Ramadhan telah berlalu, tapi amalaiyah selama
ramadhan tidak berlalu dari hati kita kaum muslimin. Puasa wajib boleh erakhir, tapi puasa sunnah
tetap menyertai diri kita orang beriman. karena sesungguhnya yang berlalu dan
berakhir itu bersifat fisikal, secara spiritual apa yang sudah kita lakukan
slama ramadhan lalu telah menorehkan suatu kesan yang mendalam dalam jiwa orang
yang beriman, sehingga sulit dilupakan apalagi dihilangkan. Maka dari itu salah
satu tanda diterimanya amalan puasa ramadhan adalah gemar bersilaturrahim
(berkunjung) kepada sesama (saudara, kolega, dll). Karena satu dari sekian
tanda diterima suatu amalan, adalah amalan setelahnya, mnrut Syekh Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbali
dalam kitab “Lathāifu al-Ma’ārif” (2004, I: 221) berkata: “Sesungguhnya, jika Allah menerima amal
seorang hamba, (maka) dia diberi taufiq untuk (melakukan) amal shalih
setelahnya.”Sebagaimana firman Allah Swt;
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptaka n isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”. (Q.S An Nisa’: 1)
Silaturrahim yang dikemas dalam bentuk acara halal bi
halal yang lazim dilaksanakan Umat Islam Indonesia pada setiap Bulan Syawal
belum lama telah berlalu dari kita. Pada acara ini, orang saling bersalaman (mahram) dengan maksud saling meminta dan memberi maaf
kepada sesamanya dan mengakrabkan diri. Pada masalah yang shalih ini, bila ada orang
yang malu-malu meminta maaf atas perbuatan salahnya terhadap seseorang diwaktu
lain maka di Bulan Syawal, mereka dengan tenang dan suka-rela saling meminta
dan memberikan maafnya. Hubungan antar sesama menjadi cair dan semakin
familiar. Silaturrahim diantara keduanya dan anggota masyarakat lainnya menjadi
semakin hangat dan intensif. Bahkan yang jarang bertemu pun dapat saling
melepaskan kerinduan dan mempererat persaudaraan.
Firman Allah dalam
QS. An Nisa ayat 1 tersebut diatas dengan jelas dapat kita pahami bahwa Allah SWT
memerintahkan kepada kita untuk menjaga
ketaqwaan dan memelihara silaturrahim. Contoh operasionalisasi praktik
memelihara silaturrahim sungguh amat banyak bertebaran dalam kehidupan
Nabiyullah Muhammad saw sehingga dapat kita
contoh bahwa menyambung dan memelihara silaturrahim itu tidak terbatas pada
suatu waktu saja (yakni pada Bulan Syawal) akan tetapi harus sepanjang waktu
dalam pergaulan. Bahkan, sesuai tuntunan Rasulullah saw bila silaturrahim itu
dimaksudkan juga untuk meminta maaf atas suatu kesalahannya maka permintaan
maaf itu sangat baik jika dilakukan secepatnya
alias tidak boleh ditunda-tunda; tidak baik bila menunggu sampai pada Bulan
Syawal berikutnya.
Allah menciptakan manusia yang terdiri dari laki dan
perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mengenal dan
berhubungan/ ta’aruf (QS. Al Hujurah
: 13). Kemudian dalam HR Ahmad, bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Orang mukmin yang
bergaul dengan manusia dan bersabar terhadap keburukannya lebih banyak
pahalanya daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas
keburukannya" (H.R. Ahmad/22019). Sementara itu, dalam pergaulan
sehari-hari amat banyak obyek yang dapat menjadikan salah paham atau konflik.
Konflik itu dapat terjadi di dalam satu rumah tangga, antar tetangga, antar
kelompok dalam masyarakat dengan berbagai obyek penyebab. Terlebih lagi, pintu
menuju konflik lebih terbuka lebar pada indifidu atau pun kelompok yang tidak
mendasarkan pedoman hidup islami. Terkadang suasana peribadatan di dalam masjid
pun masih bisa terjadi konflik gara-gara kipas angin, penataan shaf, penggunaan
pengeras suara yang berlebihan, dan sebagainya. Sementara itu dalam kehidupan
bertetangga sering terjadi konflik dari obyek saluran pembuangan limbah rumah
tangga(pematusan/draenase), talang air, urusan anak, dan sebagainya. Bahkan
gara-gara urusan yang amat sepele, bisa terjadi tawuran antar warga Rt, warga
RW atau kampung. Pendek kata, konflik dapat terjadi dimana saja, kapan saja,
dengan obyek apa saja!
Rentannya manusia untuk terjadi
konflik itu maka solusi yang tepat adalah kita harus kembali kepada tuntunan
al-Islam. Agama Islam mengajarkan dan menebarkan keselamatan kepada seluruh
penghuni alam yang kita pahami sebagai ‘rahmatan
lil ‘alamin’. Tuntunan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin tidak rumit dengan
teori-teori, melainkan langsung kepada contoh praktek yang amat mudah.
Yang paling awal, untuk membuka
pintu silaturrahim adalah apabila berjumpa dengan seseorang yang kita kenal
adalah dengan bersenyum. Senyum yang tulus adalah merupakan bahasa tubuh,
sebagai ekspresi dari rasa gembira dan bahagia atas pertemuan itu sehingga
orang yang kita jumpai merasa disambut dengan sikap positip dan terjadilah
perjumpaan yang positip.Pada Hadits Riwayat Abu Dawud,
Rasulullah saw bersabda: “janganlah engkau remehkan perkara ma’ruf, berbicaralah kepada
saudaramudengan wajah yang penuh senyum dan berseri, sebab itu bagian dari
perkara yang ma’ruf”(HR Abu Dawud/2562). Demikian pula menurut sahabat
beliau Abdullah bin Jaz’I berkata: “Aku
tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak senyumannya selain Rasulullah
saw”
Lebih dalam lagi dari perjumpaan
yang diawali dengan senyuman maka dilanjutkan dengan mengucapkan salam: ‘Assalaamu’alaikum warahmatullaahi
wabarakatuh’. Ucapan salam ini akan mampu mencairkan suasana yang tadinya
kaku. Ucapan salam ini memiliki ruh saling mendo’akan agar beroleh kebaikan.
Ucapan salam ini pun mampu menembus lintas batas sosial seperti orang kaya,
orang berpangkat, orang berdarah biru dan sebagainya sehingga bagi yang
mengawali maupun yang menjawab salam serasa berderajad sama. Namun juga harus kita praktekkan sebagaimana
tuntunan rasulullah: yang muda mengucapkan salam kepada yang lebih tua; yang
berdiri kepada yang duduk, yang diatas kendaraan kepada yang berjalan.
Perjumpaan yang mampu
menghilangkan kedengkian yang sekaligus mampu mendapatkan ampunan dari Allah Swt
adalah apabila perjumpaan itu disertai dengnan berjabat tangan. Nabi saw
senantiasa berjabat tangan ketika berjumpa dengan sahabat sahabatnya. Abu Dzar
berkata: “Aku tidak pernah berjumpa
dengan beliau, kecuali beliau menjabat tanganku. Suatu hari beliau mengutus
utusan kepadaku saat aku tidak dirumah. Ketika kembali ke rumah, aku diberi
kabar bahwa beliau telah mengutus seseorang kepadaku. Maka aku mendatanginya
saat beliau diatas pembaringan, lantas beliau memelukku. Maka pelukan itu lebih
indah, dan lebih indah.(HR Abu Dawud/3538).
Didalam
berjabat tangan, tentunya tidak akan kita lakukan dengan lawan jenis yang bukan
mahram. Dalam berjabat tangan, kita juga harus menunjukkan sikap yang hangat,
dengan tersenyum dan menatap wajah orang yang berjabat tangan dengan kita.
Berjabat tangan itu adalah kesempurnaan dari penghormatan. Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi saw,
beliau bersabda: “termasuk kesempurnaan penghormatan adalah berjabat tangan”(HR Tirmidzi/2654).
“Bukanlah
menyambung silaturahim itu berbalas pemberian, akan tetapi silaturrahim itu
ialah apabila diputus hubungan persaudaraannya maka segera menyambungnya.” (HR. Bukhari). Pada kesempatan
yang lain, Rasulullah saw juga bersabda: Hendaklah kalian saling berjabat tangan,
niscaya akan hilang kedengkian. Hendaklah kalian saling memberi hadiah niscaya
kalian akan saling mencintai dan menghilangkan permusuhan( HR Malik
/1413).
Menjadi gamblanglah
bagi kita bahwa hidup Islami, menjaga dan memelihara silaturrahim itu tidak
terlalu sulit bahkan mudah dan murah. Silaturrahim harus mampu kita wujudkan
sepanjang masa usia kita, semampu
kekuatan kita masing-masing walaupun tidak seintensip yang dilaksanakan oleh
kebanyakan orang pada Bulan Syawal bagi masyarakat Indonesia. Karena
dengan cara gemar bersilaturrahim, kita tau bahwa ibadah puasa yng telah dilakukan menemukan keberhasilannya,
kedua mudah mema’afkan dan meminta ma’af, ketiga tidak suka memendam rasa
tidaksuka kepada siapapun, dan jika kita merasa tidak suka pada orang lain
niatkan bukan pada orangnya tapi pada sifat dan sikapnya, kalaupun terpaksa harus tidak suka pada
seseorang, jangan sampai melebihi 3 hari, itulah dispensasi dalam ajaran agama,
supaya kita segera mungkin menyatu kembali dalam kebersamaan.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: