JADILAH PEMA’AF TANPA PAMRIH (Refleksi dari Milad Rasulullah SAW)

JADILAH PEMA’AF TANPA PAMRIH
(Refleksi dari Milad Rasulullah SAW)
Oleh. Ust. HAFIDZ, S.Pd., M.Pd.I
(Wakil MPID PDM Kota Malang dan Anggota CMM)


 



Dalam kontek kehidupan bermasyarakat, berkomunitas atau apapun namanya, setiap perkumpulan dan interaksi tentu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi zaman skarang yang mudah dan gampang melontarkan pendapat, mengucapkan kata-kata atau mengetik dengan jari dimedsos (menulis), sangat sulit untuk dihindari baik secara langsung maupun tidak langsung.

Fenomena seperti saat ini, harus kita waspadahi dan berhati-hati supaya diri kita tidak terjerumus dalam permainan dunia. Karena semua perangkat dalam khidupan ini hanya sekedar alat, dan alat sangat tergantung kepada siapa yang mengendalikannya. Misalnya HP, yang tidak asing lagi mulai yang usia dini sampai lanjut usia, sudah famelier dengan hand phone, maka hal ini penggunaannya bergantung pada pemiliknya, apakah digunakan untuk sesuatu yang baik dan bermanfaat atau digunakan pada sesuatu yang kurang baik dan sia-sia. Contoh kongkritnya; berapa banyak manusia dengan HP di tangannya, menghujat, mnghakimi dan memfitnah saudara-saudaranya, baik yang dikenal maupun tidak dikenal. Pada saat itulah dia terjebak dalam perbuatan dosa yang tidak disadarinya, maka solusi terbaiknya adalah mengendalikan diri, dan berpikir sebelum berbuat dan bertindak. Tentu sikap seperti itupun masih saja ada yang usil pada diri kita, bagaimana sikap kita sebagai orang yang beriman, membalas, diam atau klarifikasi? Solusinya sebaiknya klarifikasi tanpa diiringi rasa benci dan tidak diikuti sikap emosi. Seperti firman Allah SWT; Wahai orang-orang yang beriman, jika datang seorang fasik kepadamu membawa berita maka telitilah kebenarannya (klarifikasi/tabayyun)... (QS. Al-Hujurat;49:6)

Dengan adanya tabayyun, maka akan menemukan kejelasan informasi (yang disampaikan atau yang diterima) karena tabayyun dan memberi ma’af bagian dari salah satu akhlaq Rasulullah SAW. Yang harus kita terapkan dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Itulah hakikat dari milad Rasulullah SAW, meskipun ada ayat yang memberikan kesempatan untuk membalasnya, tapi jiwa mema’afkan lebih baik daripada membalasnya, sekalipun mampu melakukan, tapi tidak melakuknnya. Firman Allah SWT;

 

وَالَّذِينَ كَسَبُوا السَّيِّئَاتِ جَزَاءُ سَيِّئَةٍ بِمِثْلِهَا 

 

"Dan orang-orang yang mengerjakan  kejahatan,  (mendapat) balasan yang setimpal.,,(QS.Yunus:10:27),

Ayat ini memberi pelajaran kepada kita, bahwa bagi pelaku kejahatan akan menerima balasan dari kejahatan itu (pasti terjadi tinggal nunggu waktu saja), artinya tanpa kita membalasnya dia masuk daftar penerima balasananya. Pada ayat yang lain;

 

من جاء بالحسنة فله عشر امثالها، ومن جاء بالسية فلا يجزى الا مثلها....


Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka baginya 10 kebaikan dan siapa yang berbuat kejelekan, maka ia akan dibalas sesuai kejelekan yang diperbuatnya...(QS. Al-an’am;6:160)

Sebaliknya jika diantara kita berbuat kebaikan maka akan dibalas dengan 10 kebaikan....

 

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ


Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dzalim. (QS. Asy-Syura;42:40)

 

 

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ ۖ


"Dan jika  kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpaknn kepadamu.,, (QS. An-Nahl;16:126)


فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ


dan,,oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia' seimbang dengan serangannya terhadapmu." (QS' Al Baqarah;2:194)

 

tiga ayat terakhir ini, memberikan pelajaran kepada kita orang beriman, jika kita harus membalas kejalahan orang lain, maka minimal ada 2 syarat yaitu dengan balasan itu dia mendapat pelajaran, atau jera tidak mengulangi lagi atau balasan itu harus sama, seperti yang pernah kita terima. Jika tidak bisa melakukan perlawanan maka cukuplah kita memberi maaf kepadanya, karena hal itu lebih mulia di sisi Allah SWT. Daripada menuruti hawa nafsu belaka. Sebagaimana nasehat rasulullah SAW;

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, dari Rasûlullâh , beliau bersabda: "Shadaqah tidak mengurangi harta dan karena suka memberi maaf, Allah akan menambah kemuliaan seseorang dan seorang yang merendahkan diri kepada Allah akan ditinggikan derajatnya oleh Allah." (HR Muslim:2588)

 

Banyak pelajarana yang dapat kita ambil dari ayat dan hadits di atas, diantaranya;

1.    Mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang pemaaf agar mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan, ada dua kemuliaan yang diperoleh oleh orang yang memberi maaf:

2.    Hati akan menjadi lebih lembut dan lebih kuat karena ia tidak mempermasalahkan orang lain dan tidak menyimpan dendam terhadap orang yang menyakitinya.

3.    Mendapat pahala yang besar di sisi Allah SWT. atas perbuatan memberi maaf yang dilakukannya. Dalam memberi maaf, tidak ada teladan yang lebih layak untuk kita tiru melainkan Rasûlullâh SAW  Ada banyak kisah-kisah beliau dalam memaafkan orang-orang yang menyakiti beliau, diantaranya adalah ketika beliau memilih memaafkan penduduk Thaif saat malaikat menawarkan akan menghancurkan mereka dengan melemparkan gunung Qubais dan Al-Ahmar kepada mereka, namun jawaban beliau adalah, “tidak, bahkan aku berharap agar Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah.” Begitulah Rasûlullâh SAW bersikap dalam menghadapi orang yang mendzaliminya.

4.    Kata  "Maaf", adalah kata yang mudah untuk diucapkan namun terasa susah untuk dilakukan. Berbagai alasan sukar meminta maaf atau memberi maaf. Dan akan lebih sulit bila orang yang dimintai maaf lebih muda, lebih miskin, atau status jabatannya lebih rendah.

5.    Orang yang terhalang untuk bermaaf-maafan telah terkategorikan keras hati, bahkan mengidap penyakit hati. Al-Qur'an menggambarkan kondisi penyakit tersebut ketika mengisahkan tentang Bani Israil. Mereka dilukiskan sebagai orang-orang yang sulit menerima kebenaran meskipun bukti nyata telah hadir di depan mata. Hati mereka mengeras seperti batu, bahkan bisa lebih keras lagi.(Lihat QS. Al-Baqarah/2: 67-74)

 

Penyakit ini susah disembuhkan karena yang mesti dihadapi penderitanya adalah dirinya sendiri. Egoisme, gengsi, merasa terhormat, merasa baik, atau perasaan paling istimewa, biasanya menjadi biang keladi mengapa hati seseorang membatu sehingga sukar dimasuki nasehat, kebenaran dan kebaikan yang datang dari luar dirinya. Bisanya menyalahkan situasi, menyalahkan keadaan, dan  menyalahkan pihak lain.

 

Dari beberapa kondisi dan situasi seperti di atas. Ada beberapa hikmah yang bisa kita jadikan motivasi bagi kita dalam menjadi kehidupan di dunia ini yaitu;

Pertama; Mudah mema’afkan, penyayang terhadap sesama muslim dan lapang dada terhadap kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat dianjurkan dalam Islam;


خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ ۞

 

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A’raf;7:199)

Kedua; Suka memaafkan akan disenangi banyak orang, dan sebaliknya bersikap keras, sombong, dan tidak mau memaafkan akan dijauhi banyak orang;

 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۞

 

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (QS. Ali Imran;3:159)

 

Ketiga; Bahkan sifat pemaaf adalah termasuk ciri hamba Allah SWT yang bertakwa kepada-Nya;

 

الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ۞

 

"(Orang-orang yang bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali-Imran;3:134)

 

Dari sinilah maka akan terbangun dalam diri kita tiga sikap dan kecerdasan dalam jiwa dan hatinya yaitu kecerdasan spiritual yang selalu berpegang pada rasa keimanannya, kecerdasan emosional yaitu pandai menahan diri, sekalipun sangat bisa untuk marah kepada orang lain, dan kecerdasan sosial, yaitu dalam dirinya tertanam kepedulian kepada sesama, dimanapun dan sampai kapanpun selagi masih hidup dan bernyawa. Karena hanya mengharapkan pertolongan Allah SWT, dengan keyakinan itulah maka pertolongan Allah SWT selalu mengiringi kehidupannya. Sebagaimana informasi dari Rasulullh SAW. Allah SWT akan menolong hambaNya selama hamba itu mau menolong saudaranya.

Semoga kita bisa meneladani sifat dan akhlaq Rasûlullâh SAW; menjadi pribadi pema’af , sebagai hikmah dari milad beliau, sehingga memperoleh syafa’at,  kemuliaan dan pahala yang besar dari Allah SWT.

 



JADILAH PEMA’AF TANPA PAMRIH (Refleksi dari Milad Rasulullah SAW) JADILAH PEMA’AF TANPA PAMRIH (Refleksi dari Milad Rasulullah SAW) Reviewed by sangpencerah on September 11, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar: