Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan, MTT PP Muhammadiyah telah
melakukan kajian mendalam dan sidang untuk merumuskan sebagaimana tertuang
dalam Fatwa Nomor 177/I.1/F/2024 tentang Pengelolaan Pertambangan dan Urgensi
Transisi Energi Berkeadilan.Karenanya pertambangan masuk kategori mu’amalah
atau perkara-perkara duniawi yang hukum asalnya boleh sampai ada dalil yang
menunjukkan larangan atau haram. Diperkuat dengan Putusan Tarjih Muhammadiyah
ke-20 di Garut dijelaskan bahwa barang tambang termasuk salah satu objek zakat.
Tapi sayangnya, banyak aktivitas pertambangan hari ini tidak seideal dan tidak sejalan
dengan petunjuk ilahi, bahkan mengarah pada aktivitas pertambangan yang
dekstruktif.
Masalah dan
Kebutuhan Pertambangan
Terkait dengan ini setidaknya ada
empat masalah pokok yang disebabkan oleh problem pertambangan.
Pertama, kerusakan
lingkungan yang cukup parah.
Kedua, Regulasi
yang tidak berasaskan keadilan dan kemaslahatan.
Ketiga, Aktivitas
pertambangan yang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat.
Keempat, tambang
yang dijadikan sebagai alat politik.
Selain itu, faktanya sampai saat
ini Indonesia masih bergantung dan mengandalkan pertambangan, baik aktivitas
maupun hasil produksinya. Setidaknya ada empat fakta yang menunjukkan
ketergantungan tersebut.
Pertama, sektor
pertambangan masih menyerap banyak sekali tenaga kerja.
Kedua, produksi
pertambangan masih menjadi sentral pemenuhan kebutuhan berbagai aspek, termasuk
industri, rumah tangga, komersial dan pertanian.
Ketiga,
pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) Indonesia belum bisa sama sekali lepas dari
ketergantungan aktivitas dan produksi pertambangan. Salah satu faktanya adalah
penggunaan hasil pertambangan pada sektor konstruksi dan transportasi yang
masih sangat tinggi.
Keempat, minimnya
kesiapan transisi energi di Indonesia. Secara kesiapan, Indonesia belum siap
melakukan transisi energi terbarukan yang ramah lingkungan secara adil dan
merata.
Prinsip-Prinsip
Islam dalam Mengelola Alam
Dalam perspektif Islam, segala
sesuatu yang terdapat di bumi, termasuk energi fosil dan sumber daya yang
dikandungnya diyakini sebagai titipan Allah yang harus dikelola dan dimanfaatkan
dengan baik. firman Allah SWT;
Dialah (Allah) yang menciptakan
segala apa yang ada di bumi untukmu (QS. al-Baqarah;2:29)
dalam konteks pemanfaatan dan pendayagunaan alam semesta, Allah SWT memberikan tugas kepada manusia dalam dua bentuk; istikhlāf dan isti’mār. Istikhlāf adalah pihak
yang diberi amanah untuk menggantikan Allah SWT dalam
melaksanakan tugas merawat ciptaan Allah SWT di
muka bumi. (Ingatlah) ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”
Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan
nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.” (QS. al-Baqarah;2:20)
Manusia sebagai pihak yang
diberikan amanah oleh Allah SWT,
memiliki tanggung jawab utama memelihara dan menjaga alam agar tetap pada
keseimbangan dan kesempurnaannya. Tanggung jawab ini melekat pada manusia
sebagai konsekuensi yang telah mereka terima dari perjanjian ilahi yang dulu
telah disepakati antara manusia dan Tuhan seperti yang tercantum dalam. (QS
al-Ahzab;33:72)
Sedangkan tugas isti’mar, tugas yang
dibebankan kepada manusia adalah menjaga usia bumi, agar tetap panjang dengan
cara memakmurkan, memberdayakan, dan memanfaatkan seisinya untuk kemaslahatan
seluruh makhluk, tanpa melakukan eksploitasi. Islam telah menetapkan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang harus dipedomani agar kegiatan menjaga dan
memakmurkan bumi betul-betul terlaksana dengan benar dan tidak menyimpang. Di
antara nilai-nilai itu adalah:
1.
Memandang alam dengan kaca mata
tauhid, QS an-Nahl ;16:48-49.
2.
Menginsyafi alam sebagai tanda
ketuhanan dan kebaikan Allah, QS an-Nahl ;16:65. Dan hadis Nabi Saw Dari Anas bin Malik r.a. (diriwayatkan),
Nabi saw. bersabda: apabila terjadi hari kiamat, sementara di tangan salah
seorang di antara kalian terdapat bibit/tunas, jika ia bisa menanamnya sebelum
meledak kiamat itu, maka hendaknya ia menanam bibit/tunas tersebut.
3.
Pengelolaan alam semesta adalah
amanah dan tanggung jawab QS al-A’raf 7:56,
juga QS al-An’am;6:38. Tidak ada seekor hewan pun (yang berada)
di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
semuanya merupakan umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami
luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhannya mereka dikumpulkan.
Ibn Saud sebagaimana dalam kajian
MTT PP Muhammadiyah, menafsirkan kalimat “illā umamin amṡālukum” dengan
makna, bahwa makhluk yang ada di bumi ini sama seperti manusia yang perlu
dijaga kemaslahatannya. Jika interaksi manusia secara harmonis adalah bagian
dari kemaslahatan, maka seyogyanya interaksi manusia dan alam juga dengan kasih
sayang, perlindungan dan pemeliharaan.
4.
Menjunjung tinggi nilai keadilan dan
keseimbangan. Sesungguhnya
Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada
kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia
memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat. QS an-Nahl
;16:90.
Rasa keadilan dalam Islam tidak
hanya berlaku pada relasi manusia dengan manusia, tetapi juga mencakup semua
yang ada di alam ini. Dengan adanya nilai keadilan, penunaian hak antar manusia
secara proporsional dapat terwujud, tanpa adanya penyelewengan yang disebabkan
oleh kecenderungan tertentu secara subjektif.
Prinsip-Prinsip Umum Dalam Konteks
Pengelolaan Tambang.
Pertama, nilai
tauhid diletakkan menjadi prinsip keshalihan. Firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi ayat 110.
Kedua, nilai
keadilan diletakkan menjadi prinsip regulasi yang berkeadilan. Dalam fenomena
pertambangan, bahwa keadilan tidak hanya dituntut pada tindakan, tetapi juga
aturan-aturan yang memelihara keadilan untuk bisa tetap terwujud dan bertahan.
Tanpa adanya keadilan, akan timbul kerusakan yang dampaknya adalah ketimpangan
secara meluas.
Bahaya dari tindakan yang tidak
adil digambarkan dalam hadis riwayat Nu’man bin al-Basyir;
Perumpamaan orang yang tegak di
atas aturan-aturan Allah dan orang yang terjerumus di dalamnya seperti suatu
kaum yang berundi di atas sebuah kapal. Lalu sebagian menempati tingkat atas
dan sebagian menempati tingkat bawah. Orang-orang yang di lantai bawah apabila
mengambil air mereka melewati orang-orang yang di atas mereka. Mereka berkata,
“Seandainya kita membuat lubang kecil di bagian kita ini, kita tidak perlu
mengganggu orang-orang di atas kita.” Jika orang-orang yang di atas membiarkan
apa yang mereka inginkan, niscaya mereka semua binasa. Namun, jika orang-orang
yang di atas mencegah mereka, niscaya mereka selamat dan semuanya selamat.
Ketiga, nilai
keadilan diletakkan menjadi prinsip kemaslahatan. Kemaslahatan menjadi salah
satu tujuan pokok diturunkannya syari’ah. Dalam konteks pertambangan, prinsip
kemaslahatan diwujudkan salah satunya dengan cara mengukur skala prioritas
dalam penggunaan energi alam.
Keempat, nilai
keadilan dan keseimbangan diletakkan menjadi prinsip musyawarah. Sebagaimana
firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 159:
Ayat ini menekankan prinsip
musyawarah dalam mengambil kebijakan terkait pertambangan, termasuk juga
memberikan perhatian serius kepada penanggulangan berbagai laporan yang
diadukan sangat dibutuhkan.
Kelima, nilai
kesimbangan diletakkan menjadi prinsip konservasi. Konservasi merupakan hal
yang perlu dilakukan dalam rangka menjaga kelangsungan hidup manusia dan alam,
baik sekarang maupun di masa yang akan datang.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas. Majelis
Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengambil fatwa sebagai berikut:
1.
Pertambangan (at-ta’dīn) sebagai aktivitas
mengekstraksi energi mineral dari perut bumi (istikhrāj al-ma’ādin min baṭn al-arḍ) masuk
dalam kategori mu’amalah atau al-umūr al-dunyā (perkara-perkara
duniawi), yang hukum asalnya adalah boleh (al-ibāḥah) sampai ada dalil,
keterangan, atau bukti yang menunjukkan bahwa ia dilarang atau haram (al-aṣl fi al-mu’āmalah al-ibāḥah ḥatta
yadulla ad-dalīl ‘alā taḥrīmih).
2.
Berbagai aktivitas pertambangan
yang berlebihan, eksploitatif dan tidak mengindahkan hak lingkungan dan
masyarakat, dilarang dan bertentangan dengan ajaran Islam yang luhur, sehingga
perlu ditindak secara tegas. Tindakan tegas ini dapat berupa pengawasan yang
ketat agar tidak lagi melakukan eksploitasi dan memberikan hak pada lingkungan
dan masyarakat sekitar. Jika tidak maka mereka dapat dikategorikan sebagai
kelompok mufsidūna fī
al-arḍ (para perusak bumi).
3.
Perlu adanya tindakan serius dari
pemerintah untuk memperbaiki regulasi yang berkaitan dengan tambang.
Aturan-aturan itu harus sejalan dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan.
4.
Jika dalam pengawasan, ternyata
hal-hal buruk ini masih dilakukan, maka yang berwenang wajib untuk mencabut
izin dan menghentikan aktivitas pertambangannya. Bisa dari semua pihak termasuk
masyarakat dalam pengawasan sangat diperlukan, agar pengawasan berjalan secara
adil dan objektif.
5.
Pemerintah hendaknya memiliki political will yang
baik dalam rangka merancang strategi-strategi untuk segera melakukan dan
mewujudkan transisi energi yang berkeadilan. Transisi energi berkeadilan
dimaknai sebagai berpindahnya penggunaan dan pengelolaan energi fosil ke energi
terbarukan dengan memastikan terpenuhinya aspek keadilan ekonomi, sosial,
gender dan lingkungan.
Tidak ada komentar: