Selamat
datang di zaman yang menuhankan kecerdasan. Walaupun secara tersurat kita tidak
benar-benar mengatakannya, fakatanya memang demiian di dunia ini begitu memuja gelar; dibeli dan
diburu. Mestinya seluruh aktifitas yang dilakukan dalam kehidupan
ini tentu didasarkan pada ilmu pengetahuan sebagai sebuah pedoman yang kemudian dipakai
untuk berkhidmat, dan inilah aktifitas yang memuliakan dirinya, akan tetapi jika berkhidmat
yang didasarkan pada egonya atau
hawa nafsu belaka, maka akan
menemukan problem dalam proses perjalanannya.
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ditemukan
ayat-ayat yang berbicara tentang kesuksesan dan orang-orang sukses. Ternyata
sukses menurut manusia berbeda total dengan sukses menurut Allah Swt.
”Sungguh rugi orang yang mengira dirinya telah sukses dan dianggap manusia sebagai orang sukses dalam kehidupan di dunia, tapi ternyata ia termasuk orang yang gagal total. Sukses yang sebenarnya, sejati, hakiki dan abadi adalah sukses menurut Allah Swt dalam kitab-Nya, Al-Qur’an. Misalnya; Tidak jarang orang menyebut sukses dalam hidup ketika banyak uang dan lancar dalam bisnis dan pekerjaan. Apa pun pandangan orang tentang kesuksesan patut diapresiasi, selama terarah untuk meraih kedekatan dengan Sang Pencipta.
Al-Quran sendiri mempunyai standar dan indikator kesuksesan seseorang dalam
hidup. Sukses menurut Al-Quran tak terletak pada banyaknya properti, uang,
lahan bisnis, kekuasaan atau popularitas.
“Kesuksesan di dunia bukanlah hal yang mutlak
untuk diupayakan. Justru kesuksesan tersebut haruslah menjadi dasar pencapaian
kehidupan sukses di akhirat. Seorang mukmin sebaiknya menjaga dirinya dari
bahaya fitnah yang disebabkan harta dan kedudukan. Ia harus tetap
mempertahankan agama dan keimanannya agar memperoleh kesuksesan yang sama di
akhirat,”
Ditambahkannya, Rasulullah juga bersabda,
“Barangsiapa yang obsesinya akhirat, tujuannya akhirat, niatnya akhirat,
cita-citanya akhirat, maka dia mendapatkan tiga perkara: Allah menjadikan
kecukupan di hatinya, Allah mengumpulkan urusannya, dan dunia datang kepada dia
dalam keadaan dunia itu hina. Barangsiapa yang obsesinya dunia, tujuannya
dunia, niatnya dunia, cita-citanya dunia, maka dia mendapatkan tiga perkara:
Allah menjadikan kemelaratan ada di depan matanya, Allah mencerai-beraikan
urusannya, dan dunia tidak datang kecuali yang ditakdirkan untuk dia saja.”
Menjadi
cerdas itu anugerah. Ia bisa memudahkan yang susah, menguraikan yang rumit, dan
membantu yang sulit. Tapi jadi bencana kalau cerdas untuk membohongi,
memperalat dan memperdaya hingga normalisasi sebuah kedzaliman. Itulah
mengapa banyak Ulama bilang, bahwa kecerdasan bisa masuk dalam kategori
“fitnah” yang menyesatkan bahkan sampai membinasakan manusia.
Fitnah?
Ya. Jika penggunanya bertambah ilmu, tapi dengan ilmunya ia bermain-main dengan
aturan-Nya. Fenomenanya seperti ini; orang yang beriman utuh dengan akal dan
hatinya bernarasi Sami'na wa atha'na ; “kami mendengar dan
kami taat”, tapi orang yang cerdasnya untuk membangkang akan
bernarasi, sami'na wa nadzharna; “kami mendengar tapi kami
timbang-timbang dulu.”
Barangkali
inilah salah satu jawaban dari tanda tanya besar yang seringkali kita fikirkan,
mengapa Rasulullah SAW berdoa dengan
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ،
وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya
Allah … aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati
yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak merasa puas, dan dari doa yang tidak
didengar (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Dawud no. 1548, An-Nasa’i
no. 5536, dan Ibnu Majah no. 3837. Hadits ini shahih.)
Karena
ilmu itu ada yang menghidupkan dan ada yang membinasakan. Dalam salah satu dars-nya,
Syaikh Ratib An Nablusy berkata, “tanda ilmu bermanfaat adalah ilmu
yang mendekatkan pada Allah, dan tanda ilmu yang membahayakan adalah yang
membuat pemiliknya mencari celah untuk menghindari aturan Allah.”
Ada
juga sebuah ungkapan Ulama bahwa “siapa
yang bertambah ilmunya, tapi tak bertambah dekat dengan Allah Ta’ala, maka
sebenarnya tidak bertambah kecuali bertambah jauh (dari Allah Ta’ala)”
Itulah
mengapa, dalam literatur Islam, seorang ‘Alim’ bukanlah tentang orang
yang banyak tahu saja. Orang digelari sebagai 'Alim’ jika ia mengilmui
kebenaran dan dia mengamalkannya. Adapun jika banyak tahunya, ia hanya masih
sebatas 'naqil’ atau sang pelaku copy paste saja.
Kita sebagai
penuntut ilmu (thaalibul ‘ilmi), hendaknya harus mengetahui
celah setan untuk menyesatkan manusia. Kita telah mengetahui bahwa salah satu
cara setan menyesatkan manusia adalah dengan harta dan ketamakan terhadap
dunia. Akan tetapi, sedikit dari kita yang mengetahui bahwa setan juga
menyesatkan manusia melalui ilmu. Yaitu dengan membuat pemilik ilmu tersebut
menjadi angkuh, sombong, dan merendahkan manusia karena merasa sudah berilmu.
Umumnya ditunjukkan dengan sifat yang keras, hobi berdebat kusir, dan banyak
membicarakan kesalahan orang lain secara tidak bijak.
Maka
seorang guru pernah menasehati bijak tentang ilmu "Al 'ilmu harbun lil
fata al muta'ali, kassaili harbun lil makanill'aali" bahwa ilmu itu
musuh bagi orang-orang yang sombong, sebagaimana aliran air yang menjadi musuh
bagi tempat-tempat yang tinggi.
Wahb
bin Munabbih rahimahullah berkata,
إن
للعلم ظغيانا كطغيان المال
“Sesungguhnya
ilmu memiliki keangkuhan sebagaimana keangkuhan harta.” (an-Nubadz fi
Adabi Thalabil Ilmi, hal. 185
Harusnya
kita sadar dan selalu muhasabah bahwa fitnah orang berilmu juga besar. Al
Qur'an menyimbolkannya dengan sosok Qarun.
Mengerikan
kalau kita jadi perwujudan Qarun, ia merasa bahwa kehebatannya bukan
karena doa-doanya, bukan karena taufik-Nya, melainkan karena ilmu , usaha, dan
kerja kerasnya.
Dia
—Qarun— berkata,
قَا
لَ اِنَّمَاۤ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ عِنْدِيْ ۗ اَوَلَمْ يَعْلَمْ اَنَّ
اللّٰهَ قَدْ اَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهٖ مِنَ الْقُرُوْنِ مَنْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُ
قُوَّةً وَّاَكْثَرُ جَمْعًا ۗ وَلَا يُسْـئَلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ
“Sesungguhnya
aku diberi harta itu, semata-mata karena ilmu yang ada padaku.”
Tidakkah
dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat
daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa
itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka. (Al Qashash
78)
Maka Al
Qur'an punya obatnya, dengan mengajak kita meneladani kalimat Dzulqarnain. Ia,
sang raja kaya dan cerdas sainsnya, mantap ilmunya dan gagah pasukannya. Ketika
ia selesai membangun dinding fenomenal yang menghalangi Yajuj dan Majuj, ia tak
bilang bahwa itu hasil kecerdasannya ataupun keberhasilnnya. Ia tak berirama
angkuh telah menyelamatkan orang banyak dengan ide briliannya. Ia mengajarkan
kita…
“ Hâdzâ
rahmatun min Rabbî”, ini adalah karunia dari Tuhanku (QS. Al
Kahfi;18:98).
Ia
menetralkan hati kita, memberkahi pencapaian kita, dan sekaligus mengajak
orang-orang untuk sadar; bahwa semua hasil usaha kita yang terbaik, tak lain
adalah karunia Allah yang Maha Rahim. Dan justru itulah yang akan menggandakan
keberhasilan kita berkali-kali lipat.
Pernah
melihat yang seperti itu di zaman ini? Ya. Saya pun nggak kaget lagi. Sejarah
selalu mengulang dirinya sendiri. Fenomenanya sama, walau pelakunya
berbeda. Itulah mengapa kita perlu jadikan Al-Qur'an sebagai imam kita,
logika sebagai makmumnya. Jangan dibalik, nanti jadinya seperti orang
keblinger yang menganggap dirinya sudah superior.
Mengukir prestasi kerja, memperoleh rezeki yang
berkah serta mendoakan kemajuan lembaga InsyaAllah menjadikan kehidupan kita
akan lebih baik lagi. Kita seyogyanya menjadikan aktifitasnya yang menyenangkan, “Allah menjadikan untuk kamu rumah-rumah
kamu sebagai tempat ketenangan.” (QS. an-Nahl;16:80).
Sebagai kata penutup tulisan ini, mari kita
atau minimal penulis pribadi seyogyanya selalu mencoba konsisten bekerja keras,
cerdas dan profesional sehingga arus rezeki menjadi lapang dan luas serta
selalu berdoa untuk keselamatan diri dalam beraktifitas dan semakin maju sehingga tambahan rezeki Unpad
akan mengalir kepada kita semua.
Allahu'alam
bisshawab.
Tidak ada komentar: