi gerakan perempuan muslim juga sejalan dengan misi Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kemuliaan perempuan dan kemanusiaan untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini dan sebagai perwujudan risalah rahamatan lil’alamin.





KESETARAAN PEREMPUAN TIDAK TERBATAS  KESETARAAN PEREMPUAN TIDAK TERBATAS Reviewed by sangpencerah on Agustus 16, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar: