Dari Abu Hurairah ra menyatakan bahwa
Rasulullah saw bersabda: “Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja
kehancuran akan terjadi.” Kemudian ada seorang sahabat yang bertanya, “Bagaimana maksud amanat disia-siakan
ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya,
maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari)
“Tidaklah Nabiyullah saw berkhutbah
kepada kami, melainkan beliau bersabda: “Tidak sempurna iman bagi orang yang
tidak memiliki (sifat) amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak
menepati janjinya.” (HR. Ahmad).
Dua Hadits di atas cukup menjadi pelajaran bagi kaum
muslimin khusunya Indonesia dan muslim dunia.
Indonesia, negeri
dengan mayoritas Muslim yang begitu kaya akan nilai-nilai spiritual, adalah
amanah besar dari Allah SWT. Namun, ada sebuah ironi yang tidak pernah terhapus
dari benak kita. Sejak merdeka hingga hari ini, negeri ini belum pernah
memiliki seorang Ibu Negara yang berjilbab. Padahal, bagi umat Islam Muslimah,
jilbab adalah simbol kesederhanaan, rasa takut kepada Allah SWT, dan tanggung
jawab untuk menjaga amanah yang diberikan. Tapi ketika jilbab tidak tampak
dalam lingkar kekuasaan, ini menimbulkan sebuah pertanyaan lebih mendalam:
bagaimana mungkin kita mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai agama, namun
amanah justru hilang dalam tatanan kepemimpinan kita?
Indonesia ini adalah
negeri yang diperjuangkan dengan darah, air mata, dan pengorbanan besar oleh
para pahlawan. Mereka merebut kemerdekaan dari penjajah kafir seperti Portugis
yang menjajah dari tahun 1512 hingga 1602, Belanda yang merampas selama lebih
dari tiga abad (1602-1942), Inggris di tahun 1811 hingga 1815, Prancis
(1806-1811), dan Jepang dari 1942 hingga 1945. Perang yang panjang, perjuangan
yang menghabiskan banyak nyawa, semua demi sebuah amanah: Indonesia merdeka.
Tapi apa jadinya jika amanah itu sekarang terasa semakin luntur? Para pahlawan
kita dulu berjuang melawan penjajahan fisik, tetapi sekarang kita seolah kalah
melawan penjajahan moral berupa korupsi, kebohongan, dan pengkhianatan terhadap
kepercayaan rakyat.
Lihatlah apa yang terjadi
sekarang. Korupsi merajalela, dan yang menyakitkan, mereka yang berkuasa justru
adalah pelakunya. Contoh nyata adalah korupsi di PT. Timah antara tahun 2015
hingga 2020 yang merugikan negara hingga 300 triliun rupiah. Angka sebesar itu,
seharusnya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur yang membuat rakyat
makin sejahtera. Tetapi, sayangnya, hanya menjadi angin lalu di tangan mereka
yang seharusnya menjaga amanah. Kemudian, kasus penyerobotan lahan negara oleh
Grup Duta Palma di Riau yang terjadi dari 2003 hingga 2022. Lahan yang
seharusnya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat malah dijarah oleh kepentingan
pribadi, dan negara dirugikan hingga 104 triliun rupiah. Ini bukan lagi soal
kebocoran, ini adalah penjarahan hak rakyat secara terang-terangan.
Belum lagi, ada kasus
besar seperti skandal BLBI pada tahun 1998 yang merugikan negara sebesar 138 triliun
rupiah. Saat negara tengah krisis, dan rakyat menderita, sebagian dari mereka
yang diberi amanah justru menjadi maling uang negara. Krisis moral dan
pengkhianatan amanah ini terus menghantui kita, generasi yang hidup di negeri
yang seharusnya merdeka jiwa-raga.
Lebih parah lagi, kita
hidup dalam era di mana janji-janji politik lebih sering menjadi angin lalu.
Pada tahun 2019, Majalah Tempo menghebohkan publik dengan menampilkan cover
Presiden Jokowi yang disandingkan dengan siluet Pinokio—boneka kayu yang
terkenal karena kebohongannya. Ironi ini semakin menjadi ketika pada tahun
2024, terbit versi baru dari majalah yang sama dengan judul “Pinokio Jawa.” Di
cover ini, tergambar manusia berwarna putih memakai topeng wayang dengan hidung
yang panjang, sebuah simbol bahwa kebohongan telah meresap dalam pemerintahan.
Lebih menarik lagi, dunia internasional turut merespons. Buku Man of Contradictions: Joko Widodo and the
Struggle to Remake Indonesia yang terbit pada tahun 2020 adalah bukti bahwa
masyarakat global juga melihat adanya kontradiksi besar antara janji dan
kenyataan pemerintahan kita. Semua ini adalah cermin dari pemimpin kita, yang
seharusnya menjadi perwujudan amanah rakyat, tetapi justru membawa citra yang
terdistorsi.
Kita harus menyadari
bahwa amanah adalah fondasi dari sebuah negara yang kuat. Rasulullah SAW
bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang
tidak amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji.”
(HR. Ahmad). Korupsi yang telah menjadi darah daging di negeri ini bukan hanya
soal uang atau kebijakan, tetapi tentang hilangnya rasa takut kepada Allah,
hilangnya tanggung jawab, dan penghancuran kepercayaan rakyat terhadap
pemerintahannya sendiri.
Ambil contoh
proyek-proyek besar seperti Sirkuit Mandalika di Lombok, yang dibangun pada
tahun 2021 dengan biaya 2,4 triliun rupiah. Proyek ini seharusnya menjadi
kebanggaan nasional, namun yang dirasakan oleh rakyat lokal hanyalah
janji-janji kosong tanpa dampak signifikan pada kesejahteraan mereka. Atau,
proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang diproyeksikan menelan biaya hingga 486
triliun rupiah hingga tahun 2045. Pertanyaannya, apakah kita bisa mempercayai
bahwa proyek sebesar ini akan benar-benar terlaksana tanpa korupsi? Sejarah
kita penuh dengan kasus di mana proyek-proyek besar justru menjadi ladang empuk
bagi mereka yang tak punya rasa takut kepada Yang Maha Kuasa dan tidak memegang
amanah.
Dalam Al-Qur’an, Allah
SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila
kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkannya dengan
adil.” (QS. An-Nisa: 58). Amanah dalam Islam bukan hanya soal menjaga
harta, tetapi tentang memegang kepercayaan, menjalankan keadilan, dan bersikap
jujur dalam setiap tindakan. Tapi jika mereka yang berkuasa terus menerus
melanggar amanah ini, bagaimana mungkin kita bisa berharap negeri ini akan
menjadi lebih baik?
Bayangkan, dengan
anggaran sebesar itu, jika saja dikelola dengan benar, berapa banyak jalan yang
bisa dibangun, sekolah yang bisa didirikan, rumah sakit yang bisa melayani
rakyat dengan gratis, dan kesejahteraan yang bisa ditingkatkan. Tapi tanpa
amanah, angka triliunan rupiah itu hanya akan berakhir di kantong segelintir
iblis koruptor. Kita seolah berada di lingkaran setan korupsi yang tak
berujung. Setiap proyek yang lahir bukanlah untuk kesejahteraan rakyat, tapi
untuk kepentingan pribadi.
Kita harus ingat bahwa
Indonesia ini adalah amanah yang diwariskan dari para pahlawan. Mereka tidak
berjuang hanya untuk merdeka dari penjajah fisik, tetapi untuk menciptakan
bangsa yang berdaulat secara akhlak, di mana keadilan dan amanah ditegakkan.
Lalu, di mana amanah itu sekarang? Apakah kita rela mengkhianati mereka yang
telah berjuang dengan darah dan nyawa demi kemerdekaan ini?
Kita harus sadar bahwa
Indonesia tidak akan sia-sia jika amanah ditegakkan. Seperti kata Umar ibnu
Khattab, “Jika seekor keledai jatuh di
Irak karena jalan yang rusak, maka aku khawatir akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah mengapa aku tidak memperbaiki jalan itu.”
Begitulah amanah seorang pemimpin, bahkan hingga hal kecil sekalipun harus
dijaga dengan penuh rasa tanggung jawab.
Indonesia ini bisa menjadi negara besar, tetapi syaratnya adalah amanah yang harus dijalankan. Jika kita terus membiarkan korupsi dan kebohongan merajalela, maka perjuangan para pahlawan, darah yang mereka tumpahkan, semua akan sia-sia. Orang-orang amanah harus kita cari, kita angkat, dan kita dukung, demi menjaga negeri ini agar tidak hilang arah dan terus terpuruk dalam kebohongan. Amanah adalah kunci agar Indonesia tidak sia-sia. Dan tanpa amanah, kita hanya akan menjadi bangsa yang terlihat besar tapi tidak pernah benar-benar besar dan kamoplase dan kepura-puraan. Wallahu a’lam bish-shawab!
Tidak ada komentar: